Mohon tunggu...
Aulia Harridhi Khilal
Aulia Harridhi Khilal Mohon Tunggu... -

mahasiswa psikologi universitas islam negeri maulana malik ibrahim malang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Asumsi Filosofis Kualitatif

30 Maret 2015   21:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:46 934
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebelum Memulai Penelitian, ya kualitatif tentunya, para peneliti harus memiliki pemahaman tentang asumsi filosofis di balik penelitian kualitatif. Pemahaman tentang hal ini bisa dimulai dari menaksir dimana posisi asumsi filosofis tersebut di dalam penelitian lalu mencatat peran pentingnya sebagai salah satu unsur penelitian kemudian memikirkan bagaimana menulis asumsi filosofis tersebut secara aktif ke dalam suatu riset.

Secara sederhana asumsi filosofis merupakan pendapat atau keyakinan terhadap suatu fenomena (suatu contoh pada fenomena orang bertato,"pada umumnya" orang menganggap bahwasannya orang bertato merupakan orang yang buruk/mungkin preman) yang mana pendapat atau asumsi tersebut sangatlah beragam dan kebanyakan tidak dilandaskan pada suatu teori ilmiah. Jika asumsi filosofis ini kita hubungkan dengan memulai tahap penelitian kualitatif, maka asumsi filosofis dari berbagai macam individu terhadap suatu fenomena merupakan ide pertama yang akan mengantarkan peniliti kualitatif ke langkah berikutnya dalam pemahaman asumsi filosofis ini. Setelah para peneliti mengetahui berbagai macam asumsi filosofis dari suatu fenomena tersebut langkah selanjutnya adalah bagaimana menghubungkan asumsi suatu individu dengan asumsi individu yang lain. Kemudian ketika peneliti sudah mulai memahami hubungan antara satu asumsi dengan asumsi yang lain asumsi-asumsi tersebut dihubungkan pada proses riset secara keseluruhan yang akan menghasilkan sebuah misteri, nah misteri itulah yang akan menjadi hasil dari penelitian kualitatif tersebut.

Dalam bukunya (Creswell, 2015) dijelaskan bahwa proses penelitian dimulai dengan 5 fase yaitu:


  1. Para peneliti memikirkan apa yang mereka bawa ke dalam penelitiannya, pandangan tentang diri mereka dan orang lain, dan persoalan etika dan politik. para peneliti sering kali melewatkan fase ini, karenanya hal ini dianggap penting unutk diperhatikan dan diposisikan pertama dalam tahapan-tahapan proses penelitian.
  2. Sang peneliti membawa ke dalam penelitiannya berbagai teori, paradigma, dan perspektif, suatu "rangkaian keyakinan dasar yang memandu aksi" (Guba, 1990, hlm. 17). Di fase ini peneliti mendapati kerangka filosofis dan teoritis yang akan dibahas.
  3. Peneliti memilih berbagai macam strategi riset yang akan digunakan, atau dalam bukunya (Creswell, 2015) menyebutnya dengan "pendekatan".
  4. Di fase ini Peneliti akan terlibat dengan berbagai metode pengumpulan dan analisis data.
  5. Fase ini merupakan lanjutan dari fase sebelumnya dimana peneliti akan melakukan penafsiran dan evaluasi data.


Nah, mungkin dari para pembaca sekalian bertanya-tanya, mengapa harus memahami asumsi-asumsi filosofis tersebut sebelum memulai suatu penelitian kualitatif?. Huff (2009) sangat membantu dalam memaparkan pentingnya asumsi filosofis dalam riset atau penelitian.


  • Ia mempengaruhi bagaimana kita merumuskan permasalahan dan berbagai pertanyaan riset kita dalam studi dan bagaimana kita mencari informasi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Satu jenis pertanyaan sebab-dan-akibat di mana variabel-variabel tertentu diprediksi dapat menjelaskan suatu hasil (output) dalam penelitian kuantitatif sangatlah berbeda dengan eksplorasi suatu fenomena tunggal sebagaimana terdapat dalam penelitian kualitatif.
  • Asumsi-asumsi ini menancap kuat selama masa pendidikan kita dan diperkuat oleh komunitas ilmiah dimana kita bekerja. Benar, sebagaian komunitas lebih eklektik dan dipengaruhi oleh berbagai disiplin (misalnya, pendidikan), sementara itu yang lain lebih berfokus pada komponen riset, misalnya permasalahan tertentu yang hendak dipelajari, bagaimana mempelajari permasalahan ini, dan bagaimana menjadikannya sebagai pengetahuan melalui studi tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan tentang apakah asumsi utama dapat berubah dan/atau apakah beragam asumsi filosofis dapat digunakan dalam suatu studi tertentu. Keyakinan saya adalah asumsi dapat berubah seiring berjalannya waktu dan perjalanan karir, dan hal ini sering kali terjadi, khususnya setelah seorang mahasiswa meninggalkan bidang disiplin akademiknya dan mulai bekerja dengan cara yang lebih transdisipliner atau multidisipliner. Tentang bagaimana beragam asumsi dapat digunakan dalam suatu studi tertentu, hal tersebut masih menjadi perdebatan. Lagi-lagi, hal ini mungkin terkait dengan pengalaman riset dari sang peneliti, keterbukaannya untuk bereksplorasi dan menggunakan berbagai asumsi yang berbeda, dan penerimaannya terhadap ide-ide yang berlaku di komunitas ilmiah yang lebih besar dimana ia terlibat di dalamnya.
  • Tidak diragukan lagi bahwa para peninjau (reviewer) juga membuat asumsi filosofis tentang suatu studi ketika mereka mengevaluasinya. mengetahui bagaimana pendapat dan opini para peninjau terhadap persoalan-persoalan epistemologis akan sangat berguna bagi para peneliti dan juga penulis. Ketika asumsi-asumsi antara sang penulis dan sang peninjau (atau sang editor jurnal) berbeda, karya dari  sang penulis mungkin akan menerima penilaian yang tidak tepat, dan mungkin akan dianggap tidak memberikan kontribusi pada kepustakaan. Penilaian yang tidak tepat ini mungkin dialami oleh seorang mahasiswa tingkat sarjana yang melakukan presentasi di hadapan komite, atau seorang penulis yang mengirimkan karyanya ke jurnal ilmiah, atau seorang peneliti yang mengajukan proposal pada agen hibah/pendanaan. Di sisi lain, memahami berbagai perbedaan yang digunakan oleh seorang peninjau memungkinkan sang peneliti maupun penulis untuk mengatasi titik-titik perbedaan tersebut sebelum mereka menjadi sasaran kritik (Creswell, 2015, hlm. 23-25).


Kesimpulan yang dapat saya ambil dari penjelasan diatas yaitu menurut pendapat saya jika seseorang ingin melakukan penelitian kualitatif sangatlah disarankan bahkan diharuskan memahami dulu apa itu asumsi filosofis, karena jika asumsi filosofis ini sudah dipahami oleh seorang peneliti maka tahap-tahap maupun langkah yang harus dijalani dalam proses riset akan jelas dan dipermudah oleh hal itu. Telah dijelaskan di awal bahwa asumsi filosofis merupakan ide awal dari suatu riset meskipun seiring dengan perjalanan riset asumsi utama dari suatu fenomena tersebut dapat berubah akan tetapi asumsi filosofis dapat di ibaratkan sebagai kompas para peniliti yang sedang mendaki gunung ataupun mengarungi lautan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun