Mohon tunggu...
Razib  Ikbal
Razib Ikbal Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Hanya seorang scorpius yang suka kesunyian.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Pilkada 2020: Pesta Demokrasi atau Cari Mati?

8 Desember 2020   21:58 Diperbarui: 8 Desember 2020   22:16 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas KPU akan mendatangi pasien Covid-19 ke ruang isolasi dengan APD lengkap. Sumber: KPU RI

Pilkada 2020: Pesta Demokrasi atau Cari Mati?

Oleh: Razib Ikbal Alfaris

 

Tanggal 9 Desember 2020 disebut sebagai pesta demokrasi masyarakat sebab pada tanggal itulah pilkada serentak dilaksanakan. Pilkada serentak ini dilaksanakan di 270 wilayah seluruh Indonesia yang mencakup 9 provinsi, 37 kota, dan 224 kabupaten. Semua lapisan masyarakat memanfaatkan kesempatan ini untuk berkontribusi pada daerahnya masing-masing dengan memilih calon pemimpin yang bisa membawa daerahnya menuju perubahan dan pembangunan masif.

Namun, sayangnya pilkada 2020 tak seindah pilkada tahun-tahun lalu. Pilkada yang disebut sebagai ajang pesta demokrasi, berubah menjadi ajang “cari mati” sebab dilaksanakan di tengah pandemi Covid-19 yang semakin memburuk. Pada Selasa, 08 Desember 2020 saja kasus positif Covid-19 di Indonesia sudah bertambah lebih dari 5292 kasus. Lalu dengan keadaan demikian akan dilaksanakan pilkada? Bukankah cocok disebut dengan cari mati?

Maaf, saya lupa kalau pilkada 2020 akan menerapkan protokol kesehatan dengan sangat ketat. Jadi, semuanya akan baik-baik saja. Mungkin kurang lebih begitu yang akan dikatakan oleh KPU ketika dipertanyakan mengenai pilkada di tengah pandemi ini. Namun, bukankah fakta justru berkata lain? 

Pertama, bagaimana Anda bisa tahu semuanya akan baik saja padahal tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang selain Tuhan? Ya, memang kita berharap semuanya akan baik-baik saja. Kedua, kalau memang Anda yakin semuanya akan baik-baik saja, kenapa kasus Covid-19 di Indonesia semakin bertambah padahal protokol kesehatan sudah digalakkan?

Tunggu, biar saya jawab. Pasti karena masyarakat yang tidak patuh? Kalau begitu, adakah jaminan bahwa semua lapisan masyarakat sampai ke TPS yang berada di pelosok akan patuh menerapkan protokol kesehatan? Kalau memang yakin, lantas kenapa banyak paslon yang melanggar aturan kampanye yang tidak boleh mengundang kerumunan? Kenapa pula banyak kandidat yang justru terpapar Covid-19 setelah kampanye? 

Dilansir dari Kompas.com setidaknya ada 68 kandidat terpapar Covid-19 sebelum penetapan calon dan 3 meninggal akibat pandemi ini. Data itu tentu semakin meresahkan masyarakat terkait pilkada di tengah pandemi.

Bukan hanya masyarakat yang protes. Dilansir dari Kompas.com, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU dan Muhammadiyyah memprotes kebijakan pelaksanaan pilkada di tengah pandemi karena dinilai bisa membahayakan keselamatan dan kesehatan masyarakat. Mantan wakil presiden RI Jusuf Kalla juga mengkritik kebijakan ini dengan alasan yang sama.  

Tak cukup sampai di situ, beberapa hari menjelang pilkada dilaksanakan, media sosial KPU mengunggah postingan ajaib yang menuai kontroversi lagi. 

Di dalam postingan itu dinyatakan bahwa pasien positif Covid-19 yang sedang menjalankan isolasi tetap mencoblos dengan didatangi oleh petugas KPU dan saksi yang lengkap dengan APD. Bukankah lucu ketika sanak keluarga saja tak diperbolehkan untuk menjenguk pasien isolasi Covid-19, ini orang tak dikenal boleh datang kepada pasien Covid-19. Sepertinya memang hak pemerintah terhadap seseorang lebih banyak daripada keluarganya sendiri.

Tidak, bukan soal itu saja. Masalahnya adalah risiko petugas KPU terpapar virus corona. Memang betul mengenakan APD lengkap, tetapi apakah benar-benar aman? Tenaga medis saja yang menggunakan APD lengkap banyak yang terpapar bahkan sampai meninggal. Sehingga ketika kita lihat kebijakan ini seakan-akan negara tak menjamin kehidupan rakyatnya dengan mengirim petugas KPU untuk berinteraksi dengan pasien isolasi Covid-19. 

Memang betul setiap orang berhak untuk memilih dan dipilih, tapi kalau harus membahayakan nyawa orang lain itu sangat mengerikan. Hak hidup itu lebih utama daripada hak memilih jika dalam keadaan yang tidak memungkinkan seseorang untuk mendapat keduanya. Eh iya lupa. Kan yang penting itu suaranya, bukan kesehatan dan keselamatan pasiennya atau petugas KPU-nya.

Meskipun ada banyak kontroversi di balik pilkada di tengah pandemi, pemerintah yang terlibat selalu mempunyai alibi untuk mendukung kebijakannya. Mulai dari alasan bahwa untuk mengundur perlu undang-undang baru yang tidak mungkin selesai dalam waktu dekat (padahal omnibus law yang sekompleks itu saja bisa selesai dalam waktu singkat tanpa memperhatikan suara rakyat), akan munculnya kecemburuan di kalangan birokrat karena masa jabatan pemimpin saat ini yang lebih panjang, dan juga masyarakat yang ingin cepat-cepat mendapat perubahan atau sederhananya “mengganti tampuk kepemimpinan”. 

Masuk akal sebetulnya. Mengingat banyak pemimpin yang tidak sesuai harapan dan justru menyusahkan. Tidak aneh jika banyak masyarakat yang tidak tahan ingin cepat terjadi pergantian pemimpin. Selain itu, ada juga beberapa teori konspirasi yang menyatakan bahwa pilkada lanjut dampak anak dan menantu presiden maju ke dunia pemerintahan dan politik. Ya terserahlah. Toh kalaupun teori itu tidak benar paling kurang tepat.

Jadi, bagaimana? Bingung? Semua orang juga saat ini sedang bingung dengan keadaan di negeri ini (kalau memang dia berpikir). Sejujurnya saya ingin pilkada diundur saja karena kelangsungan hidup, kesehatan, keamanan, dan kenyamanan rakyat adalah nomor satu. Daripada mengorbankan ribuan orang terpapar Covid-19 demi suara, lebih baik mengorbankan hak suara demi melindungi hak hidup.

Semua orang dihadapkan pada dilema yang sama. Menjadi rakyat baik yang tidak golput berarti mengancam kesehatan dan keselamatan sendiri, kalau golput berarti akan berkontribusi jika pemimpin yang terpilih tidak amanah, dan sebagainya. Namun, kita hanya bisa berharap semoga semua TPS yang melaksanakan pencoblosan nanti menerapkan protokol kesehatan dengan ketat dan sesuai aturn. Lalu, semoga saja tak terjadi apa-apa pada Indonesia setelah pilkada memaksa untuk dirayakan.

Intinya, yang penting kita taat prokes, jaga kebersihan, jangan lupa bahagia. Sepulang mencoblos janganlah lupa menikmati pagi dengan secangkir kopi dan sebatang nikotin.

08 Desember 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun