Beberapa hari yang lalu, saya mampir ke LBH Jakarta. Ternyata kantor bantuan hukum itu tengah menggelar pameran foto. Pameran foto ini berbeda dengan pameran foto lainya, pameran ini berusaha mengangkat tema tentang hak asasi bagi mereka penyandang gangguan jiwa (skizofrenia).
Dari sinilah saya baru tahu, ternyata orang gila pun punya hak, karena dilindungi negara. Mereka bagian dari warganegara, sama halnya kita yang hidup normal. Negara berhak melindungi dan memberikan hak-hak mereka. Namun hingga kini, pemerintah belum sepenuhnya memperhatikan masalah ini. Seolah, memberikan hak kepada mereka, sama halnya berbuat sesuatu yang sia-sia.
Memang jika kita melihat sekilas orang dengan penyandang gangguan jiwa, kedua mata kita akan berusaha membuang pandangan kita, seolah manusia yang sudah tak berdaya ini sangat menjijikan di mata kita. Bahkan tak jarang di antara kita tanpa sadar meludah, setelah melihat orang gila yang seolah lebih menjijikan ketimbang melihat kebusukan para pemimpin negeri ini yang tega mencaplok hak rakyatnya.
Apa salah mereka? Bagaimana kalau kita mengalami hal ini? Tentu kita tidak akan mau kan? Sama halnya dengan apa mereka rasakan. Mereka juga ingin sembuh, mereka ingin hidup normal seperti kita. Pernahkan kita memikirkan apa yang mereka rasakan? Mereka jauh lebih bermartabat dari para koruptor di negeri ini. Mereka manusia yang berjiwa bersih meski jiwanya terganggu.
Belum lagi dengan banyaknya kasus bentuk diskriminasi yang tidak jarang dilakukan orang tua atau pihak keluarga penyandang gangguan jiwa. Mereka dipasung, dirantai, layaknya binatang. Mereka hanya diberi makan seadanya. Makan dan buang air pun di tempat yang sama. Biasanya kasus seperti ini terjadi pada penyandang gangguan jiwa berat. Mereka terkadang melakukan tindakan yang dapat melukai orang lain, sehingga tak jarang mereka harus dipasung.
Padahal, jika penyandang gangguan jiwa ini mengalami perawatan yang baik, mereka akan sembuh, bahkan pulih seperti sedia kala. Hal ini yang terkadang banyak dilupakan masyarakat, khususnya pemerintah yang berwenang memberikan hak-hak mereka. Karena bagaimanapun mereka adalah bagian warga negara, sebangsa, dan setanah air, tanah air Indonesia.
Dari catatan Kementeri Kesehatan lima tahun terakhir, jumlah penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai
angka 11, 6 persen dari penduduk Indonesia (sekitar 18,6 juta orang) usia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional atau di luar gangguan jiwa berat.
DKI Jakarta di atas rata-rata nasional yaitu 14,1 persen atau sekitar 1, 275 juta penduduk Jakarta, yang berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional atau di luar gangguan jiwa berat.
Kemudian 0,46 persen dari penduduk Indonesia (sekitar 740.600 orang) mengalami gangguan jiwa berat. Sementara DKI Jakarta di atas rata-rata nasional yaitu 2,03 persen atau 182.000 penduduk Jakarta menderit agangguan jiwa berat.
Angka tersebut adalah estimasi konservatif. Estimasi global memperkirakan 30 persen penduduk mengalami berbagai bentuk masalah kesehatan jiwa semasa hidupnya.
Dengan populasi 220 jiwa, artinya ada 66 juta penduduk Indonesia pernah mengalami masalah kesehatan jiwa.
Sementara jumlah orang yang terkena dampak meningkat sangat bermakna bila kita mempertimbangkan bahwa anggota keluarga penderita juga ikut terkena dampak dari gangguanya.
Artinya, hampir separuh penduduk Indonesia mengalamai dampak dari masalah kesehatan jiwa.
Sebagian besar penderita gangguan jiwa di Indonesia tak mendapat pengobatan karena tidak adanya akses. Untuk wilayah Bogor yang dekat dengan Jakarta saja hanya 3,5 persen penderita gangguan jiwa berat yang mendapat terapi oleh petugas kesehatan. Artinya 96,5 persen diantaranya tidak mendapat pengobatan medis. (Hasil penelitian WHO dan Depkes, 2005 di Kecamatan Leuwiliang Bogor Populasi 177.454)
Diksi :
Waham : gejala masalah kesehatan jiwa berupa keyakinan yang salah, biasanya penderita akan mengalami halusiansi berupa suara dan visual. Misalnya berupa pembelokan pikiran secara verbal. Misalnya saja ketika seharunsya membaca kata gedung yang ada di pikiran berkata roti. Sehingga seperti ada suara dalam pikiran yang memiliki kehendak sendiri. Seolah menyeruak dari bawah sadarnya. Tak jarang sakit gangguan ini dianggap akibat guna-guna atau kemasukan roh halus dan sebagainya.
Sedangkan gejala secara visual misalnya ketika penderita membaca angka 12 tetapi yang muncul di dalam pikiran adalah angka 37. Seolah ada imajinasi dalam pikiran yang muncul dengan sendirinya.
Halusainasi suara dan bayangan yang dialami penderita biasanya menghina diri sendiri, berdebat dengan diri sendiri, menyalahkan diri secara tidak berdasar, mengkritik diri sendiri, mencaci diri sendiri, menakuti diri sendiri dengan menonton tayangan kekerasan pada diri sendiri, juga membelokan pikiran.
Contoh lain ketika tengah memegang gelas, seolah ingin mambanting gelas dan menginjak pecahanya. Atau menyetir kendaraan dan ingin menjatuhkan diri dari kendaraan, menjatuhkan diri dari ketinggian. Begitupun saat menulis biasanya, ketika harus menulis huruf A yang ditulis huruf B, karena yang ada dipikiran adalah huruf B.
Skizofrenia : gangguan jiwa
Encephalitis : radang otak
Mood stabilizer : penstabil alam perasaan
Skizo : sebutan untuk orang gila
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H