Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Empat Hal yang Membuat Penumpang Bus Enggan Membeli Barang Jualan Pedagang Asongan

30 Juli 2024   08:00 Diperbarui: 30 Juli 2024   12:00 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang pedagang asongan yang berjualan kacang. - Dokpri

Pasalnya, sebagian besar penumpang sudah memiliki headset atau TWS sendiri. Dengan harga 10 ribu rupiah, tentu penumpang enggan untuk membeli karena kualitas suara yang dihasilkan akan jauh berbeda dengan headset atau TWS milik mereka. Alhasil, pedagang headset ini seringkali gigit jari karena tak satu pun barang dagangannya terjual.

Terakhir, barang dagangan dijual pada waktu yang kurang tepat

Di suatu pagi saat naik dari Terminal Purabaya, saya ditawari cilok kuah oleh seorang pedagang asongan. Saya melirik jam di tangan masih pukul 6 pagi. Sebenarnya, saat itu saya lapar karena belum sarapan. Namun, saya berpikir bahwa kalau saya belum makan nasi dan makan cilok, maka perut saya akan sakit. Meski demikian, saya tetap membeli cilok seharga 5.000 rupiah tersebut untuk saya makan jika sudah sampai di Malang dan sarapan.

Dari pengalaman ini, saya merasa beberapa pedagang asongan menjual barang dagangan mereka pada waktu yang tidak tepat. Andai saja mereka menjual nasi bungkus saat pagi, tentu akan banyak penumpang yang membeli. Sambil menunggu bus berjalan, rasanya mereka akan bisa sarapan nasi bungkus di dalam bus. Lagi-lagi, saya tak menemukan pedagang nasi bungkus yang berjualan.

Pada hari yang berbeda, saya mendapati seorang pedagang cilok yang menjual dagangannya sore hari saat jam pulang kerja. Barang dagangannya pun laris manis karena banyak penumpang yang ingin mengisi perutnya sementara sepulang kerja. Itulah mengapa waktu jualan sangat menentukan keberhasilan seorang pedagang asongan dalam menjajakan jualannya.

Dari beberapa alasan tadi, sebenarnya sudah saatnya kini para pedagang asongan lebih jeli lagi dalam berjualan. Sayang rasanya usaha mereka yang berpeluh keringat harus sia-sia padahal ada peluang besar yang bisa mereka dapatkan. Inilah pentingnya peran pemerintah atau NGO dalam meningkatkan taraf hidup mereka.

Semisal, memberikan pelatihan bagi mereka agar lebih mengetahui potensi pasar di dalam bus. Berbeda dengan calo yang meresahkan, keberadaan mereka sebenarnya masih dibutuhkan dengan penataan yang lebih baik.

Di media sosial TikTok, saya sering melihat konten-konten mengenai upaya menaikkan UMKM agar bisa naik kelas. Mulai dari menata gerobak dagangan mereka, memberikan seragam, dan pelatihan. Sayang, konten dan upaya semacam ini belum menyentuh para pedagang asongan. Padahal, jika ada upaya besar semacam ini, maka missing link antara pedagang asongan dengan penumpang akan bisa terkoneksi dengan baik. Pedagang asongan bisa meraup untung sementara penumpang bisa tercukupi kebutuhannya terutama selama perjalanan.

Lalu, menurut Anda, solusi apa yang pas bagi pedagang asongan ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun