Apa yang terlintas di fikiran kita saat kita mendengar seseorang mengucapkan kalimat di atas? Setiap orang mungkin memiliki persepsi yang berbeda saat mendengar kalimat di atas diucapkan.Â
Ada yang berpendapat, wah pasti anak orang kaya atau wah pasti anak pintar. Pendapat tersebut tidak 100% salah, karena bisa jadi mereka sekolah di luar negeri karena orang tuanya mampu membiayai atau karena mereka mendapatkan beasiswa atas prestasi yang dicapainya.Â
Tetapi ada kenyataan lain di luar dua kemungkinan di atas, yaitu anak-anak yang "terpaksa" harus ikut orang tuanya bekerja atau bertugas, misalkan anak-anak para pekerja Indonesia di luar negeri, anak-anak diplomat atau anak-anak mahasiswa parca sarjana yang rata-rata sudah berkeluarga.
Sekolah di luar negeri sendiri ada 3 jenis, yaitu sekolah lokal, sekolah internasional dan Sekolah Indonesia Luar Negeri (SILN). Untuk anak-anak yang tinggal di negara yang tidak terdapat SILN atau jauh dari ibu kota negara yang bersangkutan, biasanya bersekolah di sekolah lokal. Untuk anak-anak yang tinggal di ibu kota negara tetapi tidak ada SILN, mereka punya 2 pilihan, yaitu sekolah lokal atau sekolah internasional.Â
Sedangkan anak-anak yang tinggal di ibu kota negara yang kebetulan terdapat SILN, biasanya mereka bersekolah di SILN. Perbedaan utama dari ketiga jenis sekolah tersebut terletak pada kurikulum yang digunakan. Untuk sekolah lokal menggunakan kurikulum negara setempat, sekolah internasional menggunakan kurikulum yang diakui secara internasional, misal Cambridge, sedangkan SILN menggunakan kurikulum yang berlaku di Indonesia.Â
Akibat dari perbedaan penggunaan kurikulum adalah adanya perbedaan mata pelajaran yang dipelajari para siswa, misalnya mata pelajaran Bahasa Indonesia, PKn, Pendidikan Agama dll. Biasanya ada kesamaan untuk mata pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa Inggris, walaupun dari sisi isi ada sedikit perbedaan, terkait dengan urutan dan kedalaman materi.
Sedangkan perbedaan penerimaan siswa baru berkaitan dengan masa tugas para orang tua siswa, di mana seorang diplomat biasanya bertugas selama 3 tahun di satu negara dan kedatangan serta kepulangan mereka tidak selalu pada saat bergantian tahun pelajaran atau pergantian semester.
Selain masalah kurikulum, ada juga masalah administrasi misalnya masalah NISN dan data dapodik. Ada juga masalah perpindahan siswa yang mendekati waktu ujian nasional, misalnya siswa kelas VI, IX atau XII yang orang tuanya selesai tugas bulan Februari atau Maret. Perlu diketahui bahwa pendaftaran siswa untuk mengikuti ujian nasional dilakukan pada bulan Desember.
Dampak dari wewenang ini adalah tidak setiap siswa yang pindah dari SILN langsung bisa diterima di sekolah yang dituju, walaupun sekolah tersebut dekat dengan domisili siswa, hal ini dikarenakan setiap daerah menerapkan aturan yang berbeda, misalnya ada sekolah yang tidak menerima pindahan di pertengahan semester atau tahun pelajaran karena terkait dengan pembiayaan sekolah yang berasal dari APBD (sekolah gratis).
Sementara, di sisi siswa sendiri juga tidak lepas dari masalah, terutama menyangkut masalah adaptasi dengan lingkungan yang baru. Untuk sekolah lokal dan internasional sangat jelas ada di masalah bahasa, terutama untuk yang tinggal di negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi, di Russia misalnya.Â
Selain bahasa juga budaya, termasuk cara bergaul dengan teman dan guru. Selain itu, untuk siswa yang belajar di SILN ada "tuntutan" lain, yaitu membantu KBRI dalam hal diplomasi budaya.
Demikian juga jika ada undangan dari kedutaan negara lain atau dari negara bersangkutan, biasanya siswa SILN diminta untuk tampil. Di sini peranan guru dalam mengemas materi pelajaran sangat vital, sehingga siswa tetap dapat menyerap materi pelajaran sesuai tuntutan kurikulum dan di sisi lain juga bisa berpartisipasi untuk membantu KBRI.
Namun demikian sekolah di luar negeri, lepas dari apa jenis sekolahnya, tentu memiliki nilai tambah tersendiri. Paling tidak dari sisi fasilitas biasanya lebih baik dari pada fasilitas yang dimiliki oleh rata-rata sekolah di Indonesia, terutama sekolah-sekolah yang terletak di pinggiran.
Dari uraian di atas, terlihat bahwa bersekolah di luar negeri tidaklah sesederhana yang terlihat, tetapi juga membawa beban yang cukup berat. Seorang siswa harus mampu menyerap materi sesuai tuntutan kurikulum. Di sisi lain, seorang siswa juga harus mampu membawa nama Indonesia di luar negeri.
Demikian catatan singkat tentang suka duka bersekolah di luar negeri, semoga dapat menambah wawasan dan pengetahuan masyarakat tentang sekolah di luar negeri.
*) Guru Sekolah Indonesia Moskow
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H