Dua kawasan yang berbeda ini sangat berkepanjangan perbedaannya seperti kawasan barat yang cenderung lebih memilih merantau, sampai Madura menjadi identitas dengan perantauannya dimana-mana bukan hanya di Indonesia tetapi hampir dikawasan Asia juga mereka merantau, sebab begitu banyak yang mengatakan "Madura sukses dalam urusan merantau". Sedangkan kawasan timur yang cenderung lebih mendiami dikawasan Madura karena rata-rata masyarakatnya yang cenderung memilih profesi dibawah naungan pemerintahan.
Sebenarnya dengan strategi ini bisa juga memanfaatkan kawasan Madura yang masih menjadi tuan rumah ditanahnya sendiri dan disisi lain para perantau bisa memperkenalkan Madura dengan makanan khasnya, serta adat dan budayanya. Terbukti Madura menguasai daerah yang dinamai "Tapal Kuda" dikawasan pulau Jawa bagian provinsi Jawa Timur, disisi pinggiran yang terdapat di daerah mulai dari (kab. Pasuruan, kab. Probolinggo, kab. Lumajang, kab. Jember, kab. Bondowoso, kab. Situbondo, dan kab. Banyuwangi.) 7 kawasan pinggiran kabupaten ini hampir menjadi kawasan masyarakat Madura sejak dulu bahkan sudah membaur dengan masyarakat asli sana mulai dari berkeluarga, beranak pinak, bahkan bekerja pun disana. Jadi jangan heran jikalau kawasan tersebut bisa terbilang sangat mirip mulai dari adat dan budayanya.
Tetapi sayang sekali masyarakat Madura harus mengalami penurunan kepercayaan mulai dari tragedi dikawasan pulau Kalimantan tepatnya di Sampit, Kalimantan Tengah. Bahkan stigma paling negatif bagi suku Madura dimulai sejak saat itu, ketika kita tarik pada tahun 2000an dimana pada saat itu ada peperangan suku paling terbesar sepanjang sejarah di Indonesia yang dimana suku Madura sebagai tamu dikawasan pulau Kalimantan harus berhadapan dengan suku Dayak yang menjadi tuan rumah dikawasan pulau Kalimantan sejak nenek moyang zaman dulu.Â
Ketegangan ini yang dimulai sejak Madura menguasai sektor sektor penting dikawasan pulau Kalimantan mulai dari hukum, tanah yang menjadi ladang pekerjaan, serta tanah yang menjadi rumah bagi kelompok masyarakat Madura, karena pada saat itu Madura terbilang penguasa di beberapa kawasan pulau Kalimantan. Karena masyarakat suku Dayak merasa terpojokkan yang akhirnya tensi ketegangan menjadi lebih tinggi ketika beberapa orang Madura memulai onar terhadap masyarakat Dayak, yang akhirnya masyarakat Dayak memanggil masyarakat Dayak lainnya dikawasan negara Malaysia dan Brunei Darussalam.
Dengan begitu kapasitas yang besar, masyarakat Dayak berhasil memukul mundur masyarakat Madura hingga banyak pertumpahan darah sampai pemenggalan kepala massal pada saat itu. Pada kejadian itu yang mengakibatkan kurang lebih memakan 500 korban jiwa.Â
Dengan begitu masyarakat Madura harus mengungsi ke daerah provinsi Kalimantan yang lain atau bisa kembali ke tempat asalnya. Sejak setelah kejadian itu mulai meredam pada akhirnya suku Madura dan suku Dayak sudah berdamai dengan sebagai bukti tegaknya patung dikawasan Sampit, Kalimantan Tengah dan perjanjian antar ketua suku adat.
Setelah kejadian tragedi Sampit, sejak saat itu Madura harus lebih banyak bersosialisasi lagi dengan suku lainnya di pulau Kalimantan agar masih bisa menggantung hidup dan diterima sebagai perantau di pulau Kalimantan. Stigma buruk demi stigma buruk sudah mulai terkikis sejak anak-anak muda yang menggantikan orang-orang petuah ditanah perantau mulai dari bekerja maupun menimba ilmu. Terlebih anak-anak muda lebih terbuka dan menerima lingkungan modern daripada kebiasaan kekolotan ketika menghadapi kasus yang harus dituntaskan dengan budaya carok daripada dituntaskan dengan kepala dingin.
PERSAMAAN SUKU MADURA DENGAN ETNIS TIONGHOA
"Suku Madura ibarat Tionghoanya Indonesia" julukan yang diberi suku Jawa terhadap suku Madura yang hampir 1/2 pulaunya yang dimana masyarakatnya pada merantau dimana-mana dan hampir warganya ketika merantau hanya menggantung nasib pada berdagang. Sama halnya masyarakat keturunan etnis Tionghoa di Indonesia yang terpaksa harus mandiri sejak era presiden ke-2 Soeharto, yang memiliki rekam jejak tidak boleh bekerja dibawah naungan pemerintah dan alhasil mereka harus memutar keuangan dengan berdagang dan bagi mereka pekerjaan tersebut tidaklah sulit karena sejak dulu etnis Tionghoa pada merantau dari kawasan Asia Timur dan itu jauh sekali sebelum Indonesia merdeka. Terlebih Madura maupun etnis Tionghoa sama-sama memiliki rekam jejak kasus pembunuhan di Indonesia, yakni:
-Suku Madura (Perang Sampit dengan suku Dayak tahun 2000);
-etnis Tionghoa (Geger Pecinan 1740 yang dimana gubernur-jenderal Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) saat itu Adriaan Valckenier memberlakukan kebijakan keras dengan membantai ribuan orang Tionghoa untuk mengurangi populasi Tionghoa di Batavia), (Peristiwa Mangkuk Merah 1967 yang dimana pengusiran disertai pembunuhan oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) bersama suku Dayak di Kalimantan Barat), (Kerusuhan Mei 1998 sejak penurunan paksa presiden ke-2 Soeharto yang dimana pada saat itu etnis Tionghoa mendominasi perekonomian daripada pribumi sendiri dan status kewarganegaraan yang tidak jelas ditambah sentimen anti-Tionghoa serta implementasi kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa).
Dengan kejadian itu bukan berarti menyurut Madura maupun Tionghoa untuk berhenti merantau, karena kebiasaan sejak dulu dari para petuah mereka untuk membiasakan dengan merantau, karena tuntutan keadaan lingkungan yang mengharuskan mereka dengan merantau.