Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Ketika Uang Mengalahkan Gagasan, Masalah Pemilu di Indonesia

24 September 2024   09:01 Diperbarui: 24 September 2024   09:03 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 Mengapa Suara Pemilih Masih Bisa Dibeli? Menyoroti Ambiguitas dalam Pemilihan Pemimpin

Pemilihan pemimpin di Indonesia sering kali masih diwarnai oleh praktik politik uang. Fenomena ini menjadi masalah besar karena bukan hanya mengancam kualitas demokrasi, tetapi juga menggambarkan bagaimana sebagian masyarakat masih mudah terpengaruh oleh iming-iming materi. Isu ini menyisakan keresahan karena dampaknya yang luas, bukan hanya terhadap proses pemilu itu sendiri, tetapi juga pada kualitas pemimpin yang terpilih.

Di berbagai daerah, kita masih sering mendengar cerita tentang bagaimana pemilih mendapat "uang rokok" atau bantuan dalam bentuk lain agar mau memilih kandidat tertentu. Keresahan muncul karena di satu sisi, ini memperlihatkan bahwa nilai pemilu sebagai ajang adu gagasan dan kompetensi menjadi tereduksi. Pemilih yang diharapkan memilih dengan bijak malah memilih berdasarkan keuntungan jangka pendek, bukan berdasarkan siapa yang mampu membawa perubahan.

Ketergantungan Ekonomi

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Salah satu penyebab utama mengapa suara pemilih masih bisa dibeli adalah ketergantungan ekonomi. Banyak masyarakat di daerah, terutama yang kurang terpapar akses ekonomi, merasa bahwa bantuan materi yang diberikan oleh kandidat adalah satu-satunya bentuk perhatian yang mereka dapatkan. Dalam situasi ekonomi yang sulit, bantuan langsung ini sering kali lebih menarik daripada janji politik jangka panjang yang belum tentu mereka pahami atau percayai.

Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan di Journal of Political Science (2022), masyarakat yang berada dalam kondisi ekonomi rentan cenderung lebih mudah dipengaruhi oleh politik uang. Bagi mereka, pilihan untuk menerima bantuan bukanlah soal prinsip moral, melainkan soal bertahan hidup. Mereka lebih memilih sesuatu yang langsung terlihat hasilnya daripada janji-janji kampanye yang belum tentu terwujud.

Kurangnya Edukasi Politik

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Selain faktor ekonomi, kurangnya edukasi politik juga menjadi akar masalah yang serius. Pemilih yang tidak mendapatkan informasi cukup mengenai proses politik dan dampaknya cenderung terjebak dalam bias, di mana mereka melihat politik sebagai pertunjukan pencitraan semata. Mereka tidak menyadari bahwa politik uang sebenarnya menghambat kemajuan demokrasi dan merugikan kepentingan mereka sendiri dalam jangka panjang.

Studi dalam International Journal of Political Education (2021) menunjukkan bahwa edukasi politik yang baik dapat menurunkan tingkat penerimaan politik uang hingga 30%. Ini membuktikan bahwa semakin masyarakat memahami proses demokrasi, semakin kecil kemungkinan mereka terjebak dalam politik uang.

Meningkatkan Kesadaran dan Pemberdayaan Ekonomi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun