Kekerasan terhadap wanita dan anak adalah sebuah isu yang kian hari kian menekan kesadaran masyarakat. Baik dalam ruang publik maupun di rumah, korban kekerasan sering kali terjebak dalam situasi yang sulit, di mana suara mereka terbungkam oleh rasa takut, tekanan sosial, atau ketidakberdayaan. Masyarakat menyaksikan hal ini, namun tak jarang memilih diam. Pertanyaannya, sampai kapan kita hanya menjadi penonton?
Keresahan Isu Kekerasan: Latar Belakang yang Meluas
Kekerasan terhadap wanita dan anak mencakup berbagai bentuk---fisik, emosional, hingga seksual. Menurut Abel & Kajumulo (2021), data menunjukkan peningkatan signifikan kasus kekerasan domestik selama pandemi. Tekanan ekonomi, isolasi, dan ketidakpastian hidup memicu konflik yang berujung pada kekerasan, terutama di lingkungan rumah tangga. Hal ini diperburuk dengan adanya faktor budaya dan sosial yang sering kali menormalisasi perilaku kekerasan atau menyalahkan korban.
Di ruang publik, wanita dan anak-anak juga kerap menjadi target pelecehan, baik secara verbal maupun fisik. Media sosial kini memfasilitasi platform bagi korban untuk berbicara, namun ironisnya, media ini juga menjadi tempat bagi para pelaku untuk bertindak tanpa takut konsekuensi.
kekerasan terhadap wanita dan anak sering kali berhubungan dengan struktur kekuasaan patriarkal dan ketidaksetaraan gender
Dalam banyak kasus, pelaku kekerasan merasa memiliki kontrol atau kekuasaan atas korbannya. Penelitian oleh Kelley (2021) menunjukkan bahwa pandangan yang mengakar dalam budaya mengenai dominasi laki-laki dan subordinasi perempuan berkontribusi besar pada praktik kekerasan ini.
Dampaknya tidak hanya dirasakan secara fisik, tetapi juga emosional dan psikologis. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan kekerasan sering mengalami trauma yang mendalam, yang dapat berdampak pada perkembangan mental mereka di kemudian hari. Begitu pula dengan wanita, yang kerap kali harus menanggung beban rasa malu, bersalah, atau bahkan kehilangan kepercayaan diri setelah menjadi korban kekerasan.
Menghentikan kekerasan terhadap wanita dan anak adalah tanggung jawab kita bersama
Ada beberapa langkah konkret yang dapat kita ambil sebagai individu dan masyarakat untuk menghadapi masalah ini:
Edukasi dan Kesadaran Publik: Masyarakat perlu mendapatkan edukasi yang lebih baik mengenai kekerasan dan dampaknya. Jones & Smith (2022) menekankan pentingnya pendidikan sejak usia dini tentang kesetaraan gender dan hak asasi manusia. Dengan meningkatkan kesadaran akan hak-hak dasar dan pentingnya hubungan yang sehat, generasi mendatang akan lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan.
Menciptakan Ruang Aman bagi Korban: Korban kekerasan sering kali merasa tidak memiliki tempat yang aman untuk berbicara. Menciptakan ruang aman, baik secara fisik maupun digital, sangat penting untuk membantu mereka berbicara dan mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan.
Penerapan Hukum yang Lebih Tegas: Hukum yang melindungi wanita dan anak dari kekerasan sudah ada, namun implementasinya sering kali lemah. Masyarakat harus terus mendesak pemerintah untuk memperketat penegakan hukum terkait kekerasan, serta memastikan bahwa pelaku mendapat hukuman yang setimpal.
Dukungan Emosional dan Psikologis: Korban kekerasan membutuhkan dukungan emosional yang berkelanjutan. Organisasi masyarakat, sekolah, dan keluarga bisa berperan aktif dalam memberikan dukungan psikologis agar korban bisa pulih dengan lebih baik.
Setelah mengetahui beberapa langkah yang bisa kita ambil, bagaimana menurut Anda? Apakah sudah saatnya kita bergerak untuk melindungi wanita dan anak dari kekerasan? Atau, apakah masih ada hal lain yang bisa kita lakukan sebagai bagian dari solusi ini? Mari kita berdiskusi dan bagikan pandangan Anda di kolom komentar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H