Mohon tunggu...
Im human
Im human Mohon Tunggu... Lainnya - beginner

Hanya menulis yang telah terjadi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mudik Ditinjau dari Aspek Historis, Sosial, Spiritual dan Kulturalnya

15 April 2021   15:37 Diperbarui: 4 Desember 2021   16:04 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kata mudik diambil dari kata "udik" yang artinya Selatan/Hulu lawan kata dari Hilir. Pada masa Kolonial, masyarakat Betawi menyuplai segala kebutuhan dari wilayah bagian selatan. Mereka melakukan transaksi mulai dari Utara ke Selatan hingga kembali ke Utara. Hal ini yang membuat perkembangan definisi umum mudik hingga menjadi "bolak balik". Kata  Mudik/udik dapat diartikan sebagai persepsi desa atau kampung tempat kelahiran seseorang.

Bagi masyarakat Indonesia, mudik telah menjadi sebuah tradisi yang tidak dapat ditinggalkan. Mudik tidak hanya dilakukan sebelum dan sesudah lebaran, melainkan ketika seseorang sudah mendapatkan waktu libur dari aktivitasnya baik bekerja maupun belajar. biasanya mereka mulai mudik dari kota/Provinsi/luar negeri menuju kampung halamannya atau dari luar kota menuju kota kelahirannya. 

Umumnya mereka yang mudik adalah migran Perkotaan. Karena Perkotaan dinilai memiliki daya tarik tersendiri, Lebih mengarah kepada kemajuan dibandingkan dengan pedesaan. Namun secara kehidupan desa bersifat alamiah, disini manusia sangat digantungkan dengan potensi alam yang ada sedangkan di kota mempunyai beragam profesi yang ada. Para ahli mengemukakan bahwa perkotaan merupakan kantong perekonomian, pusat segala industri, serta pusat dari kekuasaan yang membuat semua keputusan untuk Rakyat. Karena itulah kota menjadi tempat orang desa untuk mengadu nasib dan kelak mereka akan pulang ke kampung halamannya. 

Mudik memang sudah dilakukan sejak lama. Menurut Ensiklopedia Islam Nusantara, tradisi mudik sudah ada pada zaman Majapahit dimana para petani mengunjungi makam para leluhur serta memanjatkan doa-doa keselamatan terhadap para Dewa Kahyangan. Perlu diketahui aktivitas tersebut dilakukan setahun sekali. Kegiatan mudik turut dilakukan oleh keluarga kerajaan hingga masuknya agama Islam mudik mulai dilakukan ketika menjelang lebaran. Ketika adanya akulturasi di masyarakat Jawa, Sedikit demi sedikit ziarah kubur yang dinilai syirik akhirnya dapat diterima oleh masyarakat muslim dengan disertai nilai-nilai keislaman dalam berziarah. 

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban (Agus: FIB Undip). Oleh sebab itu muncullah tradisi mudik walaupun terpisahkan oleh faktor geografis.

Namun ada versi lain menyebutkan bahwa tradisi ini muncul karena bangsa Indonesia merupakan keturunan Melanesia dari Yunan, China. Yang dikenal sebagai masyarakat pengembara. Mereka mulai tersebar ke berbagai daerah demi mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang memadai. dan akan pulang ke kampung halamannya pada bulan tertentu. Sesampainya di kampung halaman mereka melakukan berbagai ritual keagamaan. 

Dengan mudik, manusia dapat menjalin hubungan spiritual dengan leluhur, keluarga, sahabat, dan kerabat. Tradisi ini turut menyambungkan antara situasi lama dan situasi terbaru. Disatu sisi mereka bekerja, beraktivitas dan berumah di wilayah lain namun disatu sisi mereka juga terikat batin oleh kampung halaman tempat mereka lahir dan dibesarkan. 

Pulang kampung bukan hanya digunakan sebagai silaturahmi, tetapi juga menghilangkan beban aktivitas di rantau seperti kerasnya kehidupan kota, bisingnya perkotaan dan sebagainya. Karena sejatinya keluarga adalah lingkungan tempatnya berkeluh kesah dengan sambutan keramahan mereka. Sejuknya kampung halaman dan ketenangannya serta nostalgia romantisme di sana dapat menjadi obat para migran kota dari berbagai tekanan sehingga tidak ada alasan untuk melewatkan mudik.

Dari segi sosialnya, mudik membawa setumpuk cerita kehidupan masyarakat luar wilayah yang dapat diceritakan kembali sebagai sarana informasi masyarakat di tanah kelahiran. Selain itu mereka dapat menceritakan pengalaman mereka di rantau hingga mencapai kesuksesan. dan mudik bisa digunakan sebagai sarana pengenalan budaya baru, terutama yang berhubungan dengan aspek modernis. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana anak rantau menggunakan pakaian, aksesoris serta perubahan gaya berbicara. Bahkan bagi beberapa daerah di Indonesia, mereka yang telah pulang dari daerah rantau dianggap memiliki strata sosial yang cukup tinggi. 

Dengan adanya tradisi mudik menandakan bahwa manusia memang tidak bisa lepas dari masa lalunya. Pulangnya mereka merupakan simbol romantisme dalam bermasyarakat. Dengan mudik manusia dapat terhubung dengan kultur asalnya serta menghidupkan kembali kenangannya di masa lalu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun