Mohon tunggu...
Ilham Adli
Ilham Adli Mohon Tunggu... Mahasiswa - kaum proletariat

Jika Rene Descartes mengatakan cogito ergo sum yang artinya aku berfikir maka aku ada, maka aku mengatakan aku menulis maka aku ada.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Bertanya Kenapa?

4 Desember 2024   08:54 Diperbarui: 4 Desember 2024   09:09 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

KENAPA? Pertanyaan ini, entitas gaib yang menyusup ke dalam setiap celah kesadaran manusia, seperti aroma kopi basi di pagi yang tak pernah datang. Kita bertanya tidak karena berharap jawaban, tetapi karena bertanya adalah satu-satunya gerakan yang membuat kita tetap bergerak di tengah kerumunan absurditas yang mencekik.

 Pernahkah kau berpikir bahwa mungkin semua ini adalah lelucon semesta, bahwa "KENAPA" hanyalah gumaman kosong yang terperangkap dalam cangkang kepalamu? Semesta, makhluk tanpa wajah, memandang kita dengan kebisuan, seolah berkata, "Tanyakanlah, aku akan mendengar, tapi aku tidak peduli."

Kita, entitas kecil yang terjebak di dalam labirin eksistensi, terus berjalan, mengikuti jejak pertanyaan "KENAPA" yang dicatkan pada tembok-tembok realitas. Namun, alih-alih membawa pencerahan, setiap belokan hanya mempertemukan kita dengan bayangan sendiri, yang menertawakan kita dengan ekspresi yang familier tapi tak bisa diingat. 

Kita menari dengan ilusi jawaban, yang setiap kali hampir terpegang, ia menguap seperti asap, meninggalkan hanya aroma getir dari harapan yang remuk.

Dan di situlah manusia, dalam absurditas yang telanjang, menyadari satu hal: bertanya "KENAPA" bukanlah untuk menjawab teka-teki, tetapi untuk memeriahkan panggung kosong ini dengan kerlip cahaya yang aneh, yang hanya bisa dilihat dalam keputusasaan. 

Kita hidup di atas tali tipis antara makna dan kehampaan, seperti akrobat yang terlalu berani atau terlalu bodoh untuk menyadari jurang di bawahnya. 

Apa makna dari pertanyaan yang tiada habisnya ini? Camus mungkin akan tersenyum, memandang kita dari jauh dengan mata yang mencemooh namun penuh simpati, berbisik bahwa absurditas adalah sahabat yang sejati, bukan musuh.

Namun, manusia terus bertanya, tak peduli bahwa jawaban yang diinginkan tak akan pernah tiba. Pertanyaan "KENAPA" menjadi api yang membakar dirinya, menjaga tubuh tetap hangat dalam malam panjang kosmis. Apakah itu cukup? Mungkin tidak. 

Tapi dalam ketidakcukupan itu, ada ironi: dalam pertanyaan yang tak terjawab, manusia menemukan keberanian untuk tertawa, untuk terus berjalan di tengah badai makna yang terus mengamuk. Di situ, ia menari, dengan langkah kacau namun penuh vitalitas, dalam simfoni pertanyaan yang menjadi musik bagi jiwa yang enggan diam. 

Dan pada akhirnya, apakah "KENAPA" itu penting? Tidak, dan juga ya, dan itu adalah paradoks yang memabukkan. Kita menenun narasi dari absurditas, menyulam pengertian yang retak dengan benang mimpi dan harapan, hanya untuk melihatnya terurai di pagi yang baru. 

Kita mengulangi ritus ini, lagi dan lagi, bukan untuk menemukan jawaban, tetapi untuk memuja ketidakpastian dengan sepenuh hati---karena di sanalah, di antara kebingungan dan senyuman sinis semesta, kita menemukan diri kita yang sesungguhnya.

Dan pada malam-malam yang panjang, ketika bintang-bintang hanya menjadi noktah di lautan hitam yang menakutkan, manusia tetap duduk di tepi kasur yang dingin, menggumamkan "KENAPA" seperti mantra yang tak ada artinya. Namun, di dalam ketidakberartian itu, ada semacam ironi yang menenangkan, seperti tertawa di pemakaman atau menari di bawah hujan badai.

 "KENAPA" adalah tali kusut yang terjerat di pikiran, dan kita, dengan sabar dan saksama, mencoba mengurainya meski tahu bahwa ujungnya hanya akan mengarah ke simpul baru.

Di dalam absurditas ini, pertanyaan "KENAPA" menjadi teman yang paling setia. Ia mengintip di sela-sela tawa, mengisi kekosongan di balik air mata, dan berdiri di belakang bayangan kita saat kita merasa paling sendirian. 

Manusia adalah makhluk yang berusaha menciptakan makna dari kekacauan, seperti pelukis buta yang mencoba melukis pelangi dengan warna-warna yang tak pernah dilihatnya. Namun, bukankah di situ justru terletak keindahannya? Di dalam usaha yang sia-sia, di dalam pencarian yang tanpa ujung, manusia menemukan bahwa ia hidup bukan untuk jawaban, tetapi untuk pertanyaan itu sendiri.

Pertanyaan "KENAPA" memaksa kita untuk melampaui kenyataan yang kasat mata, masuk ke dalam pusaran pikiran di mana logika dan absurditas berdansa dalam putaran yang gila. Setiap gerakannya membingungkan, tetapi juga memukau. 

Kita adalah penonton sekaligus penari dalam permainan yang tak pernah kita pahami sepenuhnya, dan semesta, dengan senyum liciknya, terus menggeser lantai tari di bawah kaki kita. 

Namun, entah mengapa, kita terus melangkah. Mungkin karena tanpa pertanyaan "KENAPA", dunia ini akan berubah menjadi panggung kosong yang membosankan, tanpa drama, tanpa komedi, tanpa tragedi yang membuat kita menggigil dan tertawa sekaligus. 

Mungkin, di situlah terletak kekuatan manusia yang paling murni: keberaniannya untuk terus bertanya dalam ketidakpastian, untuk menciptakan narasi di antara kekosongan, untuk berteriak di dalam kegelapan dengan suara yang gemetar namun penuh harapan.

Jadi, saat kita bertanya "KENAPA", kita sebenarnya tidak mencari jawaban, tetapi merayakan absurditas itu sendiri. Kita mengakui bahwa dunia ini penuh teka-teki yang tidak akan pernah terselesaikan, dan itulah alasan mengapa kita terus bergerak. Pertanyaan "KENAPA" bukanlah kunci menuju jawaban, tetapi lagu yang terus kita nyanyikan dalam perjalanan yang penuh dengan angin dan badai. 

Dan mungkin, hanya mungkin, di tengah ketidaksempurnaan dan kebingungan itu, kita menemukan secercah makna, meski hanya sekejap, cukup untuk membuat kita melangkah ke hari berikutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun