Pada suatu momen salat asar berjamaah di sebuah surau di kabupaten Kediri saya diberikan oleh Allah sebuah pelajaran tentang betapa sebuah ilmu agama Islam merupakan hal yang penting untuk dipelajari secara komprehensif, tidak boleh setengah-setengah. Saat itu, imam mengalami "kesalahan" yakni lupa melaksanakan tahiyat awal dan langsung menuju kepada rakaat berikutnya. Sontak hampir semua jemaah yang memutuskan untuk berposisi tahiyat awal tidak mengikuti imam mengingatkan kepada sang imam yang sudah berdiri dengan mengucap "subhanallah" Bukannya menaati, sang imam terus melanjutkan rakaat ketiganya. Para jemaah tetap setia dalam posisi tahiyat awalnya hingga sang imam mengucap salam tanda berakhirnya sholat, kemudian masing-masing dari mereka melanjutkan dua rakaat yang masih belum dilaksanakan layaknya sebagai seorang yang masbuk.
Apakah sang imam tersebut salah? Ia benar, para jemaah lah yang salah besar. Sang imam tersebut tidak bisa kembali ke posisi duduk untuk melaksanakan tahiyat awal karena akan berujung pada batalnya sholat, fikih mengajarkan demikian. Ketika kita meninggalkan bagian dari sholat yang bukan wajib atau sunah dan kita sudah secara sempurna dalam posisi lainnya yang berhukum wajib maka kita dilarang untuk kembali ke posisi yang sunah tersebut.
Sang imam tentunya juga merasa malu karena hal ini, ia layaknya orang yang sudah salah ngotot pula, sudah ditegur keras-keras tetap saja ngeyelmeneruskan sholat. Akibat hal demikian, yang benar seperti terlihat salah dan yang salah seperti terlihat benar. Semua ini karena every single person buta akan ilmu agama yang begitu kompleks. Cerita diatas hanyalah satu dari sekian banyak masalah yang muncul karena ketidaksempurnaan memahami hukum agama. Suatu ketika saya juga pernah menyaksikan seorang muslimah yang mendapat bullying karena menulis status facebook berisi cacian terhadap imam sholat subuh pada hari Jumat yang memimpin solat sebanyak tiga rakaat. Tentunya menjadi sebuah kebiasaan pada sholat subuh di hari Jumat dengan melaksanakan sunah sujud sajadah. Sujud sajadah inilah yang disangka oleh muslimah tersebut sebagai rakat yang berlebih. Sungguh lah tentunya memalukan hal yang demikian.
Menuntut Ilmu Agama Secara Komprehensif
Persoalan yang saya gambarkan diatas barulah terjadi dalam ruang lingkup fikih ritual sehari-hari dan dampaknya cukup lah lumayan menganggu kehidupan kita. Bayangkan, solat adalah pernyataan Allah pertama kali saat Dia menghisab kita, bagaimana bisa kita belum selesai menyempurnakan pengetahuan dan praktik atasnya? Pertanyaan yang muncul kemudian adalah bagaimana jika bentuk keawaman kita terhadap agama tersebut sudah mencapai skala lebih besar, misalnya masuk dalam pembahasan hubungan agama dengan politik? Tentu daya hancur yang terjadi juga lebih besar.
Seperti yang kita tahu semua, dewasa ini kembali muncul wacana yang menyebutkan bahwa kita tak perlu mencampuradukkan agama dengan politik. Wacana ini tentu muncul dari orang yang tidak begitu paham dengan agama, sehingga seolah-olah agama hanyalah mengurusi urusan solat. Padahal, agama tentunya harus diyakini sebagai sesuatu yang membimbing kita dalam hal apapun. Sayangnya lagi, wacana ini banyak diamini oleh orang awam berikutnya dan berkembangbiaklah bentuk kebodohan tersebut.
Kehidupan politik sesungguhnya juga harus memiliki rambu-rambu, dan tentu sebagai orang yang beriman, rambu-rambu yang harus kita nomorsatukan adalah agama. Tujuan kita berpolitik pun hanya boleh karena Allah SWT. Selain itu, tidak mungkin bagi kita untuk menegakkan agama ini jika kita tidak terlibat dalam urusan bernegara mengingat segala apa yang kita dapat di negara ini adalah hasil dari keputusan-keputusan politik.
Inilah sebabnya agama harus dipahami secara menyeluruh, dari urusan solat yang harus kita pahami secara benar dan rinci hukum-hukumnya sampai urusan agama dalam ruang lingkup lebih besar lagi yakni contohnya dalam hal politik. Beginilah cara sebagai seorang muslim yang memang meyakini akan kebenaran agamanya. Bukankah Nabi pernah sebut bahwa menuntut ilmu wajib untuk setiap muslim? Dan ilmu itu sangatlah luas.
Seseorang yang belajar fikih tapi tidak belajar tasawuf maka dia akan menemukan kehambaran akan ritual-ritual ibadah yang dilaksanakannya. Seseorang yang belajar membaca Alquran tapi tidak mempelajari makna-makna yang terkandung didalamnya tentu tidak akan bisa mengambil hikmah dari ayat-ayat yang dibacanya.
Agama akan menjadi penyembuh, penolong, pembimbing kita jika dipahami secara benar. Sebaliknya, Agama hanya menjadi pepesan kosong belaka bahkan bencana jika hanya kita peluk tetapi tidak kita hayati dengan sebenar-benarnya penghayatan yakni dengan memiliki ilmu yang benar atasnya. Â
Fitnah Terhadap Agama Islam
Keawaman kita terhadap agama pun menjadi sasaran empuk mereka yang ingin menjelekkan Islam. Sebutlah fitnah paling besar terhadap agama Islam di dunia internasional adalah agama Islam sebagai agama yang mengajarkan kekerasan. Padahal, tidak satupun dalil-dalam dalam Islam yang membimbing umatnya untuk menganiaya orang secara keji, apalagi membunuh orang yang sama sekali tidak bersalah.
Umat Islam yang kebetulan lemah ilmu dan imannya, terperdaya dengan ajakan kaum teroris yang mengatasnamakan Islam ini. Tentunya hal ini tidak terjadi jika agama diajarkan secara benar kepada mereka. Pun, kita sebagai umat Islam juga akan mudah melawan fitnah-fitnah keji ini jika kita punya ilmu.
Sudah Benarkah Pendidikan Agama Kita?
Indonesia sebagai negara yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar nomor satu dalam dasar negara Pancasila sudah sepatutnya mengimplementasikan konsensus tersebut dengan baik. Ilmu agama harus diajarkan secara intensif dan tidak kalah dengan ilmu-ilmu lainnya.
Apabila melihat kenyataan sekarang, tentunya dasar negara tersebut belum bisa dikatakan terlaksana dengan baik. Lihatlah kenyataan pada guru-guru agama yang kebanyakan masih dibawah strata guru-guru umum, begitu juga strata ilmunya sendiri. Kita merasa lebih terhormat jika anak-anak kita memenangi olimpiade Astronomi dibandingkan anak kita bisa membaca Alquran dengan baik dan benar. Ini karena memang penghargaan dari masyarakat dan pemerintah terasa lebih besar diberikan kepada mereka yang berprestasi di bidang umum. Belum lagi jika kita berbicara stigma masyarakat terhadap sekolah-sekolah agama, sebagian dari masyarakat menempatkan sekolah agama sebagai piihan dibawah sekolah umum jika ingin menyekolahkan anak, kalau gak diterima boleh lah masuk pesantren daripada nganggur.Kita harus bisa membenarkan sesat pikir ini, tentunya dengan meningkatkan kualitas dan strata ilmu agama minimal sama dengan ilmu umum.
Selain stigma yang menyesakkan dada ini, marilah kita lihat kenyataan seberapa lama porsi ilmu agama yang diberikan dalam bangku kuliah dan bangku sekolah formal. Kurang lebih 2 jam pelajaran atau 2 SKS per minggunya. Bagaimana bisa mengajarkan ilmu agama dengan benar dan komprehensif jika waktu yang diberikan hanya sebentar?
Jika jawaban yang diberikan pemerintah adalah bahwa bagi para siswa yang ingin mempelajari agama secara dalam dipersilahkan secara mandiri mencarinya di pengajian-pengajian atau sekolah tambahan, tentu bukanlah jawaban yang bijak. Marilah kita kembalikan kepada sila pertama pada Pancasila yakni ketuhanan. Tentu sila tersebut mengindikasikan bahwa agama bagi Indonesia adalah hal yang begitu penting. Itu artinya juga agama bukanlah hal yang bisa disebut privat, negara harus menyediakan sarana dan prasarana orang beragama dengan sangat baik.
Terakhir, terlepas dari konteks negara yang harus memfasilitasi kebutuhan beragama dengan tepat, kita sebagai muslim tentunya dituntut oleh Islam untuk berupaya mempelajari agama yang sempurna ini secara tuntas dan benar. Mulailah dengan hal yang mudah yakni kembali menghadiri masjid-masjid yang menyediakan pengajian ilmu. Dengan melakukan ini, maka agama tidak akan menimbulkan kebingungan-kebingungan yang berujung pada fitnah dan perpecahan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H