Mohon tunggu...
Ila Fadilasari
Ila Fadilasari Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung", "Dipasena, Kemitraan Konflik dan Perlawanan Petani Udang", " Dia Menanti di Surga".

jurnalis, tinggal di bandar lampung

Selanjutnya

Tutup

Money

Regulasi Pemerintah Daerah untuk Kemitraan

22 Juli 2013   12:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:12 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Konflik kemitraan kini tengah melanda ribuan plasma di PT Central Pertiwi Bahari (CPB). Petambak plasma mengklaim sudah ditelantarkan manajemen perusahaan sejak empat bulan lalu. Ribuan petambak kesulitan berbudi daya udang, yang sudah menjadi kerja sehari-hari selama bertahun-tahun. Sekitar 1.000 petambak sudah mengajukan pengunduran diri akibat imbas konflik inti plasma.

Konflik yang akar persoalannya merupakan masalah kemitraan belakangan diwarnai konflik antarplasma. Sejak Januari, setidaknya terjadi dua kali keributan di lokasi tambak yang berada di Kabupaten Tulangbawang tersebut. Kisruh kemitraan ini sudah sampai ke Ibu Kota negara, baik ke DPR RI maupun Komnas HAM.

Konflik kemitraan di CPB mengingatkan kita pada kisruh berkepanjangan yang tengah terjadi di pertambakan udang serupa, Dipasena, di Rawajitu Timur. Konflik yang mulai mencuat sejak 1998 itu telah menghempaskan Dipasena, yang pernah menyumbang devisa terbesar di dunia dari sektor nonmigas. Dikhawatirkan, konflik di PT CPB akan seperti Dipasena, tercerai dari investor dan petambak berbudi daya mandiri dengan hasil seadanya.

Kisruh memang selalu menghantui pola ekonomi kemitraan. Di sektor perkebunan, seperti karet dan sawit, konflik inti-plasma pun kerap terjadi. Padahal, pola kemitraan idealnya banyak menghasilkan keuntungan. Dari segi perusahaan yang bertindak sebagai inti, keuntungan di antaranya mendapatkan tenaga kerja tetap yang dapat dididik dan dilatih, plasma menjual hasil panen pada inti, pengembangan unit usaha, serta kemudahan memperoleh pinjaman bank.

Sementara dari sisi plasma, memperoleh keuntungan dengan terbukanya lapangan kerja yang luas, adanya pihak yang membiayai, mampu mengaplikasikan teknologi, dan kepastian hasil produksi.

Tujuan kemitraan adalah mempercepat perwujudan perekonomian nasional yang mandiri dan andal sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan. Untuk itu, diperlukan upaya-upaya yang lebih nyata untuk menciptakan iklim yang mampu merangsang terselenggaranya kemitraan usaha yang kokoh di antara semua pelaku kehidupan ekonomi berdasarkan prinsip saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan.

Dalam Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan, disebutkan para pihak yang melaksanakan kemitraan mempunyai hak untuk membuat perjanjian kemitraan dan membatalkan perjanjian bila salah satu mengingkari. Pelaku kemitraan pun berkewajiban untuk mencegah gagalnya kemitraan dan meningkatkan efisiensi usaha.

Lantas, mengapa konsep yang demikian baik harus berubah menjadi konflik, yang berujung dengan bubarnya hubungan kemitraan? Hal itu disebabkan terlalu dominannya inti dalam kemitraan. Dengan kemampuan teknologi dan klaim pendanaan, inti melakukan monopoli terhadap plasma, mulai dari monopoli harga kebutuhan budi daya, monopoli penentuan kualitas hasil panen, mark-up anggaran, proyek fiktif, dan manajemen yang tertutup. Hal yang paling fatal adalah kredit macet, yang selalu dituduhkan sebagai kemacetan dari plasma.

Akibatnya, plasma selalu merasa dirugikan dari sisi finansial. Dalam kasus Dipasena pada masa kepemilikan Sjamsul Nursalim, misalnya, setelah bertahun-tahun bekerja, utang petambak bukannya lunas, justru diklaim perusahaan semakin meningkat. Pola perhitungan utang dan hasil panen hanya diketahui oleh perusahaan, tanpa adanya transparansi.

Untuk mengatasi konflik yang terjadi dalam pola kemitraan, salah satunya adalah memperkuat fungsi pemerintah daerah. Undang-undang maupun peraturan pemerintah belum secara lengkap mengatur hubungan kemitraan. Karena itu, pemerintah daerah harus punya aturan main sendiri, berupa regulasi yang mengatur tentang kemitraan.

Setiap perusahaan yang ingin menjalin kemitraan dengan masyarakat setempat harus mampu menaati aturan tersebut. Pemerintah daerah harus dapat memastikan masyarakatnya akan aman dalam menjalin kemitraan, bukan semata-mata sudah merasa puas dengan datangnya si investor. Apalagi, perusahaan yang menjalin kemitraan dengan masyarakat sangat banyak jumlahnya bukan hanya di sektor perikanan.

Regulasi pemerintah daerah harus mengatur dan mengikat kedua pihak. Misalnya, bila inti tidak memiliki kemampuan dari segi modal dan tak mampu memenuhi skedul perjanjian kerja sama, harus ada solusi, apakah harus keluar dari sistem kemitraan atau harus bersinergi dengan pihak lain. Atau bisa dibentuk perjanjian baru, dengan catatan tidak merugikan kedua pihak. Dengan demikian, bila inti kesulitan pendanaan, kemitraan pun tidak terkatung-katung. Regulasi yang ada dapat menjadi acuan penyusunan PKS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun