Beberapa penelitian yang sudah dilakukan menggunakan mikrosatelit untuk mendeteksi kanker paru-paru dengan sampel berupa jaringan paru-paru dan darah pasien. Para peneliti menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR), metode yang sering digunakan untuk mendeteksi COVID-19 pada masanya, dan elektroforesis gel untuk membedakan jumlah unit pengulangan pada sampel normal dan sakit (Gambar 3).
Setelah memperoleh sampel, peneliti mengeluarkan DNA dari sampel dengan sebuah kit khusus. Kemudian, DNA harus diperbanyak jumlahnya supaya lebih mudah untuk menemukan pola mikrosatelit pada sampel. Caranya adalah dengan menggunakan mesin PCR. Di tahap ini, peneliti harus tahu dulu sekuens DNA yang mengapit pola mikrosatelit yang mengalami perubahan panjang. Informasi ini dapat diperoleh dari penelitian terdahulu, online database, atau sekuensing manual.Â
Untuk dapat mendeteksi risiko kanker paru-paru, peneliti lalu menggunakan sekuens DNA singkat (primer) yang dapat berkomplementer dengan sekuens DNA tadi. Nantinya, hanya sekuens mikrosatelit yang akan diperbanyak. Untuk memastikannya, langkah terakhir adalah elektroforesis gel.Â
Langkah ini membandingkan panjang mikrosatelit sampel orang sehat dan pasien kanker paru-paru dengan alat elektroforesis gel yang akan menghasilkan pola pita-pita DNA di posisi yang berbeda (Gambar 4). Alat tersebut memisahkan sekuens mikrosatelit sesuai dengan panjangnya. Jadi, mikrosatelit yang lebih panjang akan berada di posisi yang lebih bawah dibandingkan yang pendek. Ingat kembali bahwa ketidakstabilan mikrosatelit membuatnya menjadi lebih pendek atau panjang. Jadi, pada Gambar 4Â terlihat bahwa pola pita antara sampel orang sehat dan pasien berbeda. Artinya, pasien memiliki jumlah pengulangan mikrosatelit yang lebih banyak. Pola pita akibat ketidakstabilan mikrosatelit ini berguna sebagai penanda untuk mendeteksi apakah seseorang menderita kanker paru-paru atau tidak.Â
Pengembangan Mikrosatelit untuk Deteksi Kanker di Indonesia
Terlepas dari potensinya, penggunaan mikrosatelit di Indonesia masih belum begitu masif digunakan dan masih terbatas pada kepentingan studi. Misalnya, mikrosatelit digunakan untuk studi keragaman plasma nutfah tumbuhan atau juga analisis keragaman hewan endemik. Pemanfaatannya di fasilitas kesehatan pun belum begitu masif. Perkembangan terbaru, Kementrian Kesehatan (Kemenkes) mencoba menggunakan metode HPV DNA untuk deteksi dini kanker rahim mulai tahun 2023.Â
Maka, penggunaan mikrosatelit dalam deteksi dini kanker paru-paru tentunya perlu terus dikembangkan mengingat kanker paru-paru di Indonesia berada pada urutan ketiga di dunia dengan jumlah 34.783 kasus (8,8% dari total kasus) pada tahun 2020.Â
Dalam hal ini, deteksi dini kanker paru-paru dengan mikrosatelit menjadi terobosan baru di bidang kesehatan manusia. Dengan pengembangan yang intensif dan konsisten, teknologi ini  bagaikan harapan baru bagi para pengidap kanker paru-paru. Ke depannya, deteksi kanker berbasis pola DNA unik ini akan menjadi langkah pertama dalam peningkatkan kelangsungan hidup penderita.Â
Referensi:
Baudrin, L. G., Deleuze, J.-F., & How-Kit, A. (2018). Molecular and computational methods for the detection of microsatellite instability in cancer. Frontiers in Oncology, 8. https://doi.org/10.3389/fonc.2018.00621Â