Sejak musim cengkih, Dirun memang rajin bangun lebih pagi untuk memungut cengkih di kebun milik kakeknya di belakang rumah.
Dirun girang bukan main sambil berlari-larian pulang ke rumah, setelah mengantongi uang hasil keringatnya. Dia baru saja menjual cengkih kering yang ia kumpulkan ke warung tengkulak.
"Horeee... cengkehku laku Rp 15 ribu, bu," ujar bocah delapan tahun itu, sambil pamer duit hasil menjual cengkih kering 0,5 kilogram kepada sang ibu.
Sejak musim cengkih, Dirun memang rajin bangun lebih pagi untuk memungut cengkih di kebun milik kakeknya di belakang rumah. Setiap hari rata-rata dia mengumpulkan hampir satu ons.
Setelah sebulan, Dirun akhirnya berhasil mengumpulkan cengkih basah sekitar dua kilogram. Namun setelah dijemur, berat timbangan cengkihnya menyusut menjadi 0,5 kilogram.
"Mah, nanti kalau uangku sudah banyak aku mau beli ayam jago," celetuk Dirun, sambil memasukan uangnya ke celengan bambu.
"Iya, nanti juga Dirun bisa beli ayam jago, kalau rajin menabung. Ibu doakan semoga uangnya cepet terkumpul," ujar sang ibu.
Namun belum genap dua bulan Dirun menabung, kebun cengkih milik kakeknya terbakar. Kebakaran disebut-sebut lantaran ada pembakaran lahan untuk perkebunan sawit.
Dirun pun kini kehilangan sumber penghasilan. Dia tak bisa lagi menabung dari hasil menjual cengkih. Tapi dia berusaha mencari penghasilan lain, dengan memancing ikan di sungai.
Hasil tangkapan ikan dia jual ke pasar, tapi Dirun kesulitan menangkap ikan. Karena sungai pun kini terus mengering, imbas penggundulan hutan.
"Dirun sekarang harus bersabar ya, Allah sedang menguji semangat kamu. Makanya kamu harus rajin berdoa dan tetap menabung supaya bisa beli ayam jago nanti," ujar sang ibu menasihati bocah yatim itu, sambil duduk di balai rumah.