Mohon tunggu...
Roman Krama Wijaya
Roman Krama Wijaya Mohon Tunggu... kuli panggul -

Belajar menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sungaiku Mengering Karena Kompasiana

23 September 2015   11:34 Diperbarui: 13 September 2016   05:38 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sungai Muli, warga juga biasanya menangkap ikan menggunakan kail. Begitu juga aku dan teman-temanku saat akhir pekan tiba. Tapi ada juga warga yang menggunakan jaring atau jebakan ikan yang terbuat dari bambu.

Hasil tangkapan ikan biasanya dibawa pulang ke rumah, sebagai pelengkap lauk makan warga. Bahkan, ada juga warga yang menjual ikan hasil tangkapan mereka ke pasar.

Sungai Muli juga menjadi sumber energi listrik bagi warga desaku. Mereka banyak memanfaatkan arus sungai untuk memutar kincir angin. Biasanya, mereka memasang kincir angin di tepi sungai. Warga yang sebelumnya memakai lampu patromak, beralih menggunakan penerang listrik.

Tak hanya itu, setiap banjir surut sungai Muli menyisakan kayu-kayu besar dari pohon yang sudah tumbang. Kayu-kayu yang terseret arus dari hutan itu biasanya terdampar di pinggiran sungai. Warga pun mengambilnya untuk bahan kayu bakar. Bahkan, tak jarang warga memanfaatkan untuk furniture.

Warga desaku juga memanfaatkan sumber daya alam lainya yang ada di sungai. Seperti aku dan teman-teman sekolahku, yang biasanya mengambil batu sungai dan pasir untuk pembangunan gedung sekolah. Para siswa biasanya melakukan kerja bakti ini setiap Jumat. Maklum, pembangunan gedung sekolahku berasal dari dana sukarela warga dan pihak sekolah.

Tapi itu cerita 20 tahun lalu, saat aku dan teman-temanku masih duduk di bangku sekolah dasar. Kini semuanya sudah berubah. Listrik sudah masuk desa. Jalanan yang dulu masih tanah kini berubah menjadi aspal.

Sungaiku pun ikut berubah mengering.  Berubah menjadi sumur-sumur kecil. Bongkahan batu-batu besar tempatku berjemur, kini rata menjadi kerikil-kerikil kecil. Udang-udang pun menghilang. Kincir-kincir air pun tak berbekas di tepian sungai. Sawah-sawah mengering.

Anak-anak yang dulu bermain di sungai, kini beralih di depan televisi. Mereka diracuni tayangan-tayangan yang tidak mendidik. Hari-hari mereka dicekoki budaya konsumerisme, egoisme, dan hedonisme.

***

Kabut asap akibat kebakaran lahan dan hutan di Sumatera dan Kalimantan secara geografis mungkin tak ada kaitan dengan sungaku. Tapi secara hirarki, mungkin bagian dari mata rantai kehidupan alam. Karena sungai mengalir dari sumber-sumber mata air di hutan.

Jika hutan gundul, tentu tak ada lagi cadangan air. Sungai pun mengering. Lahan-lahan pertanian terbengkalai. Cadangan makanan untuk ribuan, bahkan jutaan orang terancam. Masyarakat desa yang biasa hidup bertani terpaksa mencari penghidupan di kota-kota besar. Urbanisasi pun meledak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun