Mohon tunggu...
Ila Fadilasari
Ila Fadilasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung", "Dipasena, Kemitraan Konflik dan Perlawanan Petani Udang", " Dia Menanti di Surga".

jurnalis, tinggal di bandar lampung

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pada Sebuah Buku

28 Juni 2020   12:51 Diperbarui: 28 Juni 2020   12:42 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah dilakukan pemeriksaan yang memakan waktu sekitar 20 menit, perlahan para perawat tersenyum, dan mengatakan detak jantung bayiku muncul kembali. Suamiku menarik napas lega. Aku hanya bisa mengucap syukur, sambil meneruskan rasa sakit yang terus mendera.

Sampai pukul 5 sore, karena pembukaan belum juga lengkap, perawat melapor pada dokter. Sesaat kemudian, dokter datang dan melihat kondisiku. Anehnya, dokter malah bilang aku baru bukaan empat. Aku yang sudah kelelahan sejak pagi, minta disesar saja. "Tolong dok, saya nyerah. Sesar saja." Dokter senior itu tercenung mendengar permintaanku. Namun setelah dilihatnya kondisiku yang sudah begitu kelelahan, akhirnya beliau menyetujui.

Ternyata masalah belum selesai. Usai operasi sesar malam harinya, aku mendapat kabar, kalau kondisi bayi kami kritis. Terminum air ketuban yang sudah berwarna hijau. Dokter hanya meminta kami berdoa dan berdoa. Pada dinihari, saat mataku sedang berusaha lelap, seorang perawat jaga dari ruang anak memanggil suamiku. Kondisi bayi kami makin buruk, katanya. Suamiku diminta menandatangi pemasangan alat medis, seperti infus, oksigen, dan sebagainya. Si bayi harus dirawat secara intensif di ruang neonatal.

Ya Allah, lagi-lagi pikiranku bercampur aduk. Aku ingin menangis, tapi terus berusaha menguatkan hati, dan positif thinking kepada takdir. Sakit bekas operasi yang sudah lepas efek biusnya, makin terasa sakit bercampur dengan gundah tingkat dewa. Lagi-lagi aku teringat lagi pada buku Dia Menanti di Surga itu.

Ketika akan diterbitkan sebulan sebelum melahirkan, ayahku menentang keras. "Kamu hendak melahirkan, kok malah menerbitkan buku tentang anak meninggal," kata ayah.

Aku  tetap berkukuh untuk menerbitkan buku itu. Apalagi tulisan itu sudah lama dibuat. Masa tidak terbit-terbit juga. Apalagi ketika ayah melarang, itu naskahnya sudah masuk ke penerbit.

Perasaanku makin campur aduk. Bayangan buruk bermunculan. Suamiku pun tak kalah galaunya. Terduduk di pojok ruangan dengan mata berkaca-kaca, usai dari ruang perawatan anak tadi.  "Beristirahatlah, agar fisik dan jiwa kuat menghadapi semua kemungkinan," katanya singkat.

Alhamdulillah, doa kami terkabulkan. Si bayi kini sudah sehat. Dia adalah puteri ketiga kami. Sedangkan satu orang putera (hanya) hidup dalam bentuk buku. Dalam hatiku  bertanya-tanya, ada apa rahasia Tuhan sehingga tanggal dan bulan lahir anak ini sama dengan kakaknya terdahulu?

Gold House, 25 Juni 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun