Lebih jauh, dalam perspektif filsafat fenomenologi, interaksi di dalam pesantren dapat dilihat sebagai proses dialektika antara self dan other. Santri tidak hanya menerima ilmu sebagai entitas yang statis, tetapi secara aktif berinteraksi dengan tradisi, guru, dan sesama santri lainnya dalam ruang intersubjektivitas. Proses ini memungkinkan santri untuk mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang realitas sosial-politik dan posisi mereka di dalamnya. Di sinilah pesantren berfungsi sebagai ruang intersubjektif yang memungkinkan santri mengembangkan kesadaran kritis melalui refleksi kolektif.
Dalam konsep Paulo Freire, pesantren dapat dilihat sebagai medium pedagogy of the oppressed, di mana proses pembelajaran dilakukan dengan dialogis dan kritis terhadap situasi di mana mereka berada. Dalam konteks ini, santri bukan hanya objek pendidikan tetapi juga subjek yang aktif dalam pembentukan kesadaran mereka sendiri melalui proses refleksi kritis dan dialog. Melalui sistem pendidikan yang berorientasi pada teks keagamaan dan didukung oleh kehidupan bersama di asrama, santri didorong untuk mengalami conscientização atau proses penyadaran yang mendalam tentang kondisi di sekitar mereka, termasuk ketimpangan sosial, kekuasaan, dan struktur yang mendominasi.
Secara kritis, pesantren juga memainkan peran sebagai agen perubahan struktural, di mana mereka dapat menantang atau setidaknya mempertanyakan sistem kapitalis dan struktur kelas yang seringkali bertentangan dengan nilai-nilai keadilan sosial dalam Islam. Pesantren berpotensi menjadi wadah bagi munculnya kesadaran transformatif di kalangan santri, di mana mereka tidak hanya diisi dengan doktrin keagamaan, tetapi juga dilatih untuk merenungkan dan mengkritisi keadaan sosial-ekonomi mereka. Dalam perspektif Althusser, pesantren dapat dilihat sebagai salah satu Ideological State Apparatus (ISA), tetapi dengan pengecualian bahwa pesantren tidak tunduk pada logika kapitalisme atau kekuasaan negara secara mutlak; ia memiliki kebebasan interpretatif dan bahkan cenderung menjadi pusat resistensi terhadap nilai-nilai dominan yang dianggap eksploitatif.
Dengan demikian, posisi pesantren dalam dialektika sosial-politik bukanlah posisi yang pasif atau sekadar penerus tradisi, tetapi sebuah posisi aktif yang mengajak santri untuk melakukan refleksi dan aksi terhadap realitas sosial di sekitar mereka. Pesantren mendorong santri untuk menjadi agent of change dalam masyarakat, menciptakan ruang di mana nilai-nilai keislaman bersinggungan dengan kesadaran sosial, ekonomi, dan politik, dan pada akhirnya menantang struktur yang dianggap tidak adil.
DIALEKTIKA SANTRI DAN IDEOLOGI KIRI: KEADILAN SOSIAL DALAM PRESPEKTIF ISLAM DAN MARXIAN
Hubungan santri dengan ideologi kiri menimbulkan pertanyaan filosofis tentang kemungkinan pertemuan antara ajaran Islam yang mereka pelajari di pesantren dengan gagasan-gagasan dari tradisi pemikiran kiri, seperti Marxisme. Walaupun seringkali dianggap kontradiktif, keduanya berbagi kesamaan nilai, terutama dalam komitmen mereka terhadap keadilan sosial dan perlawanan terhadap ketimpangan. Dalam perspektif filsafat, hubungan ini dapat dianalisis melalui berbagai konsep seperti etika sosial, dialektika, dan praxis.
Pada dasarnya, baik Islam maupun pemikiran kiri memiliki kesadaran akan locus of injustice—tempat-tempat di mana ketidakadilan terjadi. Dalam Islam, nilai keadilan (al-‘adl) merupakan prinsip utama yang melandasi hubungan sosial. Secara filosofis, konsep ini dapat disejajarkan dengan prinsip keadilan dalam pemikiran kiri, yang juga menempatkan perjuangan kelas sebagai pusat untuk mengatasi ketidakadilan struktural. Santri yang telah mendalami nilai keadilan dalam ajaran Islam mungkin menemukan harmoni antara nilai tersebut dengan konsep class struggle atau perjuangan kelas dalam Marxisme, yang sama-sama berjuang demi kesejahteraan masyarakat yang tertindas dan marginal.
Lebih jauh lagi, dalam konteks dialektika sosial yang diajukan oleh Hegel dan kemudian dikembangkan oleh Marx, kesadaran santri tentang keadilan dapat dilihat sebagai suatu bentuk thesis yang bertemu dengan antithesis dalam bentuk kenyataan sosial yang penuh dengan ketidakadilan struktural. Pertemuan antara nilai keislaman yang mereka pelajari dengan realitas sosial tersebut menciptakan synthesis berupa ide perlawanan terhadap ketimpangan dan ketidakadilan. Dialektika ini mempertemukan ajaran Islam yang menekankan keadilan sebagai nilai transendental dengan gagasan-gagasan kiri yang cenderung bersifat materialis dan strukturalis. Bagi santri yang berpandangan progresif, Islam tidak dilihat sebagai doktrin statis, tetapi sebagai kerangka praxis, yaitu tindakan nyata untuk melawan ketidakadilan dan mengubah realitas sosial menuju keadilan.
Dalam perspektif Karl Marx, agama sering dianggap sebagai "opium rakyat," tetapi dalam konteks pesantren dan santri, agama justru bisa menjadi alat pembebasan. Para santri yang terpapar ideologi kiri dapat memandang Islam bukan sebagai sarana untuk melegitimasi status quo, tetapi sebagai jalan untuk menantang dan mengubah struktur-struktur yang dianggap menindas. Islam, dalam pemahaman ini, tidak lagi dilihat sebagai alat yang mendukung stabilitas sosial untuk kepentingan kelas dominan, tetapi sebagai ideologi pembebasan yang mendukung redistribusi keadilan, menolak eksploitasi, dan mendorong transformasi sosial. Dengan demikian, dalam kerangka pemikiran kiri, agama bisa di-reframing sebagai alat emansipasi, bukan alat dominasi.
Selain itu, gagasan emansipasi dalam filsafat kiri juga sejalan dengan konsep rahmatan lil ‘alamin dalam Islam, yaitu Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam. Prinsip ini mengandung makna bahwa Islam seharusnya hadir untuk menjamin keadilan, kesejahteraan, dan hak-hak manusia, termasuk mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Santri yang berpandangan progresif dapat memaknai rahmatan lil ‘alamin sebagai bentuk etika sosial yang mengikat mereka untuk memperjuangkan masyarakat kecil dan terpinggirkan. Dalam hal ini, nilai keislaman menjadi semacam moral imperative atau kewajiban moral untuk melakukan tindakan demi keadilan sosial, serupa dengan categorical imperative dalam filsafat Kantian tetapi dengan aplikasi yang lebih sosial dan kolektif.
Pemikiran kiri juga menawarkan pemahaman materialis tentang ketidakadilan yang mungkin tidak ditemukan dalam kajian-kajian klasik di pesantren. Dalam kerangka Marxian, ketidakadilan bukanlah hasil dari keburukan moral individu, tetapi dari struktur ekonomi yang eksploitatif. Perspektif ini dapat memperkaya pemahaman santri mengenai sumber ketimpangan dalam masyarakat, yang kemudian dapat diintegrasikan ke dalam interpretasi keadilan sosial dalam Islam. Santri yang memahami dimensi struktural dari ketidakadilan ini mungkin akan melihat perjuangan kelas sebagai sesuatu yang inheren dalam perjuangan keislaman mereka, karena ketimpangan struktural yang diperangi oleh pemikiran kiri serupa dengan ketimpangan sosial yang dicela dalam ajaran Islam.