PENDAHULUAN
Salah satu masalah politik global yang menonjol saat ini adalah konflik Laut China Selatan. Wilayah ini, kaya akan sumber daya alam dan penting secara geopolitik oleh banyak negara. Beberapa negara di sekitarnya seperti China, Indonesia, Vietnam, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Taiwan memiliki klaim teritorial yang tumpang tindih. Klaim yang meningkat dan tindakan militer semakin agresif dari beberapa pihak yang terlibat telah meningkatkan ketegangan di wilayah tersebut.
Laut China Selatan merupakan sebuah kawasan perairan dan gugusan kepulauan yang terdiri dari dua Pulau besar yaitu Spratly dan Paracels. Luas dari Kawasan ini membentang melewati beberapa Negara, mulai dari Selat Malaka sampai ke Selat Taiwan (Nainggolan, 2013). Meskipun Indonesia bukan negara yang aktif untuk saling klaim, artinya hanya menjaga kedaulatan wilayahnya dari klaim dari negara lain (Dienda & Muhammad, 2022).
Indonesia kemudian berhak atas pengelolahan dan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE sekaligus mendapatkan keuntungan strategis ketika ZEE di wilayah perairan Natuna Utara dikelola sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional (Sulistyani et al., 2021).
Beberapa sikap diplomatis sudah dilakukan Indonesia untuk menghindari tensi konflik yang kian memanas, salah satunya memberikan penamaan baru Laut Natuna Utara diganti menjadi Laut China Selatan pada tahun 2017. Namun kuatnya pengaruh China membuat Indonesia harus mengkaji ulang mengenai aspek diplomasi yang selama ini dianggap tidak dapat berbuat banyak untuk menekan China mencabut klaim kedaulatan atas wilayah Laut China Selatan dan mematuhi hukum laut Internasional UNCLOS 1982 (Andika & Aisyah, 2017).
Konflik Laut China Selatan menjadi isu hangat di media massa dan sosial belakangan ini. Menurut Henrik Thune bahwa pengaruh media masa dalam proses decision making, dewasa ini tentunya dimanfaatkan oleh para pengambil keputusan sebagai instrumen guna mengkomunikasikan tatanan struktur politik yang memuat pesan dan simbol terhadap kekuatan hegemoni (Setiawan, 2019). Hal tersebut menggambarkan sebuah kerangka pandangan terhadap media massa sebagai perpanjangan tangan negara dalam kebijakan politik luar negeri (Coban, 2016).
Media massa dan sosial menjadi semakin penting di tengah-tengah ketegangan ini dalam membentuk opini publik dan mengarahkan narasi konflik. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kepentingan maritim yang besar, sangat memperhatikan pengaruh propaganda media massa dan sosial terhadap kedaulatan negara. Media massa seperti surat kabar dan televisi memiliki kekuatan besar untuk membentuk opini publik melalui pemberitaan dan analisisnya tentang konflik Laut China Selatan. Di sisi lain, media sosial seperti twitter memungkinkan penyebaran informasi dan propaganda dengan cepat dan luas sehingga mempengaruhi persepsi masyarakat konflik.
Prolog di atas merupakan dilema yang penulis temukan saat mengulik konflik Laut China Selatan. Konflik ini menjadi perbincangan dan bahkan menjadi topik Debat Calon Presiden 2024 yang digelar di Istora Senayan pada Minggu, 7 Januari 2024. Pembahasan konflik Laut China Selatan masuk kedalam topik Pertahanan, Keamanan, Politik Luar Negeri, Globalisasi, Hubungan Internasional, dan Geopolitik.
Tujuan dari tulisan ini untuk melihat dampak dari propaganda media massa dan sosial mengenai konflik Laut China Selatan terhadap Aparatur Negara baik ASN, TNI maupun Polri sebagai bentuk ancaman kedaulatan Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi melalui survei literasi dan penyebaran kuesioner. Sehingga dari tulisan ini diharapkan dapat memberi sudut pandang informasi bagaimana propaganda media mempengaruhi pandangan masyarakat Indonesia, mengancam kedaulatan Indonesia dan dapat digunakan untuk mengembangkan solusi yang efektif untuk menjaga kedaulatan Indonesia. Selain itu, diharapkan melalui tulisan ini mampu mengedukasi masyarakat khususnya Aparatur Negara dan menjadikan masyarakat lebih peduli terhadap kedaulatan negara Indonesia.
