Mohon tunggu...
Roman Krama Wijaya
Roman Krama Wijaya Mohon Tunggu... kuli panggul -

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setujukah Hukuman Kebiri Bagi Predator Anak?

22 Oktober 2015   12:47 Diperbarui: 22 Oktober 2015   12:47 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Usulan hukuman dikebiri hasrat seksualnya bagi para predator anak pun muncul. Mengingat sulitnya mencari cara untuk membuat para predator ini jera. Nafsu syahwat mereka dihilangkan. Manusiawikah? Ini masih menjadi pertimbangan antara hak asasi manusia si predator dengan dampak yang dialami para korban.

Jika kita menegok para korban predator, umumnya akan mengalami trauma seumur hidup. Bayangan ketakutan akan terus menghantui benak bocah-bocah korban kekerasan seksual. Sementara sang predator akan bebas dari sanksi hukum jika masa hukuman mereka berakhir. Sebandingkah?

Belum lagi kecenderungan dampak psikologis bagi anak-anak korban kekerasan seksual. Ada kecenderungan mereka akan melakukan perbuatan yang sama apa yang mereka alami kepada anak-anak lainnya. Dengan kata lain ada kecenderungan 'menular'.

Sebut saja kasus Andri Sobari alias Emon di Sukabumi. Dia disebut-sebut terdorong melakukan kekerasan seksual terhadap 110 anak lantaran pernah menjadi korban. Meskipun ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, Emon tidak bisa digolongkan seorang paedofil, tetapi pelaku kejahatan seksual.

Yang dilakukan Emon lebih tergolong kekerasan seksual terhadap anak.
Karena kompensasi akibat perasaan takut, kebencian, dan kemarahan dia lantaran diduga pernah beberapa kali menjadi korban kekerasan seksual.

Menurut Reza, kekerasan seksual terhadap anak berbeda dengan peadofilia. Dalam kasus paedofilia adalah ketertarikan seksual seseorang dewasa terhadap anak-anak akibat beberapa faktor, antara lain, kecenderungan memiliki rasa ketertarikan yang berlebihan terhadap anak.

Namun, berbeda dengan kekerasan seksual terhadap anak, biasanya si pelaku memiliki alat kelamin tidak sempurna, tidak mempunyai kesempatan atau pilihan untuk melampiaskan secara umum hasrat seksualnya seperti terhadap pekerja seks komersial.

Maka itu, perilaku menyimpang yang dilakukan Emon lebih pada pelampiasan terhadap anak-anak yang menjadi obyek penggantinya. Jadi bisa dikatakan, perilaku dia terdorong karena faktor situasi, dan yang paling kuat ada rasa balas dendam.

"Kenapa saya menyebut Emon bukan seorang paedofil karena tersangka merasa malu, jijik, dan marah yang ditandakan dengan cara Emon mengumpulkan nama-nama anak dalam bukunya sebagai rasa kemenangan dirinya yang telah berhasil mendominasi aksi balas dendamnya tersebut," kata Reza (Kompas.com 9 Mei 2014).

Menurut Reza, kekerasan seksual terhadap anak yang dilakukan Emon lebih menjadi pilihan, dengan alasan anak-anak paling lemah dan mudah dieksploitasi serta dibungkam. Sementara, pendapat lain menyebutkan untuk menetapkan seseorang sebagai kaum paedofil, harus ditempuh penelitian yang panjang melalui proses uji psikologi.

Jika ada kecenderungan 'dendam', bukan tidak mungkin akan muncul Emon Emon yang lain. Padahal, banyak pihak menyebut pengungkapan kasus kekerasan seksual terhadap anak belakangan ini dinilai hanya sebagian kecil. Bayangkan jika ini benar terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun