‎Dia jongkok dan mengarahkan layar handphonenya ke tanah. Lamat-lamat, seonggok kayu itu terlihat lebih jelas. Ternyata itu jari. Jari telunjuk. Dia ketakutan.‎ Tangisan langsung meledak. Teriakan menyaut tak karuan. Dia seperti orang kesurupan. Matanya merah dan nafasnya tersengal-sengal.
‎Dengan gelas di tangannya, tanah itu digali serampangan. Begitu terlihat tangan utuh dari jari hingga lengan. ‎Teriakan meraung- ruang, seisi perumahan mendengar. Tangan itu lebih dikenali. Gelas itu sampai pecah untuk menggali. Sang ayah tak peduli.Â
Mendengar teriakan, sang ibu terlonjak. Dia lari ke halaman belakang, menghampiri. ‎Sang ibu melihat muka anaknya yang sebagian tertutup tanah. Sang ibu berteriak histeris, lalu pingsan. Sang ayah terus menggali hingga tubuh kecil gincu utuh terlihat. Dia peluk tubuh kaku itu. Teriakannya tak henti-henti.Â
Warga berdatangan masuk ke rumah. Warga terperanjat melihat ayah yang memeluk tubuh kaku anaknya. Dan sang ibu yang pingsan tak jauh dari keduanya. Sang ibu digotong warga masuk ke rumah. Seorang warga membujuk sang ayah untuk melepaskan tubuh anaknya. ‎Dia tidak mendengarnya. Sampai suara sang ayah habis, serak dan hanya tersedu. Suara lagu dari handphone itu terdengar kembali.
Handphone itu tepat di saku dada anaknya. Diambilnya handphone itu dengan tangan yang sudah lemas dan gemetaran. Nomor tidak dikenal menelepon. Diangkatnya telepon itu. Langsung terdengar suara, "Nak ini polisi. Kamu dimana,". Langsung sang ayah tergelepar dan berguling-guling. Tidak pingsan, tapi tak kuat menahan emosi.‎ (bersambung)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H