PROPAGANDA MEDIA
Persebaran Narasi Propaganda Twitter
Sejak tahun 2012 hingga 2020, beberapa sumber telah membahas perkembangan studi mengenai konflik Laut China Selatan dalam perspektif komunikasi secara global. Dari sekian akun pada media sosial twitter yang membahas tentang isu Laut China Selatan terdapat penulis aktif mencapai 28.031 dan penulis yang teridentifikasi mencapai 2.412, penelusuran dilakukan terhadap artikel yang terbit antara 5 tahun sampai dengan 15 tahun terakhir. Hasilnya ditemukan 21 kajian/studi yang diterbitkan dari Asia, Amerika, dan Australia terkait dengan pembahasan konflik Laut China Selatan dalam perspektif komunikasi global. Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu ancaman yang berpotensi menimbulkan dampak negatif besar, tidak hanya bagi Indonesia, tetapi juga bagi stabilitas kawasan di Asia Tenggara (Dienda & Muhammad, 2022).
Beberapa peristiwa penting di twitter yang dikelompokan oleh situs Drone Emprit mengenai ketegangan Laut China Selatan sebagai berikut :
- 11 Juni 2020, akun twitter @RepTedYoho menjelaskan bahwa China menganggap Taiwan bagian dari China. Sejarah panjang dua negara serumpun ini semakin mempertajam konflik keduanya. Hal itu diikuti penguatan militer Taiwan untuk menegaskan kedaulatanya di Laut China Selatan (Arbar, 2020).
- 13 Juni 2020, akun twitter @Leighforusa menulis bahwa Angkatan udara Amerika Serikat atau USAF (United States Air Force) menerbangkan drone di Laut China Selatan membuktikan kepentingan atau intervensi Amerika Serikat dalam wilayah tersebut (Dienda & Muhammad, 2022).
- 17 Juni 2020, akun twitter @ShashiTharoor menjelaskan bahwa China menenggelamkan kapal ikan Vietnam (Dienda & Muhammad, 2022).
- 20 Juni 2020, akun twitter @ANI menulis bahwa angkatan laut Amerika Serikat atau US Navy melakukan latihan gabungan dengan Jepang di Laut China Selatan (Dienda & Muhammad, 2022).
- 23 Juni 2020, akun twitter @StateDept menjelaskan bahwa Menteri Luar Negeri Amerika Serikat secara terbuka menantang China dengan melalukan kerjasama dengan India. Kemudian dilanjutkan dengan pembahasan Amerika Serikat mengenai undang-undang keamanan di Hongkong (Dienda & Muhammad, 2022).
Propaganda Media China
China menjadi negara yang aktif dalam mempromosikan klaim kedaulatan atas wilayah Laut China Selatan melalui media massa (Gracia, 2018). Di era kepemimpinan presiden Xi-Jinping, China tengah meningkatkan jangkauan media massa sebagai bagian dari strategi diplomasi guna menyebarkan pengaruhnya di Laut China Selatan. Kantor Berita Xinhua Group, China News Network Corporation (CNC) dan China Central Television (CGTV) fokus terhadap setiap narasi pemberitaan sebagai soft-power diplomasi dalam mengukuhkan pengaruh global China (Cook, 2020). Dalam hal ini China telah menunjukan pada dunia internasional, bahwa pengaruh media massa menghantarkan asumsi bagi dunia terhadap pembenaran klaim kedaulatan China di Laut China Selatan (AS, 2014). Penggunaaan klaim "Nine Dashed Line" di Kawasan Laut China Selatan sebagai instrumen informasi untuk membentuk opini masyarakat China maupun komunitas internasional bahwa Laut China Selatan secara historis adalah wilayah "traditional fishing ground" China sejak dahulu (Mandaku & Samad, 2022)
Propaganda Peta Baru China
Peta baru China dirilis Kementerian Sumber Daya Alam China pada Senin 28 Agustus 2023. Media milik pemerintah China, China Daily mengumumkan "Peta Standar China 2023". China mempertahankan klaim "Nine Dash Line" di kawasan Laut China Selatan. Hal terbaru dalam peta ini adalah masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan sehingga menambah satu garis putus dari sembilan menjadi sepuluh garis putus-putus. Hal tersebut memperluas klaim China atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina. Dalam sebuah laporan mengatakan bahwa dengan peta baru ini, China akan menguasai seluruh Kepulauan Spratly termasuk di dalamnya Kelompok Pulau Kalayaan. China berpendirian pada basis sejarahnya sendiri dalam menentukan batas wilayah, khususnya di Laut China Selatan menggunakan "Nine Dash Line". China juga tidak mau menerima putusan Pengadilan Arbitrase Permanen pada tahun 2016 (BBC Indonesia, 2023).
Propaganda Media Global Times
Global Times melalui artikelnya yang diterbitkan pada 10 Maret 2016 dengan judul "Beijing has case for 'historic rights' at sea" menjelaskan bahwa China memiliki hak historis terhadap Laut China Selatan. Hal ini dikarenakan sejak dahulu para nelayan China telah melakukan perdagangan perairan semi tertutup di Laut China Selatan. Selain itu, negara China juga memiliki kepentingan dalam pelestarian hak bersejarah dengan menjaga hukum "Nine Dash Line" yang berfungsi sebagai perimeter hak nelayan tradisional China. Ketidakabsahan dari hukum ini menjadi pertentangan tegas yang dikeluarkan Manila dan Washington. Mereka berpendapat bahwa batasan "hak bersejarah" yang dinikmati oleh rakyat China di Laut China Selatan adalah kecacatan hukum (Gupta, 2016).
KESADARAN APARATUR NEGARA
Tujuan utama tulisan ini untuk menganalisis kesadaran Aparatur Negara diantaranya ASN, TNI dan Polri terhadap geopolitik dan geostrategis di wilayah Laut Cina Selatan. Telah dilakukan pengumpulan data publik dengan cara menyebarkan pertanyaan melalui platform kuisioner Google Forms yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi sebagai bahan pengembangan tulisan ini. Kuisioner tersebut ditujukan kepada Aparatur Negara diantaranya ASN, TNI dan Polri. Data yang diperoleh akan diolah secara kualitatif, kemudian hasilnya dapat diambil kesimpulan mengenai tingkat kepedulian dan kesadaran masyarakat dalam hal ini Aparatur Negara mengenai permasalahan geopolitik Indonesia khususnya konflik Laut China Selatan.
Sebagai bagian dari analisis, tulisan dengan tema "Seberapa "Melek" Aparatur Negara Terhadap Propaganda Media Massa dan Sosial Dalam Konflik Laut China Selatan?" telah dilakukan survei terhadap 94 Aparatur Negara diantaranya ASN, TNI dan Polri secara acak.
- Data Asal Responden
Gambar 1. Pie Chart Data Responden
Dari 94 orang responden Aparatur Negara, mayoritas dari responden survei adalah seorang ASN sebanyak 42 orang dan juga anggota TNI sebanyak 42 orang. Kemudian sisanya merupkan anggota Polri sebanyak 10 orang.
- Pertanyaan tentang "Bagaimana pengetahuan Anda terhadap geopolitik dan geostrategis?"
Gambar 2. Pie Chart Pengetahuan Responden Terkait Geopolitik dan Geostrategis
Pertanyaan ini menggunakan skala 1 sampai 4. Artinya, skala 1 merupakan skor terendah ketidaktahuan responden terhadap pertanyaan dan skala 4 berarti responden sangat berpengetahuan terhadap pertanyaan. Berdasarkan data yang dikumpulkan, 10,6% responden merasa tidak tahu sama sekali mengenai geopolitik dan geostrategis. Selanjutnya, 26,6% responden kurang mengerti dan 44,7% responden merasa sedikit tahu tentang geopolitik dan geostrategis. Sedangkan terdapat 18,1% responden yang merasa sangat mengerti mengenai geopolitik dan geostrategis.
Hal ini menjelaskan bahwa mayoritas responden masih ditahap sekedar mengetahui isu geopolitik dan geostrategis sehingga belum memahami secara jelas tentang geopolitik dan geopolitik yang merupakan informasi penting sebagai seorang Aparatur Negara.
- Pertanyaan tentang "Seberapa jauh pemahaman Anda terhadap konflik Laut China Selatan?"
Gambar 3. Pie Chart Tentang Pemahaman Responden Terhadap Konflik Laut Cina Selatan
Pertanyaan ini juga menggunakan skala 1 sampai 4. Artinya, skala 1 merupakan skor terendah ketidaktahuan responden terhadap pertanyaan dan skala 4 berarti responden sangat berpengetahuan terhadap pertanyaan. Berdasarkan data yang dikumpulkan, 11,7% responden merasa tidak tahu sama sekali mengenai konflik Laut China Selatan. Selanjutnya 36,2% responden kurang mengerti dan juga 36,2% responden merasa sedikit mengetahui tentang konflik Laut China Selatan. Sedangkan terdapat 16% responden yang merasa sangat mengerti mengenai konflik Laut China Selatan.
Dari data diatas dapat dilihat bahwa mayoritas responden masih ditahap sekedar mengetahui konflik Laut China Selatan dan masih belum memahami secara jelas tentang konflik Laut China Selatan, bagaimana penyebabnya dan juga dampaknya bagi negara Indonesia.
- Pertanyaan tentang "Sejauh informasi yang Anda dapat, menurut Anda siapa yang seharusnya berhak atas Laut China Selatan?"
Gambar 4. Pie Chart Pendapat Responden Terhadap Hak Atas Laut China Selatan
Pertanyaan ini memiliki beberapa opsi jawaban yaitu Indonesia, China, negara-negara Asia Tenggara atau tidak tahu. Berdasarkan data yang dikumpulkan, 41,5% responden menjawab Indonesia yang berhak atas Laut China Selatan. Selanjutnya 2,1% responden menjawab China dan 39,4% responden merasa Negara-negara Asia Tenggara yang berhak atas Laut China Selatan. Sedangkan terdapat 17% Tidak tahu sama sekali.
Hal ini menjelaskan bahwa responden masih belum memiliki kesadaran pengetahuan atas konflik Laut China Selatan. Dengan mayoritas responden menjawab Indonesia, padahal Indonesia bukan negara yang aktif untuk melakukan klaim, artinya hanya menjaga kedaulatan wilayahnya dari klaim negara lain (Dienda & Muhammad, 2022). Indonesia kemudian berhak atas pengelolahan dan pemanfaatan sumber daya alam di ZEE sekaligus mendapatkan keuntungan strategis ketika ZEE di wilayah perairan Natuna Utara dikelola sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional (Sulistyani et al., 2021).
- Media mana yang paling sering Anda temui membahas isu Konflik Laut China Selatan
Gambar 5. Pie Chart Pendapat Responden Terhadap Media Yang Paling Sering Membahas Konflik Laut China Selatan
Pertanyaan ini memiliki beberapa opsi jawaban yaitu Sosial Media seperti Twitter/Instagram/Tiktok, Media Siaran seperti TV atau Youtube, Berita Cetak/Berita Online (Website Berita) atau tidak tahu. Berdasarkan data yang dikumpulkan, 41,5% responden menjawab mendapatkan informasi dari Sosial Media seperti Twitter/Instagram/Tiktok. Selanjutnya 24,5% responden menjawab Berita Cetak/Berita Online (Website Berita) dan 17% responden dari Media Siaran seperti TV atau Youtube. Sedangkan terdapat 17% responden tidak tahu sama sekali.
Hal ini menjelaskan bahwa pengaruh media sosial sangat mendominasi bagi masyarakat terkhusus Aparatur Negara sebagai responden di era sekarang. Mudahnya akses dan suguhan informasi yang singkat serta praktis membuat banyaknya informasi dapat diserap masyarakat tanpa perlu waktu memilah dan berpikir terlebih dahulu.
Sejak 2012 terdapat penulis aktif mencapai 28.031 dan penulis yang teridentifikasi mencapai 2.412 penelusuran dilakukan terhadap artikel yang terbit antara 5 tahun sampai dengan 15 tahun terakhir. Hasilnya ditemukan 21 kajian/studi yang diterbitkan dari Asia, Amerika, dan Australia terkait dengan pembahasan isu konflik Laut China Selatan dalam perspektif komunikasi global. Konflik Laut China Selatan merupakan salah satu ancaman yang berpotensi menimbulkan dampak negatif besar, tidak hanya bagi Indonesia tetapi juga bagi stabilitas kawasan di Asia Tenggara (Dienda & Muhammad, 2022).
Terlebih dengan media sosial, informasi bisa disusupi narasi propaganda yang kerap ditujukan untuk keuntungan sepihak. Hal ini dapat dengan mudah menjadi doktrin kepada masyarakat umum bahkan Aparatur Negara setelah membaca narasi tersebut.
- Untuk media Indonesia, menurut Anda seberapa sering membahas isu konflik Laut China Selatan?
Gambar 6. Pie Chart Pendapat Responden Seberapa Sering Media Indonesia Membahas Konflik Laut China Selatan
Menurut hasil survei, terlihat bahwa media di Indonesia kurang sering/aktif menyebarkan informasi mengenai topik konflik Laut China Selatan. Hal ini menjadi tugas media Indonesia untuk aktif memberikan informasi faktual dan akurat kepada masyarakat. Karena berdasarkan data yang dikumpulkan, terdapat 41,5% mayoritas responden menjawab jarang menerima isu konflik Laut China Selatan dari media Indonesia. Padahal diharapkan dari media Indonesia, informasi yang sesuai fakta dan akurat dapat mengedukasi masyarakat agar terhindar dari informasi propaganda.
- Dari isu yang ada baca, seberapa yakin anda narasi tersebut asli dan bukan propaganda semata?
Gambar 7. Pie Chart Pendapat Responden Terhadap Narasi Konflik Laut China Selatan Yang Mengandung Propaganda
Dari hasil survei menurut responden Aparatur Negara, terlihat bahwa sebesar 43,6% responden mengatakan narasi pada berita terkait isu konflik Laut China Selatan berisi propaganda. Hal ini menunjukan sangat terbukanya informasi dari berbagai media tanpa ada filterisasi yang masuk kepada semua kalangan masyarakat. Kemudian terdapat 31,9% responden mengatakan ketidaktahuan terhadap keaslian dari narasi berita tersebut, sehingga bisa dibilang tidak terdapat crosscheck keaslian narasi berita dari pembaca pada media sosial maupun media massa. Dampaknya, akan dengan mudah narasi palsu berisi propaganda mempengaruhi pembaca.
Pada kenyataannya beberapa media China seperti Xinhua Group, China News Network Corporation (CNC), China Central Television (CGTV), China Daily dan Global Times memberikan berita yang disusupi propaganda berkaitan dengan konflik Laut China Selatan (Cook, 2020).
- Seberapa sering lingkungan anda membahas konflik Laut China Selatan?
Gambar 8. Pie Chart Seberapa Sering Lingkungan Responden Membahas Konflik Laut China Selatan
Pertanyaan ini menggunakan skala 1 sampai 4. Artinya, 1 merupakan skor terendah berarti tidak pernah ada bahasan di lingkungan responden sebagai Aparatur Negara dan 4 berarti lingkungan responden sangat sering membahas isu tersebut. Berdasarkan data yang dikumpulkan, 47,9% responden merasa tidak pernah sama sekali lingkunganya membahas konflik Laut China Selatan, diikuti 35,1% responden merasa jarang terjadi pembahasan dilingkungannya. Kemudian sisanya diikuti 11,7% responden lumayan sering adanya pembahasan dan 5,3% sering terjadi pembahasan dilingkungan responden.
Hal ini menunjukan lingkungan Aparatur Negara baik ASN, TNI atau Polri kurang "melek" dalam isu konflik Laut China Selatan, padahal kesadaran dan perhatian terhadap isu konflik Laut Cina Selatan di lingkungan Aparatur Negara sangatlah penting sehingga para Aparatur Negara mampu berkontribusi sesuai bidangnya dalam menangani isu tersebut.
- Menurut anda, apa yang bisa kita lakukan sebagai Warga Negara Indonesia akan isu geopolitik ini
Gambar 9. Pie Chart Pendapat Responden Mengenai Perannya Sebagai Warga Negara Indonesia Terhadap Isu Geopolitik
Pertanyaan ini memiliki beberapa opsi jawaban yaitu mengikuti perkembangan beritanya, membiarkan karena bukan bagian saya, dan sudah ada bagian yang mengurus, ikut serta menyebarkan, mempelajari ilmu geopolitik agar mampu mengikuti perkembangan isu terkait. Berdasarkan data yang dikumpulkan, mayoritas responden dengan 73,4% menjawab perlu mempelajari ilmu geopolitik agar mampu mengikuti perkembangan isu terkait. 17% responden menjawab perlu mengikuti perkembangan beritanya dan 2,1% menjawab perlu ikut serta menyebarkan. Sedangkan terdapat 7,4% merasa hanya perlu membiarkan isu tersebut karena bukan bagiannya.
Mayoritas dari responden mengatakan harus terus mengikuti perkembangan pemberitaan, mempelajari ilmu geopolitik, dan ikut menyebarkan ilmu tersebut. Namun, tidak sedikit pihak yang menilai hal tersebut bukan menjadi perhatian bagi mereka. Padahal tanggung jawab besar bagi Aparatur Negara, dimana keutuhan bangsa ini bergantung pada wilayah kedaulatan Indonesia yang tetap utuh.
MENGAPA KONFLIK LAUT CHINA SELATAN BEGITU PENTING DAN MENGANCAM KEDAULATAN NEGARA?
Berdasarkan hasil survei kuisioner diatas menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia terkhusus Aparatur Negara masih belum "melek" tentang kedaulatan negara terutama yang berkaitan dengan isu konflik Laut China Selatan. Isu seperti ini sangat penting untuk diperhatikan, sehingga tidak terjadi kembali peristiwa ketika Pulau Sipadan dan Ligitan yang seharusnya menjadi bagian wilayah Indonesia harus kita lepas kepada Malaysia karena kalah di Mahkamah Internasional.
Konflik Indonesia di Laut Cina Selatan sebenarnya sudah terjadi sejak lama. Dimulai dengan diterbitkannya peta baru Malaysia pada bulan Desember 1979 yang berdampak pada Pulau Sipadan Ligitan (Maksum, 2017). Kemudian berlanjut pada tahun 2012 ketika China mengklaim kepemilikan atas seluruh wilayah perairan dan pulau-pulau di Laut Cina Selatan (Nainggolan, 2013). Oleh karena itu, Indonesia khawatir terhadap kawasan Laut Natuna karena perdagangan internasional dapat terancam (Fajrina, 2020).
Peristiwa masa lalu tidak boleh terulang kembali, khususnya terkait wilayah Indonesia yang merupakan bagian dari Laut Cina Selatan. Dengan adanya kesadaran tersebut diharapkan masyarakat terutama Aparatur Negara menjadi lebih peka terhadap masalah-masalah yang mengancam kedaulatan negara.
SOLUSI YANG DITAWARKAN PENULIS
- Peran yang dilakukan pemerintah dalam politik luar negeri secara bebas aktif dirasa sudah sangat tepat. Peran diplomatis Indonesia sebagai penengah dan menjalankan strategi defensif dinilai tepat untuk mengurangi suhu konflik di wilayah Laut China Selatan (Amaliana et al., 2022). Hasil analisa dari penulis diharapkan mampu membantu dalam menyusun strategi yang tepat untuk meredam konflik secara terbuka.
- Kemudian pemerintah juga dapat melakukan filterisasi informasi media asing yang masuk. Hal ini dapat berupa blocking content atau penghapus konten berisi narasi propaganda tentang Laut China Selatan. Sehingga tidak ada informasi yang salah tersebar di masyarakat
- Peran media massa di Indonesia, media merupakan ranah krusial ditengah penyebaran informasi yang begitu cepat di era sekarang. Dari hasil survei menggambarkan kondisi media massa di Indonesia kurang memberitakan isu konflik Laut China Selatan. Hal ini menjadi tugas media Indonesia untuk aktif memberikan informasi faktual dan akurat kepada masyarakat sehingga filterisasi informasi yang masuk dapat seragam dan tidak ada narasi propaganda dari media asing tersebar di lingkungan media Indonesia.
- Peran setiap instansi pemerintah, baik lingkungan ASN, TNI atau Polri. Meningkatkan kesadaran perlu diusahakan setiap pihak, beberapa agenda dapat diusulkan seperti contoh kegiatan bulan kesadaran. Bulan kesadaran merupakan program pembuatan infografis/mading tentang isu hangat dibulan tersebut seperti contoh isu Laut China Selatan. Informasi tersebut dapat disebar secara offline lewat mading disudut kantor atau disebar secara online melalui email pegawai. Pengadaan agenda seperti kuis bulanan atau lomba esai juga dapat menarik minat pegawai dalam memperhatikan isu hangat dibulan tersebut, selain itu hasilnya dapat disebar untuk dibaca oleh pegawai lain di instansi tersebut.
- Peran setiap individu baik ASN, TNI dan Polri. Dengan adanya hasil survei pada tulisan ini diharapkan pembaca dapat sadar dan lebih peka terhadap permasalahan kedaulatan negara agar peristiwa dimasa lalu tidak terjadi lagi kembali. Oleh karena itu, perlu mulai mengkaji dan mendalami permasalahan geopolitik dan geostrategis. Kita tidak dituntut menjadi seorang ahli dibidang ini, namun mengetahui dasar-dasarnya saja sudah membantu meningkatkan kesadaran masyarakat.
KESIMPULAN
Konflik Laut Cina Selatan selalu menjadi topik menarik dan perlu dibahas di tingkat nasional maupun internasional. Tulisan ini menjelaskan bahwa permasalahan Laut Cina Selatan merupakan permasalahan geopolitik yang sudah ada sejak lama. Isu ini beredar luas di media massa dan sosial sebagai alat persebaran informasi yang cepat sehingga tak jarang ditemui narasi berisi propaganda. Media massa seperti berita harian China dan media sosial twitter merupakan bukti nyata penggunaan media tersebut sebagai instrumen propaganda. Kemudian dari tulisan ini didapatkan hasil analisis kesadaran Aparatur Negara dalam menanggapi isu Laut China Selatan. Responden survei rata-rata kurang mengetahui geopolitik mengenai konflik Laut Cina Selatan, rata-rata responden yang menyelesaikan tidak memahami konflik tersebut sehingga ragu untuk mendalami lebih dalam. Bagi responden yang mengetahui, mayoritas menjawab bahwa isu Laut China Selatan sering muncul melalui media massa dan sosial. Oleh karena itu, media massa dan sosial menjadi media penting untuk menyebarkan informasi tersebut.
Pada implementasinya diperlukan sinergi yang erat antara pemerintah dan media, khususnya pemberitaan isu-isu strategis terkait kepentingan nasional di Laut Cina Selatan. Peran diplomatis Indonesia kepada China dan negara Asia Tenggara lain diharapkan menemukan solusi terbaik atas permasalahan ini. Kemudian pemerintah perlu melakukan filterisasi berita yang masuk ke lingkungan Indonesia dan menggerakan setiap intansi pemerintah baik lingkungan ASN, TNI atau Polri untuk gencar mengedukasi isu hangat nasional maupun internasional seperti ini. Peran masyarakat umum termasuk Aparatur Negara tentunya mengemban tanggung jawab untuk mulai memulai mengkaji dan mengikuti isu geopolitik seperti ini. Melalui tulisan ini diharapkan semua hasil survei, analisa, dan solusi dapat menjadi bahan pertimbangan pembaca dalam mengkaji permasalahan geopolitik di Indonesia, agar kedepannya tidak terjadi lagi kesalahan masa lalu terhadap kedaulatan negara.
DAFTAR PUSTAKA
Nainggolan, P. P. Â (2013). Konflik Laut China Selatan dan Implikasinya terhadap Kawasan. Retrieved from P3DI Setjen DPR Republik Indonesia: http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/buku_tim/buku-tim-public-25.pdf
Dienda, A.S., & Muhammad, I. (2022). Diskursus Sengketa Laut Tiongkok Selatan Di Media Sosial Twitter. https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/MC/article/view/9964/7812
Sulistyani, Y. A., Citra Pertiwi, A. C., & Sari, M. I. (2021). Respons Indonesia Terhadap Sengketa Laut China Selatan
Semasa Pemerintahan Joko Widodo. Politica (Vol. 12 No. 1 Mei 2021), 84-101. https://doi.org/10.22212/jp.v12i1.2149
Andika, M. T., & Aisyah, A. N. (2017). Analisis Politik Luar Negeri Indonesia China di Era Presiden Joko Widodo: Benturan Kepentingan Ekonomi dan Kedaulatan? Indonesia Perspective, Vol. 2, No. 2 (Juli-Desember 2017), 161-179. https://doi.org/10.14710/ip.v2i2.18477
Setiawan, A. (2019). Peran Media Massa Dalam Politik Luar Negeri: Kasus di Indonesia. Mandala Jurnal Hubungan Internaisonal Vol.2 No 1 Januari-Juni (2019), 45-63. https://doi.org/10.33822/mjihi.v2i1.994
Coban, F. (2016). The Role of the Media in International Relations; From Effect to the AlJazeere Effect. Journal of International Relations and Foreign Policy (Vol. 4, No. 2, Desember 2016), 55-77. https://doi.org/10.15640/jirfp.v4n2a3
Fahmi, I. (2016). Drone Emprit: Software for media monitoring and analytics. Available at http://pers.droneemprit.id Â
Arbar, T. F. (2020). Pertanda Apa Ini? Panas dengan China, Taiwan Uji Coba Rudal. Cnbcindonesia.Com. https://www.cnbcindonesia.com/news/20200612163413-4-164996/pertanda-apa-ini-panasdengan-china-taiwan-uji%20coba-rudal
Gracia, E. (2018). Kontrol Media Tiongkok di Era Xi Jinping sebagai Upaya Tiongkok menjadi Kekuatan Global. Jurnal KSM-PMI: (The Rise of Middle Power Vol. 2 No. 2. 2018), 31-41. https://doi.org/10.26593/sentris.v2i2.4149.31-41
Cook, S. (2020). Beijing's Global Megaphone: The Expansion of Chinese Communist Party Media Influence since 2017. Washington, DC: FreedomHouse.orgÂ
AS, A. B. (2014). Periode Perkembangan Media Massa. Jurnal Studi Komunikasi dan Media Vol. 18 No. 1 (Januari - Juni 2014, 119 - 132. https://doi.org/10.31445/jskm.2014.180107
H. Yurian, M., & M. Yusuf, S. (2022). Potensi Ancaman Perang Hibrida Di Indonesia Pada Tahun 2023: Aktor, Metode, Dampak. Jurnal Cendekia Waskita (Vol. 6 . 2022). https://scholar.google.com/citations?view_op=view_citation&hl=en&user=vbTRpRoAAAAJ&citation_for_view=vbTRpRoAAAAJ:eQOLeE2rZwMC
Gupta, S. (2016). Beijing has case for 'historic rights' at sea. Global Times.Â
BBC Indonesia. (2023). Peta baru China: Mengapa aksi China menuai kontroversi, dan haruskah Indonesia khawatir? Diakses pada 13 April 2024, dari https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-66668869
Maksum, A. (2017). Regionalisme dan Kompleksitas Laut China Selatan. Retrieved from Jurnal Sosial Politik: https://doi.org/10.22219/.v2i2.4398
Fajrina, et. al. (2020). Studi Geopolitik Laut China Selatan : Data dan Analisis Media Sosial. Retrieved from Jurnal Lemhanas: http://jurnal.lemhannas.go.id/index.php/jkl/article/view/18/80
Amaliana, N. F., Ali, F., & Iradhad, T. S. (2020). Studi Geopolitik Laut China Selatan: Data Dan Analisis Media Sosial (Geopolitical Studies Of The South China Sea: Data And Analysis Of Social Media). Jurnal Lemhannas RI, 8(2), 115-130. https://doi.org/10.55960/jlri.v8i2.317
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H