Menarik juga video komentar Kang Budi Dalton yang diunggah di kanal media sosialnya. Ungkapannya berupa kritik satir penggunaan bahasa Sunda oleh Pak Arteria Dahlan sendiri dalam Rapat Kerja dengan Jaksa Agung RI.
Hal ini merupakan reaksi atas polemik yang sedang hangat mencuat beberapa hari belakangan. Budi Dalton mengutip penggunaan kata "ujug-ujug" yang digunakan oleh Pak Arteri. Padahal kata "ujug-ujug" itu diketahui berasal dari bahasa Sunda. Komentar Budi Dalton bisa disimak di beberapa kanal media sosialnya, salah satunya melalui Twitter @budi_dalton.
Video penggunaan kata "ujug-ujug" itu sendiri bisa dilacak di kanal YouTube DPR RI yang berjudul "LIVE STREAMING - KOMISI III DPR RI RAPAT KERJA DENGAN JAKSA AGUNG RI", tepatnya di menit ke 1:25:15.
Berikut ini videonya:
Transkrip dari potongan kalimatnya sebagai berikut:
"...Berikutnya masalah profesionalisme, Pak. Kita di jaksa yang dikenal namanya kepala kejaksaan. Kepala, nih Pak. Enggak ada yang namanya ketua. Kalau (ke)pala itu anak buahnya nurut. Pak Jaksa Agung, saya ingin mempertanyakan bagaimana Kajati NTT yang merasa dizalimi. Padahal, faktanya memang betul ada pemerasan, Pak. Dipanggil sama jaminta(?), enggak dateng, Pak. Enggak mau. UJUG-UJUG dia bilang mau bongkar aib-aib di kejaksaan... "
Nah, sekarang kita periksa beberapa penggunaan bahasa daerah atau bahasa Indonesia yang tidak formal dalam kutipan di atas. Tolong diperhatikan, analisa sederhana ini murni perbandingan varian ragam bahasa saja, dan sama sekali lepas dari konteks isi yang disampaikan oleh beliau. Â
1. "enggak"
Contoh:Â
(a) "Enggak ada yang namanya ketua".
Formal: "Tidak ada yang disebut dengan ketua."
(b) "enggak dateng, Pak. Enggak mau."
Formal: "Tidak datang, Pak. Tidak mau."
Jika diukur dengan kadar keformalan bahasa Indonesia, contoh di atas tentu bukan ragam bahasa formal, tetapi lebih ke bahasa tidak formal dengan penggunaan kata "enggak". Kata "enggak" dalam ragam bahasa baku yaitu "tidak. Frasa "yang namanya" juga masih bisa disampaikan secara lebih formal. Misalnya: "yang disebut dengan". Â Kata "dateng" bentuk formalnya "datang".
2. "pala"
Contoh: "kalau pala itu anak buahnya nurut."
Formal: "Kalau kepala itu anak buahnya menurut."
Kata "pala" merupakan varian dari "kepala", kebanyakan diucapkan oleh penutur bahasa Betawi. Kata "nurut" juga bisa lebih formal dengan menggunakan kata "menurut", atau "patuh". Â
3. "ujug-ujug"
Contoh: "ujug-ujug dia bilang mau bongkar aib-aib di kejaksaan."
Formal: "tiba-tiba dia bilang akan membongkar aib-aib di kejaksaan."
"ujug-ujug" adalah kosakata bahasa Sunda yang sudah masuk ke dalam bahasa Indonesia. Kata ini juga digunakan dalam bahasa Betawi yang secara historis memang merupakan perpaduan antara bahasa Melayu, Sunda, Cina dan bahasa lainnya. "mau bongkar" bentuk formalnya "akan membongkar".
Penggunaan bahasa yang tidak formal atau tidak baku dan bahasa daerah dalam rapat-rapat kelembagaan justru membuat suasana menjadi lebih cair. Bayangkan kalau semua ungkapan harus dilakukan dengan bahasa yang baku saja. Suasana akan menjadi lebih kering dan bahkan tidak ada keakraban. Penggunaan bahasa itu kan memang harus yang "baik dan benar" dan tidak harus melulu menggunakan bahasa baku.
Dalam konteks menjalin keakraban karena ada rasa satu daerah atau bahasa, tentu itu sudah menjadi hal yang lumrah. Justru mencerminkan nilai ke-bhinekaan. Terlalu berlebihan kiranya, kalau ada anggapan yang menjurus bahwa menggunakan bahasa daerah itu seakan-akan barang haram yang sama sekali dilarang dalam percakapan di lingkup kelembagaan negara.
Yuk berbahasa yang baik dan benar.Â
Gunakan bahasa daerah, junjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H