[caption caption="Ilustrasi"][/caption]
Kasus kekerasan terhadap anak sekarang ini kian massif. Khususnya kekerasan seksual. Kepolosan anak-anak kian mudah bagi mereka masuk ke perangkap predator anak, paedofil. Apalagi jika perlindungan kepada mereka lemah.
Paedofil akan mengincar siapa saja, tak kenal gender. Korban paedofil sekarang ini tak hanya anak perempuan, tapi juga anak laki-laki. Jika dulu orangtua yang memiliki anak laki-laki tidak sekhawatir punya anak perempuan, kini kekhawatiran itu hampir sama.
Sebut saja kasus lama seperti Robot Gedek, predator anak ini melakukan penyimpangan seks terhadap puluhan bocah laki-laki. Bocah A di sekolah bertaraf internasional juga bernasib sama. Pelakunya diduga pegawai sekolah tersebut.
Kasus terbaru kekerasan seksual A terhadap bocah F yang menggegerkan warga Kalideres, Jakarta Barat. Selain kekerasan seksual, bocah 12 tahun ini juga mengalami penganiayaan fisik.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat, kekerasan terhadap anak umumnya dilakukan orang-orang terdekat seperti kakak, saudara, tetangga, pengajar, hingga orangtua sekalipun.
Hal ini menandakan perlindungan terhadap anak sangat rentan. Orangtua atau saudara yang semestinya menjadi benteng pertama perlindungan anak, justru menjadi predator. Sementara korban yang masih anak-anak, umumnya tak berani melaporkan kepada pihak berwenang. Apalagi pelaku adalah orang terdekat.
Kepolosan anak-anak juga kerap menjadi celah bagi para predator anak, untuk masuk ke dalam jebakan mereka. Seperti kasus seorang kakek di Sumedang, Jawa Barat yang tega mencabuli bocah yang jumlahnya lebih dari 9 anak.
Dalam aksinya, kakek bernama Abah Aman itu mengiming-imingi jajanan gratis kepada anak-anak lantaran pekerjaan pelaku merupakan penjual jajanan anak. Ini jelas memanfaatkan kelemahan anak-anak.
UU perlindungan anak juga belum dapat diaplikasikan dengan baik ketika penegakan hukum lemah. Tak jarang para predator hanya diganjar ringan, atau bahkan bebas dari tuntutan hukum.
Lantas perlindungan model seperti apa yang bisa menjamin untuk melindungi anak? Agama? Pengawasan orangtua? Undang-undang? Lingkungan? Saya kira semua terintegrasi, saling terkait.
Trauma Seumur Hidup
Usulan hukuman dikebiri hasrat seksualnya bagi para predator anak pun muncul. Mengingat sulitnya mencari cara untuk membuat para predator ini jera. Nafsu syahwat mereka dihilangkan. Manusiawikah? Ini masih menjadi pertimbangan antara hak asasi manusia si predator dengan dampak yang dialami para korban.
Jika kita menegok para korban predator, umumnya akan mengalami trauma seumur hidup. Bayangan ketakutan akan terus menghantui benak bocah-bocah korban kekerasan seksual. Sementara sang predator akan bebas dari sanksi hukum jika masa hukuman mereka berakhir. Sebandingkah?
Belum lagi kecenderungan dampak psikologis bagi anak-anak korban kekerasan seksual. Ada kecenderungan mereka akan melakukan perbuatan yang sama apa yang mereka alami kepada anak-anak lainnya. Dengan kata lain ada kecenderungan 'menular'.
Sebut saja kasus Andri Sobari alias Emon di Sukabumi. Dia disebut-sebut terdorong melakukan kekerasan seksual terhadap 110 anak lantaran pernah menjadi korban. Meskipun ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, Emon tidak bisa digolongkan seorang paedofil, tetapi pelaku kejahatan seksual.
Yang dilakukan Emon lebih tergolong kekerasan seksual terhadap anak.
Karena kompensasi akibat perasaan takut, kebencian, dan kemarahan dia lantaran diduga pernah beberapa kali menjadi korban kekerasan seksual.
Menurut Reza, kekerasan seksual terhadap anak berbeda dengan peadofilia. Dalam kasus paedofilia adalah ketertarikan seksual seseorang dewasa terhadap anak-anak akibat beberapa faktor, antara lain, kecenderungan memiliki rasa ketertarikan yang berlebihan terhadap anak.
Namun, berbeda dengan kekerasan seksual terhadap anak, biasanya si pelaku memiliki alat kelamin tidak sempurna, tidak mempunyai kesempatan atau pilihan untuk melampiaskan secara umum hasrat seksualnya seperti terhadap pekerja seks komersial.
Maka itu, perilaku menyimpang yang dilakukan Emon lebih pada pelampiasan terhadap anak-anak yang menjadi obyek penggantinya. Jadi bisa dikatakan, perilaku dia terdorong karena faktor situasi, dan yang paling kuat ada rasa balas dendam.
"Kenapa saya menyebut Emon bukan seorang paedofil karena tersangka merasa malu, jijik, dan marah yang ditandakan dengan cara Emon mengumpulkan nama-nama anak dalam bukunya sebagai rasa kemenangan dirinya yang telah berhasil mendominasi aksi balas dendamnya tersebut," kata Reza (Kompas.com 9 Mei 2014).
Menurut Reza, kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan Emon lebih menjadi pilihan, dengan alasan anak-anak paling lemah dan mudah dieksploitasi serta dibungkam. Sementara, pendapat lain menyebutkan untuk menetapkan seseorang sebagai kaum paedofil, harus ditempuh penelitian yang panjang melalui proses uji psikologi.
Jika ada kecenderungan 'dendam', bukan tidak mungkin akan muncul Emon Emon yang lain. Padahal, banyak pihak menyebut pengungkapan kasus kekerasan seksual terhadap anak belakangan ini dinilai hanya sebagian kecil. Bayangkan jika ini benar terjadi.
Dampak lain bagi orangtua korban kekerasan anak tentu ini petaka. Sepanjang umur mereka akan mengenang kekerasan yang dialami anaknya. Bahkan ini bisa dikatan lebih dari aib bagi keluarga mereka. Sebab, masyarakat di sekitarnya juga akan terus mengingatnya. Belum lagi penderitaan melihat kondisi anak yang trauma.
Sementara, bagi si anak korban kekerasan seksual akan menjadi trauma yang dibawa seumur hidup, yang mempengaruhi kejiwaan serta cara pandang terhadap masa depan mereka. Jika tidak dipulihan kondisi kejiwaan mereka akan terus terganggu. Dampaknya bermacam-macam, bisa pendiam, suka menyendiri, kurang percaya diri, bahkan hingga dendam.
Darurat Kekerasan Anak
Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait mengatakan, dari sekitar 21 juta lebih pelanggaran terhadap anak, 58% adalah kejahatan seksual. Artinya bahwa keadaan ini harus diwaspadai semua pihak, baik di sekolah, ruang publik, atau pun di rumah. Bahkan, panti berlatar agama sekali pun ternyata menyimpan predator kekerasan terhadap anak.
"Kekerasan terhadap anak bukan suatu kultur dan ini yang harus diluruskan dalam program pencegahan deteksi dini. Serta perlunya pemahaman di sekolah, rumah, dan anggota keluarga, bahwa memukul anak yang diklaim sebagai suatu proses pembelajaran agar lebih baik, justru itu merupakan satu bentuk kekerasan kepada anak," ujar Arist. (Liputan6.com 21 Oktober 2015).
Para stakeholder kini sedang menggodok tentang pelaku pelanggaran terhadap anak, agar dapat dihukum seberat-beratnya. Maksimal seumur hidup, minimal 20 tahun penjara dan hukuman lainnya untuk membuat efek jera adalah hukuman kebiri bagi para predator anak. Komnas PA pun mulai menggaungkan darurat kekerasan anak.
Kasus Robot Gedek, Emon, bocah F merupakan deretan kasus kekerasan anak yang terungkap. Masih banyak ribuan, bahkan jutaan kasus kekerasan seksual serupa terhadap anak. Karenanya, ini menjadi PR panjang bagi kita semua. Khususnya bagi para penegak hukum untuk mencegah kasus ini lebih dini.
Lantas setujukah Anda jika para predator diganjar hukuman kebiri hasrat seksualnya? Bagi para koran tentu jawabanya ya, sangat setuju. Karena mereka telah merasakan kepedihan akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Tapi bagi para predator tentu jawaban mereka berbeda.
Jakarta, 22 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H