"Fikri, bagaimana puasamu hari ini?" tanya Ustaz Salim dengan senyuman ramah.
"Alhamdulillah, Ustaz. Saya selalu berusaha menjaga ibadah saya, membaca Al-Qur'an, dan tidak melewatkan shalat."
Ustaz Salim mengangguk. "Itu bagus. Tapi, bagaimana hubunganmu dengan sesama?"
Fikri tampak bingung. "Hubungan saya dengan tetangga baik, Ustaz. Saya selalu mengingatkan mereka untuk berbuat baik."
Senyum Ustaz Salim sedikit memudar. Ia menatap Fikri dalam-dalam. "Mengingatkan itu baik, tetapi caranya juga penting. Apa kamu sudah mendengar hadist ini: 'Betapa banyak orang yang berpuasa, namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar dan haus.'?"
Fikri mengangguk ragu. "Ya, Ustaz. Tapi saya kira itu untuk orang yang melanggar syariat."
Ustaz Salim melanjutkan, "Bukan hanya tentang syariat, tetapi juga perilaku. Orang yang berpuasa seharusnya menjaga lisannya, menahan amarahnya, dan memperlakukan orang lain dengan kelembutan. Puasa bukan hanya soal menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari perbuatan yang menyakiti hati orang lain."
Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi Fikri. Ia teringat kembali bagaimana ia berbicara kepada Bu Lela dan tetangga lainnya. Apakah caranya selama ini sudah mencerminkan kebaikan?
Pelajaran dari Jalanan Desa
Keesokan harinya, Fikri memutuskan untuk berjalan-jalan di desa. Ia ingin melihat kembali bagaimana perilaku orang-orang yang selama ini ia anggap kurang menghargai Ramadan.
Di sebuah gang kecil, ia melihat anak-anak muda yang sedang tertawa sambil bermain. Kali ini, ia menahan diri untuk tidak menegur mereka. Ia hanya mengamati dari kejauhan. Tiba-tiba, seorang anak kecil terjatuh saat bermain bola. Seorang pemuda dengan sigap menolongnya.