Sains (Science) atau ilmu pengetahuan adalah bagian dari sistematika ilmu, menggunakan metode ilmiah dapat diterima secara logika melalui replikasi pengamatan (dapat dibuktikan), sebagai pemahaman manusia tentang mahkluk hidup dan alam semesta. Harus jujur mengakui bahwa perkembangan sains modern berjalan sangat cepat meninggalkan rumah asalnya dan memilih hidup sendiri, mandiri terlepas dari filsafat sebagai ibu yang melahirkannya. Filsafat secara historis adalah inti dari segala pengetahuan, merupakan metodologi yang mengkaji pertanyaan-pertanyaan umum dan mendasar, terkait eksistensi, nalar, logis, sistematis, menjabarkan nilai-nilai luhur, akal budi, kabajikan dan menggunakan unsur bahasa sebagai alat komunikasi. Filsafat sebagai ibu pengetahuan yang melahirkan sains belakangan menjadi jauh dan semakin diasingkan sejalan dengan kemajuan teknologi yang semakin pesat.
Salah satu GAP yang terlihat saat ini adalah upaya membuat dikotomi antara pendidikan ilmu alam dan ilmu sosial, padahal dalam sejarah peradaban manusia kedua ilmu ini berjalan selaras tidak saling mendahului bahkan secara kolektif menciptakan harmonisasi alami dalam siklus waktu yang panjang. Berkat harmonisasi itu maka sistem ekologi dan sumberdaya alam sebagai produk esensial yang dibutuhkan seluruh makhluk dimanfaatkan secara baik dan berkelanjutan.
Pengetahuan saat ini (normal science) telah banyak mengahasilkan temuan-temuan baru untuk mendukung eksistensi kehidupan manusia di bumi. Banyak ilmuan modern yang telah mengembangkan teknologi pada rekayasa sosial, ekologi bahkan biologi yang membuat kita menggeleng-geleng kepala mendengarnya, tetapi suka atau tidak suka dunia sedang bergerak ke arah itu. Suatu saat kita akan melihat telinga manusia direkayasa dari membran sel daging tikus, kepala manusia yang bisa di transplantasi ke tubuh hidup, pembuahan zigot dapat terjadi antara sel sperma dan sperma, dan sel ovum dengan ovum bahkan hal lain di luar nalar yang mungkin sebelumnya awam kita ketahui yaitu upaya rekayasa pembuatan otak manusia untuk menggantikan otak manusia saat ini.
Dilema yang menjadi pertanyaan kita adalah; "Apakah kita akan menyalahkan sains?", padahal hingga saat ini sains telah membantu manusia menemukan banyak pengetahuan baru dan mengubah peradaban manusia modern, atau kita menghentikan perkembangan sains modern melalui pembatasan eksperimen dan mematikan sains sehingga tidak berkembang lagi? Bagi sebagian kelompok perkembangan sains yang cepat dan semakin jauh seperti sekarang, cenderung merubah paradigma yang tabu, karena dianggap menyimpang dalam sistem sosial manusia, lalu kemudian dapat melahirkan sikap skeptis sebagian orang terhadap keyakinan agama/spiritual yang telah dianut selama ini. Sebagian lagi berpandangan bahwa sains merupakan harapan manusia modern untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di masa depan, bahkan jika harus bergesekan dengan pandangan spiritual dan melawan kodrat alamiah manusia dan pencipta.
Pengetahuan (knowledge) adalah persesuaian informasi, rekam jejak pengalaman yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Dalam prespektif ini pengetahuan tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang menjelaskan konsep interpretasi probabilitas benar atau berguna. Harus diakui bahwa perkembangan ilmu pengetahuan terjadi secara non linier, artinya terjadi loncatan yang jauh, menimbulkan perbedaan dan perdebatan sosial untuk diterima atau tidak diterima. Pertanyaan baru yang perlu didiskusikan ialah "apakah sains modern dapat melupakan pengetahuan tradisional?" Kedudukan dalam filsafat ilmu, hierarki ini menempati urutan yang mendasar yaitu; Knowledge - Science - Wisdom.
Artinya pengetahuan (knowledge) dapat melahirkan ilmu pengetahuan (science) dan kemudian berkembang sesuai keinginannya sendiri, bebas dan tidak dibatasi, dapat menghasilkan temuan baru yang menjawab kebutuhan manusia modern. Padahal sains di tahapan ini memiliki kemampuan untuk bergerak terus menuju pada capaian kearifan/budi pekerti/norma (wisdom). Pada tahapan ini sains tidak boleh berjalan sendiri, tetapi harus dikawal oleh filsafat sebagai akar dan sumber pengetahuan. Pada sisi lain, informasi dari pengetahuan juga dapat berkembang langsung menuju kearifan yang syarat nilai dan norma sosial tanpa memerlukan science.
Untuk memahami sains sebaiknya tidak berhenti pada aspek mekanistik yang bersifat tahapan atau prosedural dalam dimensi ilmu, melainkan harus diintegrasikan dengan pengetahuan alami (natural knowledge/tradisional knowledge) bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam berjalan secara teratur dan dapat berubah jika terjadi intervensi oleh manusia. Maka dalam prespektif itu, menjadi tanggung jawab kita semua bahwa sains harus ditemani dan tidak boleh berjalan sendiri. Melalui peran tokoh agama, masyarakat, adat dan kaum cendekiawan spiritual yang lurus, dengan tujuan mengembalikan sains ke rumah asalnya yaitu filsafat ilmu.
Untuk memahami sinkronisasi dimensi ini, mari kita mencoba flashback ke periode waktu sebelum 12 ribu tahun lalu, dimana bumi masih ditempati oleh makhluk lain sebelum manusia, penguhuni bumi tersebut telah menempati alam ini, secara silih berganti, namun banyak di antara mereka membuat kerusakan dan pertumpahkan darah (Al-Quran Surah Al-Baqarah Ayat 30-33), selanjutnya mereka disebut sebagai Al Hin dan Al bin, lebih dikenal dalam kitab suci dan beberapa kitab spiritual lain sebagai bangsa Jin.
Memasuki masa peradaban bapak manusia, Nabi Adam telah mendesain kehidupan manusia awal dengan seimbang pada periode waktu yang lama, kemudian beregenerasi menjadi peradaban baru secara periodik dari masa ke masa dan meninggalkan legacy yang pada dasarnya adalah untuk menjaga keberlanjutan alam dan manusia. Artinya jika ada perilaku manusia yang merusak dan melakukan kemungkaran terhadap tatanan kehidupan alami, bisa jadi dia memiliki sifat dan perilaku yang sama dengan bangsa Jin.
Hakikat kehidupan di dunia idealnya berjalan harmonis antara, pencipta, alam semesta dan manusia, ketiga dimensi ini merupakan konektivitas lahiriah (sunatullah) manusia sejak awal ditunjuk menjadi khalifah (wakil/pemimpin) di muka bumi kemudian diperbolehkan untuk perkembang dan membuat peradaban sendiri. Dalam hubungan integrasi alam dan manusia terdapat resonansi yang harmonis dilahirkan dari dasar pengetahuan yang paling dalam, berhubungan erat dengan filsafat ilmu melalui keyakinan, kepercayaan, kepatuhan, berkembang menjadi mitos leluhur, tradisi budaya, yang dalam kajian filsafat memiliki ikatan kuat secara spiritual layaknya prinsip awal penciptaan manusia. Pengetahuan ini kemudian ada yang berkembang dan diterjemahkan dalam pandangan-pandangan kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan tradisional (tradisional knowledge), pengetahuan ekologi (ecological knowledge) yang pada dasarnya adalah konektivitas harmonis antara pencipta, alam semesta dan manusia.
Untuk itu sangat naif jika ada anggapan bahwa manusia dan alam merupakan sistem yang terpisah, mengacu pada sains modern dengan kaca mata kuda tanpa memahami dimensi keyakinan religious dan sistem sosial yang syarat makna kearifan hidup. Paradigma ini sering kali menjadi life style atau setidaknya membentuk mindset bagi sebagian komunitas liberal dan hedon. Berbeda dengan masyarakat asli/lokal/adat yang umumnya menempatkan sumberdaya sebagai kerabat yang harus dijaga dan dilestarikan.
Walaupun tantangan besarnya bahwa kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat menyebabkan persaingan semakin tinggi untuk mendapatkan sumberdaya alam. Tetapi setidaknya mereka telah memilih untuk meletakan keyakinan bahwa alam dan manusia merupakan satu kesatuan terikat (imfb).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI