Mohon tunggu...
Ilham FitraMaulana
Ilham FitraMaulana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terima kasih sudah mampir dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pemberontakan Shimabara, Perlawanan Umat Kristen Jepang terhadap Keshogunan Tokugawa

31 Agustus 2023   19:26 Diperbarui: 31 Agustus 2023   19:31 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.newworldencyclopedia.org/entry/File:Remains_of_Hara_castle.jpg

Pemberontakan Shimabara adalah sebuah pemberontakan yang terjadi pada tahun 1673-1638 di Jepang. Pemberontakan ini terjadi di daerah Shimbara dan Amakusa, yang terletak di Pulau Kyushu, Jepang.

Pemberontakan ini dipicu oleh sejumlah faktor, termasuk ketidakpuasan sosial dan ekonomi yang dirasakan oleh para petani dan rakyat jelata, serta ketegangan agama. Daerah tersebut telah lama menderita akibat beban pajak yang berat dan kesulitan ekonomi. Selain itu, kebijakan pemerintah Tokugawa yang melarang agama Kristen menyebabkan ketegangan antara penganut Katolik di wilayah tersebut dan pemerintah.

Sebuah aspek penting dari tragedi pemberontakan ini adalah perbedaan agama. Sebagian besar penduduk di wilayah Shimabara adalah penganut Katolik, yang merupakan hasil dari misi Kristen awal di Jepang pada abad ke-16. Pemerintah Tokugawa, yang berkuasa pada masa itu, telah melarang agama Kristen dan menghukum keras para penganutnya. Kebijakan ini menciptakan ketegangan antara pemerintah dan penduduk setempat yang tetap berpegang pada agama Kristen mereka.

Wilayah Shimabara waktu itu dikuasai oleh daimyo bernama Matsukura Takanobu. Takanobu dituduh mengeksploitasi penduduk setempat dengan memaksakan pajaknya yang sangat tinggi dan perlakuan kasar terhadap masyrakat Shimbara. Ketidakpuasan terhadap pemerintah lokalnya menjadi salah satu  pemicu utama pemberontakan.

Selain ketidakpuasan ekonomi, terdapat ketidakpuasan sosial dan politik yang meluas di kalangan rakyat jelata. Banyak dari mereka merasa tertekan oleh pemerintah pusat dan daimyo setempat dan mereka menginginkan perubahan.

Begitu juga dengan pemerintah Tokugawa telah menerapkan kebijakan ketat untuk mengawasi dan mengendalikan rakyat. Ini termasuk pembatasan pergerakan penduduk, pengawasan terhadap aktivitas agama, dan larangan senjata. Semu aini  menciptakan suasana ketegangan yang memicu ketidakpuasan yang lebih besar.

Pada tahun 1637, pemberontakan pun dimulai ketika sekelompok petani dan penganut Kristen yang sudah geram terhadap Keshogunan Tokugawa dan Daimyo setempat di Shimbara. Para pemberontak melakukan tindakan pertama mereka dengan merebut benteng Hara pada bulan Desember 1637. Ini adalah kemenangan awal bagi mereka dan memberi semangat kepada pemberontakan.

Pasukan Keshogunan Tokugawa yang dipimpin oleh daimyo Matsukura Takanobu, merespon dengan mengirim pasukan untuk mengepung dan menyerang benteng Shimabara yang dikuasai oleh pemberontak. Pertempuran sengit terjadi di sini selama beberapa bulan. Pemberontak melawan dengan gigih tetapi akhirnya benteng itu jatuh pada bulan April 1638.

Setelah kehilangan benteng Shimabara, pemberontak mundur ke benteng Hara. Pasukan pemerintah mengelilingi benteng Hara dan mengepungnya. Pertempuran di sini berlangsung sangat sengit. Pemberontak mencoba bertahan, tetapi pada akhirnya benteng Hara jatuh pada bulan April 1638 setelah pengepungan berbulan-bulan.

Setelah kekalahan di benteng Hara, sejumlah pemberontak melarikan diri ke pegunungan, tetapi mereka dikejar oleh pasukan pemerintah. Pengejaran terus berlanjut hingga banyak pemberontak yang ditangkap dan dieksekusi begitu juga dengan pemimpin pemberontkan, Amakusa Shirou Tokisada juga dieksekusi. Pada pertengahan tahun 1638, pemberontakan secara efektif sudah ditumpaskan. Pasukan pemerintah telah berhasil menghancurkan kelompok-kelompok yang tersisa.

Setelah pemberontakan ini, pemerintah Tokugawa memperketat kendali mereka atas wilayah Kyushu dan melarang agama Kristen dengan lebih keras lagi. Ini mencerminkan upaya pemerintah untuk menghindari pemberontakan serupa di masa depan dan mempertahankan stabilitas dalam negeri.

Pemberontakan Shimabara adalah konflik berdarah yang menciptakan banyak penderitaan dan kerusakan. Itu juga memiliki dampak yang berlarut-larut dalam sejarah Jepang, khususnya dalam hal penindasan agama Kristen dan kontrol yang lebih ketat atas rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun