Mohon tunggu...
INA X THE JOURNALISM
INA X THE JOURNALISM Mohon Tunggu... Jurnalis - The Journalism

Mari kita kupas berita bersama Journalis~

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gelanggang Buku: Hari Buku Nasional Versi PKI Berlawanan dengan Masa Orba

23 Mei 2024   00:00 Diperbarui: 23 Mei 2024   00:09 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada apa dengan tanggal 17 mei dengan 21 mei? biarkan di tanggal netral ini, tidak memihak diantara kedua belah pihak. Artikel ini terbit pada (22/5/2024).

Membangun sebuah narasi harus berdasarkan Fact agar tidak menjadi Fake. Terlebih blog juga masih banyak diminati dari kalangan para literasi yang kritis. Kembali ke awal pembahasan, kenapa dengan bulan mei? pertarungan data baik dikalangan Partai Komunis Indonesia atau yang biasa disebut PKI dengan kaki tangan penguasa Soeharto di era Orde Baru. 

Tanggal 17 mei dengan 21 mei tidaklah ada yang bermasalah, akan tetapi rekam jejak sejarah tersebut masih terbatas untuk diakses kala itu. Akibat dari itu, Soeharto menuntaskan sampai ke akar-akarnya mengenai latar belakang PKI, baik yang memiliki kontribusi besar terhadap bangsa ini hingga banyaknya kalangan para tokoh yang mempunyai andil campur tangan dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Gelanggang Buku

A. 21 mei

Sejumlah orang yang tergabung dalam Perpustakaan Toko Buku Indonesia atau yang biasa disebut PTBI sempat membuat pameran buku dengan sebutan Gelanggang Buku Pada 1958. Nama gelanggang yang mengartikan pertarungan, jadi diciptakan Gelanggang Buku supaya tercipta adu gagasan, lalu juga memantik orang-orang agar meramaikan di acara pergelaran pameran buku tersebut.

Acara Gelanggang Buku I (1958)

Pada perhelatan acara yang pertama, diikuti oleh sekitar 23 peserta (penerbit) dan dihadiri oleh banyak pengunjung. Beberapa para penerbit semacam Balai Pustaka, Soeroengan, Djambatan, Pembimbing, Indira, dan Jajasan Pembaruan turut memeriahkan gelanggang ini. Para pengunjung umumnya berdatangan dalam Kota Jakarta, sisanya berdatangan dari wilayah penyangga Ibukota. Mereka yang hadir dalam berbagai golongan seperti pelajar, mahasiswa, pejabat pemerintah sipil, anggota militer, tokoh partai politik, sastrawan hingga pengusaha.

Pada acara Gelanggang Buku yang pertama, dari penerbit Balai Pustaka tercatat sebagai stand terbesar yang menguasai lini buku sekolah mulai dari sekolah rakyat hingga sekolah tinggi. Untuk stand-stand yang beirisi buku impor, penerbit Pembimbing dan Indira itu juaranya.

Satu setelah pelaksanaan Gelanggang Buku I. Soekarno selaku presiden menerbitkan dekrit 5 juli 1959 yang menandai awal era demokrasi terpimpin. Pada keluaran dekrit itu, Soekarno menekankan perlunya Indonesia kembali pada lajur revolusi untuk menuju masyarakat sosialis yang bersih dari kapitalisme dan exploitation del’homme par I’homme. Jadi pergelaran buku ini bisa menjadi alat untuk mendidik revolusioner, tetapi bisa pula sebaliknya yang membuat pembaca memilihg jalur kontra-revolusioner.

Jajasan Pembaruan yang dimana salah satu penerbit yang terang-terangan menyebut dirinya penerbit kiri revolusioner-progresif. Penerbit Jajasan Pembaruan didirikan oleh musyawarah dari para pendiri PKI seperti D.N. Aidit, Njoto, dan kawan-kawan. 

Acara Gelanggang Buku II (1959)

Pada acara perhelatan yang kedua, diikuti oleh sekitar 16 peserta (penerbit) yang turut serta masing-masing penerbit memiliki produk andalannya sendiri-sendiri. Seperti penerbit Soeroengan mengandalkan tulisan Prof. Soekanto, yakni yang berhubungan dengan Diponegoro-Sentot. Ada yang tak kalah menarik juga dari penerbit Djambatan yang mengandalkan karya Ajip Rosidi yang berjudul Tjerpen Indonesia dengan karya dari Slamet Muljana yang berjudul Politik Bahasa Nasional. Penerbit Jajasan Pembaruan tampil dengan produk andalannya yakni Pilihan Tulisan D.N. Aidit Djilid I yang tebalnya mencapai 450 halaman. Buku-buku seperti ini lah yang menghiasi pada acara Gelanggang Buku.

Sebelum acara Gelanggang Buku II dibuka, Jajasan Pembaruan mengemukakan dalam surat kabar Harian Rakjat dimana, perhelatan ini menjadi perhelatan arena konfrontasi dua kebudayaan yang berbeda antara kapitalis dengan kebudayaan sosialis yang menjadikan semacam perang ideologi dalam pameran buku.

Jajasan Pembaruan yang di organisir dari golongan Partai Komunis Indonesia (PKI) tidak pernah absen dari acara Gelanggang Buku ini. Bahkan di Acara Gelanggang Buku II mereka memasokkan karya-karya tunggal terjemahan klasik seperti Karl Marx, Friedrich Engels, dan Vladimir Lenin.

Disini Jajasan Pembaruan mengklaim stand mereka termasuk stand terbesar dan paling menarik pengunjung. Stand terbesar dari para penerbit yang lain seperti Soeroengan dan Djambatan. Sisanya stand terbesar kedua diisi oleh Gunung Agung, Indira, Pembimbing dan Pembangunan. Sedangkan Bulan Bintang (Penerbit yang dekat dengan Partai Masyumi) dan Pustaka Rakjat (Penerbit yang dekat dengan PSI) yang hanya memiliki stand-stand terkecil.

Acara Gelanggang Buku III (1960)

Di acara perhelatan Gelanggang Buku III diikuti oleh 16 peserta yang diisi oleh penerbit dan toko buku. 

Acara Gelanggang Buku IV (1961)

Seiring perhelatan tahunan ini, semakin berkurang dari para atensi publik hingga para peserta penerbit. Di acara Gelanggang Buku IV hanya diikuti oleh sebanyak 13 peserta. 

Pada tahun 1962 sempat tidak terlaksana, karena situasi krisis penyebabnya. Acara Gelanggang Buku digantikan oleh bursa buku yang hanya diikuti oleh sejumlah penerbit kecil.

Acara Gelanggang Buku V (1963)

Tepat di acara pergelaran Gelanggang Buku V  yang diikuti sebanyak 23 peserta penerbit. Sekaligus penutup pergelaran Gelanggang Buku. PTBI selaku wadah dari pameran Gelanggang Buku, penyelenggaraan ini diserahkan kepada Jajasan Buku. Sebuah Yayasan yang melanjutkan usaha di bidang kultural dari PTBI yang telah dibubarkan. Acara ini diselenggarakan di tahun yang sama pada 1963.

Meski diadakan setiap 1 tahun lamanya. Antusias dari masyarakat tidak pernah pudar, hingga suara konfrontasi para penerbit juga tidak berkurang. Seperti Jajasan Pembaruan yang masih getol untuk tetap mengkritisi di pergelaran Gelanggang Buku ini, seperti mengapa karya buku Capita Selecta I dari M. Natsir masih berseliweran, atau mengapa buku Ekonomi Umum I karya Soemitro masih saja dicetak ulang, padahal buku-buku tersebut dianggap berlawanan dengan arus revolusi kala itu.

Suasana konfrontasi semacam itu akan terus terjadi. Buku yang dianggap revolusioner maupun yang dianggap kontra-revolusioner selalu menghiasi pergelaran Gelanggang Buku sampai benar-benar ditutup secara permanen pada tahun 1965.

Padahal D.N. Aidit selalu menjadi garda terdepan dalam mengenai literasi, bahkan Soekarno tidak sesumbar bahwasanya pada tahun 1964 seluruh masyarakat Indonesia harus bebas buta huruf. Desakan dari D.N. Aidit yang pada akhirnya diaminkan oleh Soekarno meskipun butuh waktu yang sangat lama. Karena Jajasan Pembaruan yang dibentuk atas dorongan dari D.N. Aidit, bahkan dirinya saja tidak pernah absen di Gelanggang Buku itu sampai tutup permanen. Atas dedikasinya dalam mengenai literasi yang terekam jejak, Hari Buku Nasional terpatri pada nama D.N. Aidit dan sekaligus memahatkan tanggal 21 mei sebagai perayaan Hari Buku Nasional.

B. 17 mei

Setelah Gelanggang Buku itu dibredel oleh Soeharto, karena terpahat nama Ketua CC PKI yakni D.N. Aidit. Sebab rentetan sejarah itu, maka diubahlah tanggal 21 mei menjadi 17 mei oleh Soeharto. Sejak tahun 1965 Hari Buku Nasional itu biasa kita rayakan pada 17 mei.

Selamat Hari Buku Nasional baik itu dirayakan pada tanggal 21 mei maupun 17 mei. Pada intinya artikel ini terbit, kita semua berhak mendapatkan kelayakan pendidikan, bahkan diwajibkan bagi Pemerintah untuk tidak memberatkan dalam memberikan akses pendidikan khususnya bagi kewarganegaraan Indonesia. Semoga ada banyak perpustakaan liar di sudut-sudut perkotaan hingga perdesaan agar bisa mendapatkan akses "membaca" buku secara gratis dan mudah. Barangkali dari berawalan kata "Gratis dan Mudah" menjadikan amal jariyah bagi si pemilik Perpustakaan liar tersebut.

Selamat menjalankan ibadah membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun