Mohon tunggu...
Ilham Akbar Junaidi Putra
Ilham Akbar Junaidi Putra Mohon Tunggu... Apoteker - Pharmacist

✍️ Penulis Lepas di Kompasiana 📚 Mengulas topik terkini dan menarik 💡 Menginspirasi dengan sudut pandang baru dan analisis mendalam 🌍 Mengangkat isu-isu lokal dengan perspektif global 🎯 Berkomitmen untuk memberikan konten yang bermanfaat dan reflektif 📩 Terbuka untuk diskusi dan kolaborasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dari FOMO ke JOMO: Bagaimana Masyarakat Indonesia Beralih Menikmati Kehidupan Tanpa Tekanan Sosial?

18 September 2024   22:00 Diperbarui: 18 September 2024   22:24 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Dalam beberapa tahun terakhir, ada sebuah fenomena menarik yang berkembang di kalangan masyarakat Indonesia, yaitu transisi dari FOMO (Fear of Missing Out) ke JOMO (Joy of Missing Out). FOMO menggambarkan ketakutan seseorang akan ketinggalan tren atau momen penting dalam kehidupan sosial. Namun, semakin banyak orang yang kini beralih menikmati JOMO---yakni kesenangan untuk tidak selalu terlibat dalam hiruk-pikuk sosial dan lebih memilih menikmati momen dalam kesendirian atau ketenangan.

Apa Itu FOMO?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

FOMO, atau ketakutan akan ketinggalan, diperkuat oleh media sosial yang memamerkan momen-momen istimewa dari kehidupan orang lain. Menurut Jurnal Cyberpsychology, Behavior, and Social Networking, FOMO mendorong individu untuk merasa cemas jika tidak mengikuti apa yang sedang tren atau tidak hadir di suatu acara yang populer di kalangan teman-temannya. Pada akhirnya, FOMO bisa menyebabkan stres, kecemasan, dan perasaan tidak puas terhadap diri sendiri.

Sebagai contoh, banyak orang merasa wajib untuk selalu mengikuti acara-acara sosial, memposting setiap momen hidup di media sosial, atau merespons semua undangan hanya demi "terlihat hadir" di dunia maya. Fenomena ini mendorong kita untuk terus berkompetisi secara sosial, tanpa memberi ruang untuk refleksi diri.

JOMO: Kesenangan dalam Ketidakhadiran

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Sebaliknya, JOMO mengajak kita untuk bersenang-senang dengan melewatkan hal-hal yang tidak benar-benar penting. Bukan berarti kita menghindar dari kehidupan sosial, tetapi kita memilih untuk menikmati waktu kita sendiri tanpa tekanan. Jurnal of Happiness Studies menunjukkan bahwa JOMO meningkatkan kepuasan hidup dengan membebaskan individu dari keharusan mengikuti tren dan fokus pada hal-hal yang benar-benar berarti bagi mereka.

Banyak orang kini lebih memilih untuk offline, menikmati buku, berolahraga, atau sekadar bersantai tanpa merasa perlu memamerkan aktivitas tersebut di media sosial. JOMO adalah kebalikan dari keharusan selalu terlibat. Ini adalah kesadaran untuk memilih momen berharga dalam hidup, bukan sekadar berusaha terlihat relevan.

Mengapa Masyarakat Indonesia Beralih ke JOMO?

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Tekanan sosial dan teknologi adalah salah satu pemicu terbesar FOMO. Namun, saat pandemi COVID-19 memaksa banyak orang untuk lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, masyarakat mulai menyadari pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan sosial dan waktu pribadi. Kecenderungan ini terus berkembang setelah pandemi, di mana orang mulai merasa lebih nyaman dengan kegiatan yang tidak selalu melibatkan banyak orang atau eksposur publik.

Selain itu, dengan kesadaran yang lebih tinggi akan kesehatan mental, masyarakat Indonesia mulai belajar bahwa tidak selalu hadir atau terlibat bukanlah tanda kegagalan sosial, tetapi sebuah pilihan yang sehat. Kini, semakin banyak yang memilih untuk menikmati waktu berkualitas dengan diri sendiri atau dengan orang-orang terdekat, tanpa harus memikirkan apa yang dilihat orang lain di media sosial.

Beralih dari FOMO ke JOMO

Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E
Gambar dihasilkan oleh AI melalui OpenAI's DALL-E

Jika kamu masih sering merasa terjebak dalam FOMO, berikut adalah beberapa langkah sederhana untuk mulai merangkul JOMO:

  1. Kurangi Konsumsi Media Sosial: Ambil jeda dari media sosial untuk memberi ruang bagi dirimu sendiri. Fokus pada hal-hal yang kamu nikmati, seperti membaca buku atau melakukan aktivitas fisik.

  2. Fokus pada Kegiatan yang Membuatmu Bahagia: Alih-alih memaksakan diri untuk mengikuti tren, pilih aktivitas yang membuatmu merasa tenang dan bahagia. JOMO bukan berarti menghindar, tetapi lebih kepada menikmati momen dengan sadar.

  3. Belajar Menolak Undangan dengan Bijak: Tidak semua undangan atau acara harus dihadiri. Beranikan diri untuk menolak jika merasa hal tersebut tidak akan memberikan manfaat bagimu. Pilihlah momen yang benar-benar penting dan berkesan.

  4. Ciptakan Waktu Hening: Sisihkan waktu setiap hari untuk dirimu sendiri. Meditasi, berjalan-jalan, atau sekadar bersantai dapat menjadi cara yang efektif untuk menikmati kesendirian tanpa gangguan sosial.

Sudahkah kamu merasakan peralihan dari FOMO ke JOMO dalam hidupmu? Atau mungkin kamu sedang berusaha melakukannya? Yuk, bagikan pengalaman dan pendapatmu di kolom komentar. Bagaimana caramu menikmati hidup tanpa tekanan sosial? Kami ingin tahu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun