Gimana ceritanya Indonesia meluas hingga Penang dan Hat Yai? Apa mungkin ada perjanjian antar ketiga negara baru-baru ini? Tulisan ini dibuat sebagai kenangan akan salah satu pengalaman tak terlupakan yang kualami serta 5 temanku lainnya.
Pertengahan Januari tahun 2020, sebelum merebaknya pandemi COVID19, kami memulai perjalanan menuju Bangkok via jalur darat tepatnya mampir ke Penang dulu. Darah muda kami sangat bersemangat mencoba tantangan yang jarang atau belum pernah dilakukan, termasuk perjalanan kali ini. Darah muda kami juga masih bersemangat untuk melakukan perjalanan jarak jauh ini. Setelah melalui rencana berbulan-bulan dan usai menghabiskan dua malam menjelajahi Penang, kami siap memulai ‘the real deal’ atau tujuan utama dari perjalanan. Menuju ke Bangkok menggunakan via jalur darat.
Pagi-pagi, kami berjalan cepat-cepat menuju titik kumpul yang berjarak 12 menit dari penginapan. Rupanya tadi malam kami terlalu larut dalam pembicaraan hingga bangun kesiangan. Sarapan seadanya karena hanya sempat membuat setangkup roti panggang berisi selai cokelat-kacang. Adapula yang hanya sempat berbilas muka.
Titik kumpul ini krusial, yang akan mengantar kami menuju Hat Yai, bagian terselatan Negara Thailand serta daerah perbatasan dengan Malaysia. Sebagai wisatawan yang diburu waktu dan sebagai pelancong yang baik, kami menyempatkan diri untuk menengok kanan kiri meski sedang diburu waktu. Terburu-burunya kami menuju titik kumpul membuat lupa untuk mengabadikan momen-momen tersebut. Meski demikian, kami jadi lebih merasakan sejuknya udara pagi Penang yang berkebalikan dari teriknya Penang di siang hari. Dapat pula mengamati seksama warga lokal memulai aktivitasnya secara perlahan baik berangkat ke kantor atau sekedar mengantar kerabat dan keluarganya. Agak sayang meninggalkan Penang yang belum kami jelajah setiap sudutnya. Apa boleh buat sudah pesan berbagai tiket transportasi dan akomodasi yang sama sayangnya jika dibiarkan hangus.
Dua belas menit berjalan dengan cepat, tibalah kami di titik kumpul berupa bilik kecil agen perjalanan Billion Stars yang tergabung dalam Prangin Mall di daerah Komtar, Penang. Rupanya kantor agen wisata pun baru saja buka. Kami disambut dengan pintu yang baru dibuka, kursi-kursi yang baru dikeluarkan untuk menunggu jemputan yang belum datang. Lebih baik datang awal sekali daripada terlambat bukan. Namun, tidak dipungkiri muncul sedikit perasaan kecewa muncul karena hanya sarapan yang hanya mengisi perut kami sepersepuluh dari seharusnya.
Seperti kebanyakan wisatawan, hal pertama yang dilakukan adalah registrasi ulang dengan tiket yang telah kami bayar jauh-jauh hari sebelum keberangkatan. Ada rasa gugup dan gelisah karena adanya keterbatasan bahasa. Wajah kami yang sangat lokal ini sempat dikira sebagai orang Malaysia yang mahir berbahasa Melayu dan diajak berbicara dengan bahasa Melayu. Proses check in menjadi lebih menantang karena adanya kendala ini. Syukurlah, pihak kantor pun paham dan kami tinggal menunggu jemputan datang.
Sembari menunggu di dalam counter, terdapat rombongan lain yang juga berisi enam orang yang juga sedang menunggu jemputannya tiba dan berada di luar counter. Dilihat dari wajah-wajah yang tidak asing, koper-koper yang dibawa, tas belanja yang ditenteng serta baju-baju yang terlihat berbeda dengan warga lokal Penang membuat kami menebak rombongan tersebut adalah wisatawan dari Indonesia. Setelah sedikit ‘menguping pembicaraan mereka, celetukan khas Jawa dan gaya bercanda yang khas makin meyakinkan bahwa mereka rombongan wisatawan dari Indonesia tepatnya dari daerah Jawa. Berbekal hal tersebut, kami memberanikan diri untuk berdiri ke luar kantor dan mengajak mereka berkenalan. Ternyata benar, mereka adalah rombongan wisatawan Indonesia tepatnya dari daerah Malang, Jawa Timur. Rupanya, seaneh-anehnya rencana perjalanan tetap saja dapat menemui wisatawan asal Indonesia adalah apa yang kami pikirkan kala itu.
Bermula dari perkenalan biasa, percakapan mengalir dengan seru. Jika sebelumnya hanya mengetahui asal daerah, kami mulai mengetahui bahwa mereka sama-sama mahasiswa. Keseruan percakapan ini berlangsung hingga tepat pukul 8.30 bus travel datang dan langsung bersiap untuk berangkat kembali. Pertemuan yang semula sebatas mengisi waktu tunggu berlanjut lagi di dalam bus travel karena rupanya kami membeli tiket perjalanan yang sama. Perjalanan yang berdurasi kurang lebih 4 jam dari Penang ke Hat Yai ini menjadi seru dan tidak terasa membosankan karena ada rombongan arek Malang sebagai lawan bicara yang sama menyenangkannya. Keseruan terus berlanjut dari berbagai informasi seputar dunia perkuliahan hingga berbagi akun media sosial. Saling bertukar pengalaman dan saling memberikan saran sewaktu berwisata ke luar negeri menjadi topik andalan kami sepanjang perjalanan.
Tidak lupa keramaian saling bercanda dan saling mengomentari terjadi sewaktu minibus kami melewati Penang Bridge. Penang Bridge merupakan salah satu ikon dari wilayah Penang dan salah satu alasan kenapa kami bela-belakan untuk menggunakan minibus supaya dapat melihat keindahan salah satu jembatan terpanjang di Asia Tenggara ini. Penang Bridge merupakan jembatan yang menghubungkan Pulau Penang dan daratan Malaysia. Sepanjang 13,5 km, kami dibuai dengan pemandangan lautan berwarna hijau kebiruan yang membentang luas hampir di sepanjang jembatan didukung dengan langit yang cerah. Kami turut berceloteh mencoba untuk membandingkan kemiripan Penang Bridge dengan jalur tol Bali Mandara ataupun Jembatan Suramadu.
Semakin minibus berjalan mendekati daerah perbatasan, makin pula matahari menampakkan dirinya. Panas sengatannya di bagian tempat duduk saya menjadi pengantar tidur siang selama sebagian besar perjalanan. Tiba-tiba kami terbangun di tempat yang dikira sebagai tempat perbatasan antar negara. Tiba-tiba lagi, supir minibus dengan segala keterbatasan bahasanya mewajibkan pembayaran sebesar 100 Baht (sekitar Rp50.000,00) kepadanya. Meskipun sewajarnya hal ini tidak terjadi sesuai dengan ketentuan yang terdapat di tiket dimana kami hanya diwajibkan membayar sebanyak 5 RM. Menjadi catatan khusus bagi kami dalam perjalanan-perjalanan ke depannya.
Bangun-bangun disuguhi dengan kewajiban membayar ‘pungli’ ini membuat kaget dan menggencarkan segala cara untuk memahami lebih lanjut maksud dari supir travel kami. Mulai dari perwakilan rombongan kami dan perwakilan rombongan arek Malang yang menanyakan terkait pungutan tersebut ke semacam kantor penukaran uang terdekat. Apapun jenis kantor yang sekiranya terlihat resmi. Tidak kunjung menemukan yang pasti, akhirnya kami tetap membayar pungutan tersebut sembari kembali ke dalam minibus untuk melanjutkan perjalanan. Telusur-telusur rupanya si supir kembali dengan wajah yang berbinar-binar serta menenteng satu kotak hadiah berwarna merah menyala berisi jeruk mandarin. Mau bagaimana lagi? Adanya pengalaman ini menjadi catatan khusus bagi kami untuk perjalanan-perjalanan berikutnya.
Tidak terasa, kendaraan minibus semakin mendekat dengan kantor perbatasan negara. Kantor perbatasan antara Thailand dan Malaysia ini tergolong unik, karena mengharuskan pengunjung asing untuk turun langsung dengan kaki untuk mendapatkan cap di paspor. Lain dengan perbatasan negara lain yang bisa melewatinya cukup didata petugas perbatasan dengan menurunkan kaca mobil. Tentunya, ketentuan ini berlaku bagi siapapun yang hendak melewati perbatasan negara Thailand dan Malaysia mulai dari penumpang mobil, pengguna sepeda maupun sepeda motor. Kami pun bergegas antre untuk mendapatkan cap kedatangan dari petugas imigrasi.
Kebetulan, saat itu terdapat rombongan warga India atau berketurunan India yang sepertinya tengah melakukan tur perjalanan menggunakan sepeda motor. Seperti kebanyakan orang, ada rasa gugup setiap kali melakukan antrean di bagian imigrasi. Ada rasa was-was jika paspor kami tidak diterima hingga pikiran terburuk akan dideportasi. Berbekal menyerahkan paspor dan menjelaskan kepentingan berkunjung, kami dinyatakan lolos dan legal untuk memasuki negara Thailand. Petugas yang sigap dan alur antrean yang rapi menjadikan antrean banyak pengunjung ini terurai dengan relatif cepat.
Seusai mendapatkan cap perbatasan, baik rombongan kami dan rombongan Arek Malang kembali ke minibus untuk melanjutkan perjalanan menuju Hat Yai. Jarak yang makin dekat membuat kami terjaga untuk melihat perbedaan keadaan di kiri kanan jalan. Perbedaan yang terasa sekali adalah bentuk bangunan yang mulai kaya akan ornament-ornamen khas Thailand, banyak kuil-kuil ibadah kecil hingga besar yang terlihat dari pinggir jalan, papan petunjuk yang menggunakan aksara Thailand, dan terik matahari yang lebih terasa dari sebelumnya.
Tak terasa, pukul 12 siang kami tiba pada pusat Hat Yai sekaligus titik akhir dari perjalanan panjang menggunakan minibus selamakurang lebih empat jam ini. Turunlah segenap rombongan kami sambil mengemasi barang-barang yang cukup banyak dan berat meskipun kebanyakan merupakan tas punggung. Selain itu, kami turut mencari-cari tempat teduh untuk memikirkan perut yang mulai keroncongan minta diisi. Pertimbangan seperti waspada terhadap makanan lokal yang kebanyakan mengandung unsur babi membuat pilihan tempat makan siang jatuh pada salah satu waralaba makanan cepat saji terbesar di dunia, McDonalds.
Sembari menyusuri trotoar dan sebagai wisatawan yang baik, tengokan kiri kanan menjadi kegiatan tak terhindarkan. Hat Yai yang merupakan tempat asing yang baru kami kunjungi pertama kali ini. Anehnya, Hat Yai menyediakan kenyamanan seolah-olah kerabat lama kami yang kerap dijumpai. Panas namun rapi, panas tetapi terasa sejuk oleh angin yang berembus di antara himpitan gedung-gedung menjulang. Di sisi kanan terlihat banyak wisatawan dan warga lokal yang sedang transaksi oleh-oleh khas Hat Yai. Bukan Thailand kalau tidak ada kendaraan Tuk-tuk yang bersliweran. Bukan Thailand pula kalau tidak menemui penjaja makanan jalanan khas seperti Mango sticky rice dan ikan laut yang terlihat segar. Seluruh sudut jalanan memiliki kesibukan masing-masing di saat bersamaan terjaga kerapiannya dan kebersihannya.
Lain hal di sisi kiri, terdapat mall seperti yang kerap dijumpai di daerah asal, dan terdapat satu jajanan makanan yang cukup menyita perhatian kami. Menggunakan bahasa isyarat dan keterbatasan bahasa, baru kami ketahui ternyata jajanan tersebut merupakan sate babi. Sebagian dari kami adalah penggemar babi, tanpa berpikir panjang kami langsung membelinya. Sejak gigitan pertama, saya langsung yakin bahwa sate babi ini menjadi sate terenak sepanjang hidup saya. Rasa gurih dan manis saling bentrok secara legit di lidah saya. Belum lagi tekstur kekenyalan daging yang terasa pas, tidak alot tidak juga terlalu lembut. Satu tusuk dirasa tak cukup, kami pun membeli hingga tiga tusuk sate. Hingga kini, belum pernah saya temui citarasa sate serupa.
Sekitar 15 menit kemudian, tibalah kami di McDonald’s dan bergegas untuk segera memesan makanan yang mengenyangkan. Pemesanan menu memiliki sedikit perbedaan dengan McDonald’s yang ada di Indonesia. Jika biasanya tinggal mengucapkan menu yang dipesan pada kasir yang berjaga, di sini tersedia mesin khusus yang mengharuskan kami memilih dan memesan menu secara mandiri, baru memberikan uang tagihan pada petugas yang berjaga. Singkat cerita, kami masing-masing memesan burger dengan rasa yang berbeda untuk mengenyangkan perut kami siang itu. Tidak lupa memesan air soda untuk melepas dahaga serta es krim manis sebagai hidangan penutup.
Baik waktu menunggu pesanan maupun saat makan menjadi hal yang menyenangkan karena kami dapat kembali bertukar pengalaman yang belum sempat diselesaikan. Setelah makan pun kami terus melanjutkan untuk bercerita kembali. Kenyang sekaligus terisi cerita-cerita baru, tak terasa waktu terus bergulir mengharuskan kami untuk melanjutkan perjalanan sesuai dengan rencana masing-masing rombongan. Di depan outlet McDonald’s, kedua rombongan ini berpisah. Kami yang menuju stasiun Hat Yai untuk melanjutkan perjalanan ke Bangkok dan mereka yang mencari taksi untuk menuju Floating Market Hat Yai. Asing namun hangat adalah deskripsi yang tepat untuk pertemuan ini. Sayangnya, kami lupa mengajak rombongan Arek Malang untuk foto bersama saking asiknya mengobrol dan bercanda.
Terkadang pengalaman-pengalaman remeh menjadi istimewa saat diceritakan pada sesama warga Indonesia di negara orang. Tak jarang, pertemuan yang tidak sengaja ini juga memberi rasa hangat dalam pribadi masing-masing. Keindahan inilah yang membuat bepergian atau berwisata pada umumnya akan memberikan kesan tersendiri. “Oh begini ya maksud dari Indonesia meluas hingga Penang dan Hat Yai.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H