Parahnya lagi, masyarakat desa menjual sawahnya untuk beralih ke dunia usaha yang belum tentu sukses. Celakanya lagi, warga menjual sawah untuk biaya hidupnya. Kepada siapa lagi masyarakat pedesaan bergantung hidup? Bagaimana nasib pedesaan yang menjadi lumbung padi masyaryakat perkotaan?
Pembakaran lahan dan hutan jelas mengancam kehidupan manusia dan habitat alam. Akibat segelintir tangan-tangan kotor, masyarakat dunia harus menanggung dampaknya. Padahal kita sudah tahu, masalah kekeringan bagian dari dampak pemanasan global, yang tak lain akibat menipisnya kawasan hutan.
Demi bisnis dan keuntungan semata, rakyat kecil menderita. Celakanya, banyak korporasi menggerogoti lahan dan hutan lewat tangan-tangan penguasa daerah. Mereka bergumul di atas penderitaan rakyat kecil. Mereka bak predator yang siap memangsa yang lemah. Sementara stakeholder hanya melihat sebelah mata, seolah ini masalah biasa. Faktor alam dan sebagainya.
Seperti biasa adat ketimuran, meski buntung, aku masih beruntung. Karena aku masih bisa onani. Ya, onani. Sebab aku cuma bisa melihat masalah besar di depan mata. Sementara aku tak bisa berbuat apa-apa, hanya membuat langkah kecil yang terkadang mudah tersapu angin.
Aku juga masih beruntung, lewat Kompasiana aku bisa berbagi kegelisahan yang selama ini mengusik ketenangan tidur siangku --malam untuk kerja, siang untuk tidur. Dan ternyata aku tersadar, Kompasiana bukan penyebab kabut asap dan kekeringan sungaiku. Justru sebaliknya.
Semoga lewat coretan di Kompasiana ini, kegelisahanku sampai di tangan-tangan kotor itu dan para stakeholder, supaya mereka sadar. Sadar akan nasib anak cucu dan generasi selanjutnya, sebelum alam ini murka!
Jakarta, 23 September 2015
Roman
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H