Tanggal 25 April adalah moment tak terlupakan bagiku. 10 tahun lalu, aku melahirkan seorang anak lak-laki. Betapa bahagianya saat menyambut kelahirannya. Bagaimana tidak, anak laki-laki yang kami beri nama Alvin Rafa itu melengkapi kebahagiaan rumah tangga kami, yang sebelumnya sudah memiliki anak perempuan, Aliza.
Tapi sayangnya, usia Alvin tak panjang. Dia kembali kepada sang mahakuasa hanya 2 bulan 10 hari sejak kelahirannya, karena sakit batuk yang kemudian berubah menjadi pneumonia. Kisah berpulangnya Alvin yang sempat membuatku terpuruk, menginspirasiku untuk menulis buku, yang ditulis tak lama setelah kematiannya. Hanya saja buku itu baru diterbitkkan pada Maret 2020 lalu.
Tak dinyana, 25 April 2020 kemarin, aku kembali melahirkan di rumah sakit dan jam yang hampir sama, malam hari. Meski proses melahirkan yang ini adalah yang keempat kalinya, entah kenapa prosesnya begitu lambat. Sejak masuk rumah sakit pukul 9 pagi, hingga magrib anak yang kukandung belum juga lahir. Â Padahal jam 1 siang tadi, suster mengatakan aku sudah bukaan 8. Â Beberapa kali dicek hingga pukul 5 sore, masih juga pada bukaan yang sama.
Pada pukul 1 siang, sejumlah perawat yang bertugas di ruang bersalin itu sempat panik, karena aku mengeluarkan darah begitu banyak. Padahal proses melahirkan belum terjadi.
"Darah yang keluar banyak sekali. Kami cek dulu ya bu, dari mana darahnya berasal," kata  salah seorang perawat dengan menampakkan wajah cemas. Setelah dilakukan pengecekan, si perawat mengatakan tidak ada masalah yang berarti, karena darah  bukan berasal dari kandungan atau janin.
Dua jam kemudian, para perawat lagi-lagi menunjukkan wajah cemas. Beberapa diantaranya berisik-bisik. Seorang yang sepertinya paling senior mengatakan, detak jantung bayiku hilang. Kesimpulan itu mereka ketahui setelah dilakukan pengecekan rutin sepanjang proses kontraksi. Mereka lalu meminta izin dilakukan pengecekan detak jantung bayi kembali, Â menggunakan sebuah alat yang lebih canggih. Kulihat wajah suamiku juga menegang. Tak kurang lima orang perawat mengerubungiku.
Aku ikutan tegang. Tak terbayang, bila aku harus kehilangan anak yang sudah kukandung selama 9 bulan ini. Bila itu terjadi, berarti dua buah hati kami, yang akan menjadi penolong kedua orangtuanya di akherat kelak. Supaya ikutan masuk surga. Tapi kenapa harus dua orang, gumamku dalam hati. Aku kan hanya butuh satu surga, tak perlu dua.
Bila yang dimaksud dalam hadist nabi tidak mempemasalahkan berapa jumlah anak yang meninggal untuk menolong orang tuanya ke surga, kenapa pula harus ada dua orang untuk mendapatkan surga tersebut. Satu saja si Alvin kan sudah cukup, pikirku liar, mencoba menepis kepanikan yang perlahan mendera.
Tadi, ketika perawat mengatakan aku mengalami pendarahan yang sangat banyak, tak ada kecemasan yang berarti. "Sudahlah, kalau mau mati, mati saja tidak apa. Mungkin ajal harus kutemui di sini. Aku juga sudah tak tahan merasakan sakit kontraksi yang semakin rapat namun tak juga lahir-lahir ini," kataku.
Tapi ketika masalahnya sudah akan kehilangan (nyawa) anak, aku panik (begini ya, pikiran seorang ibu saat akan melahirkan, nyawa anak lebih berharga daripada nyawanya sendiri).
Lalu muncul rasa sesal karena telah menerbitkan buku yang berjudul "Dia Menanti di Surga" tersebut. Buku itu selain memuat hal ikhwal kematian Alvin, mengungkap penyakit pneumonia yang merupakan penyakit pembunuh nomor satu di dunia, juga berisi tips mengatasi kesedihan  bagi para orang tua saat buah hatinya berpulang. Buku itu juga memuat kisah orang-orang yang kukenal yang kehilangan buah hati dan cara mereka bangkit dari trauma.  Â