Mohon tunggu...
Razib  Ikbal
Razib Ikbal Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hanya seorang scorpius yang suka kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Pola Unik DNA-mu Dapat Mendeteksi Kanker Paru-Paru

23 Juni 2023   21:09 Diperbarui: 23 Juni 2023   21:11 395
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4. Perbedaan panjang mikrosatelit pada sampel orang sehat dan pasien yang ditandai dengan kotak warna merah.

Penulis: Chayra Endlessa, Razib Ikbal Alfaris, dan Diah Kusumawaty 

Tahukah kamu bahwa kanker paru-paru menjadi salah satu penyebab kematian utama di Indonesia? Penyakit ini sering kali tidak menimbulkan gejala sehingga sulit terdeteksi pada tahap awal. Jadi, mereka yang memang terkena kanker paru-paru umumnya terdiagnosis saat sudah memasuki tahap yang lebih parah. Saking ganasnya, hanya sekitar 20% orang yang didiagnosis kanker paru-paru dapat hidup sampai 5 tahun. 

Status quo di atas disebabkan oleh keterbatasan cara tradisional dalam mendeteksi kanker paru-paru, khususnya pada stadium awal. Cara diagnosis yang paling diandalkan oleh para ahli adalah CT scan, pemeriksaan lendir paru-paru, dan pengambilan jaringan paru-paru. Sayangnya, ketiga metode tersebut tidak selalu akurat, berbiaya tinggi, dan berisiko menimbulkan masalah kesehatan lainnya. 

Permasalahan ini membuat para ahli berunding untuk menemukan metode deteksi kanker paru-paru sedini mungkin. Di sinilah peran DNA sangat dibutuhkan. Dengan mengidentifikasi pola unik pada DNA, yang disebut mikrosatelit, kanker paru-paru dapat dideteksi dari awal. Namun, sebelumnya, apa itu mikrosatelit?

DNA atau materi genetik pada seluruh makhluk hidup tersusun atas unit satuan yang disebut nukleotida. Salah satu komponen nukleotida adalah molekul basa nitrogen yang terdiri atas empat jenis, yaitu A, T, C, dan G. Keempat nukleotida akan membentuk jutaan urutan tertentu yang menyusun DNA. 

Lalu, apa hubungan DNA dengan mikrosatelit tadi? Mikrosatelit merupakan salah satu pola susunan nukleotida unik pada DNA. Mikrosatelit dicirikan dengan unit 1-9 nukleotida yang berulang-ulang dan tersebar di seluruh DNA (Gambar 1), khususnya di daerah yang tidak fungsional atau tidak menghasilkan protein (intron). 

Dalam deteksi dini kanker paru-paru, mikrosatelit berpotensi menjadi penanda genetik yang dapat membedakan orang dengan risiko kanker paru-paru dan yang tidak. Hal ini terjadi karena mikrosatelit rentan terhadap perubahan panjang unit pengulangan yang disebut ketidakstabilan mikrosatelit (Gambar 2). Perubahan tersebutlah yang dijadikan penanda bahwa seseorang memiliki risiko menderita kanker paru-paru oleh para saintis. Menarik, bukan? 

Gambar 2. Skema ketidakstabilan mikrosatelit yang mengubah unit CA dari 6 menjadi 7 pengulangan (Eso dkk., 2020).
Gambar 2. Skema ketidakstabilan mikrosatelit yang mengubah unit CA dari 6 menjadi 7 pengulangan (Eso dkk., 2020).

Pemanfaatan Mikrosatelit untuk Deteksi Kanker Paru-Paru

Ketidakstabilan mikrosatelit disebabkan oleh adanya eror pada sistem perbaikan DNA (Gambar 2). Nah, seseorang bisa mengidap kanker jika terjadi perubahan pada susunan DNA yang tidak diperbaiki langsung. Eror tersebut yang akan terdeteksi dan menjadi tanda bahwa seseorang memiliki risiko terkena kanker paru-paru.

Beberapa penelitian yang sudah dilakukan menggunakan mikrosatelit untuk mendeteksi kanker paru-paru dengan sampel berupa jaringan paru-paru dan darah pasien. Para peneliti menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR), metode yang sering digunakan untuk mendeteksi COVID-19 pada masanya, dan elektroforesis gel untuk membedakan jumlah unit pengulangan pada sampel normal dan sakit (Gambar 3).

Setelah memperoleh sampel, peneliti mengeluarkan DNA dari sampel dengan sebuah kit khusus. Kemudian, DNA harus diperbanyak jumlahnya supaya lebih mudah untuk menemukan pola mikrosatelit pada sampel. Caranya adalah dengan menggunakan mesin PCR. Di tahap ini, peneliti harus tahu dulu sekuens DNA yang mengapit pola mikrosatelit yang mengalami perubahan panjang. Informasi ini dapat diperoleh dari penelitian terdahulu, online database, atau sekuensing manual. 

Untuk dapat mendeteksi risiko kanker paru-paru, peneliti lalu menggunakan sekuens DNA singkat (primer) yang dapat berkomplementer dengan sekuens DNA tadi. Nantinya, hanya sekuens mikrosatelit yang akan diperbanyak. Untuk memastikannya, langkah terakhir adalah elektroforesis gel. 

Gambar 3. Cara mendeteksi kanker paru-paru dengan mikrosatelit menggunakan metode PCR dan elektroforesis gel (Dokumentasi Pribadi)
Gambar 3. Cara mendeteksi kanker paru-paru dengan mikrosatelit menggunakan metode PCR dan elektroforesis gel (Dokumentasi Pribadi)
Langkah ini membandingkan panjang mikrosatelit sampel orang sehat dan pasien kanker paru-paru dengan alat elektroforesis gel yang akan menghasilkan pola pita-pita DNA di posisi yang berbeda (Gambar 4). Alat tersebut memisahkan sekuens mikrosatelit sesuai dengan panjangnya. Jadi, mikrosatelit yang lebih panjang akan berada di posisi yang lebih bawah dibandingkan yang pendek. Ingat kembali bahwa ketidakstabilan mikrosatelit membuatnya menjadi lebih pendek atau panjang. Jadi, pada Gambar 4 terlihat bahwa pola pita antara sampel orang sehat dan pasien berbeda. Artinya, pasien memiliki jumlah pengulangan mikrosatelit yang lebih banyak. Pola pita akibat ketidakstabilan mikrosatelit ini berguna sebagai penanda untuk mendeteksi apakah seseorang menderita kanker paru-paru atau tidak. 

Gambar 4. Perbedaan panjang mikrosatelit pada sampel orang sehat dan pasien yang ditandai dengan kotak warna merah.
Gambar 4. Perbedaan panjang mikrosatelit pada sampel orang sehat dan pasien yang ditandai dengan kotak warna merah.

Pengembangan Mikrosatelit untuk Deteksi Kanker di Indonesia

Terlepas dari potensinya, penggunaan mikrosatelit di Indonesia masih belum begitu masif digunakan dan masih terbatas pada kepentingan studi. Misalnya, mikrosatelit digunakan untuk studi keragaman plasma nutfah tumbuhan atau juga analisis keragaman hewan endemik. Pemanfaatannya di fasilitas kesehatan pun belum begitu masif. Perkembangan terbaru, Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mencoba menggunakan metode HPV DNA untuk deteksi dini kanker rahim mulai tahun 2023. 

Maka, penggunaan mikrosatelit dalam deteksi dini kanker paru-paru tentunya perlu terus dikembangkan mengingat kanker paru-paru di Indonesia berada pada urutan ketiga di dunia dengan jumlah 34.783 kasus (8,8% dari total kasus) pada tahun 2020. 

Dalam hal ini, deteksi dini kanker paru-paru dengan mikrosatelit menjadi terobosan baru di bidang kesehatan manusia. Dengan pengembangan yang intensif dan konsisten, teknologi ini  bagaikan harapan baru bagi para pengidap kanker paru-paru. Ke depannya, deteksi kanker berbasis pola DNA unik ini akan menjadi langkah pertama dalam peningkatkan kelangsungan hidup penderita. 

Referensi:

Baudrin, L. G., Deleuze, J.-F., & How-Kit, A. (2018). Molecular and computational methods for the detection of microsatellite instability in cancer. Frontiers in Oncology, 8. https://doi.org/10.3389/fonc.2018.00621 

Eso, Y., Shimizu, T., Takeda, H., Takai, A., & Marusawa, H. (2020). Microsatellite instability and immune checkpoint inhibitors: toward precision medicine against gastrointestinal and hepatobiliary cancers. Journal of gastroenterology, 55(1), 15--26. https://doi.org/10.1007/s00535-019-01620-7 

NCI dictionary of genetics terms. (n.d.). National Cancer Institute. Retrieved June 22, 2023, from https://www.cancer.gov/publications/dictionaries/genetics-dictionary/def/microsatellite 

Park, H. J., Lee, S. H., & Chang, Y. S. (2020). Recent advances in diagnostic technologies in lung cancer. The Korean Journal of Internal Medicine, 35(2), 257--268. https://doi.org/10.3904/kjim.2020.030 

Secondhand smoke and cancer. (n.d.). National Cancer Institute. https://www.cancer.gov/about-cancer/causes-prevention/risk/tobacco/second-hand-smoke-fact-sheet 

Tian, L., Wang, X., Zeng, R., Shen, C., Lai, Y., Zhou, K., & Che, G. (2017). Microsatellite alteration in plasma DNA discriminates multiple primary lung cancer from metastatic lung cancer. Translational Cancer Research, 6(4), 720--731. https://doi.org/10.21037/tcr.2017.07.07 

Velmurugan, K. R., Varghese, R. T., Fonville, N. C., & Garner, H. R. (2017). High-depth, high-accuracy microsatellite genotyping enables precision lung cancer risk classification. Oncogene, 36(46), 6383--6390. https://doi.org/10.1038/onc.2017.256 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun