Kita mengulangi ritus ini, lagi dan lagi, bukan untuk menemukan jawaban, tetapi untuk memuja ketidakpastian dengan sepenuh hati---karena di sanalah, di antara kebingungan dan senyuman sinis semesta, kita menemukan diri kita yang sesungguhnya.
Dan pada malam-malam yang panjang, ketika bintang-bintang hanya menjadi noktah di lautan hitam yang menakutkan, manusia tetap duduk di tepi kasur yang dingin, menggumamkan "KENAPA"Â seperti mantra yang tak ada artinya. Namun, di dalam ketidakberartian itu, ada semacam ironi yang menenangkan, seperti tertawa di pemakaman atau menari di bawah hujan badai.
 "KENAPA" adalah tali kusut yang terjerat di pikiran, dan kita, dengan sabar dan saksama, mencoba mengurainya meski tahu bahwa ujungnya hanya akan mengarah ke simpul baru.
Di dalam absurditas ini, pertanyaan "KENAPA" menjadi teman yang paling setia. Ia mengintip di sela-sela tawa, mengisi kekosongan di balik air mata, dan berdiri di belakang bayangan kita saat kita merasa paling sendirian.Â
Manusia adalah makhluk yang berusaha menciptakan makna dari kekacauan, seperti pelukis buta yang mencoba melukis pelangi dengan warna-warna yang tak pernah dilihatnya. Namun, bukankah di situ justru terletak keindahannya? Di dalam usaha yang sia-sia, di dalam pencarian yang tanpa ujung, manusia menemukan bahwa ia hidup bukan untuk jawaban, tetapi untuk pertanyaan itu sendiri.
Pertanyaan "KENAPA" memaksa kita untuk melampaui kenyataan yang kasat mata, masuk ke dalam pusaran pikiran di mana logika dan absurditas berdansa dalam putaran yang gila. Setiap gerakannya membingungkan, tetapi juga memukau.Â
Kita adalah penonton sekaligus penari dalam permainan yang tak pernah kita pahami sepenuhnya, dan semesta, dengan senyum liciknya, terus menggeser lantai tari di bawah kaki kita.Â
Namun, entah mengapa, kita terus melangkah. Mungkin karena tanpa pertanyaan "KENAPA", dunia ini akan berubah menjadi panggung kosong yang membosankan, tanpa drama, tanpa komedi, tanpa tragedi yang membuat kita menggigil dan tertawa sekaligus.Â
Mungkin, di situlah terletak kekuatan manusia yang paling murni: keberaniannya untuk terus bertanya dalam ketidakpastian, untuk menciptakan narasi di antara kekosongan, untuk berteriak di dalam kegelapan dengan suara yang gemetar namun penuh harapan.
Jadi, saat kita bertanya "KENAPA", kita sebenarnya tidak mencari jawaban, tetapi merayakan absurditas itu sendiri. Kita mengakui bahwa dunia ini penuh teka-teki yang tidak akan pernah terselesaikan, dan itulah alasan mengapa kita terus bergerak. Pertanyaan "KENAPA" bukanlah kunci menuju jawaban, tetapi lagu yang terus kita nyanyikan dalam perjalanan yang penuh dengan angin dan badai.Â
Dan mungkin, hanya mungkin, di tengah ketidaksempurnaan dan kebingungan itu, kita menemukan secercah makna, meski hanya sekejap, cukup untuk membuat kita melangkah ke hari berikutnya.