Judulnya bikin anu ya.
Sebelum memaknai judul tersebut, izinkan saya bercerita mengenai Kompasiana Award dan Kompasianiaval. Jadi, beberapa hari yang lalu saya dikirimi pesan oleh Mas Yose Revela, teman Kompasiana yang tinggal di Jogja.
Saya memang agak lambat dalam merespon pesan termasuk pesan tersebut yang baru saya baca keesokan harinya. Di dalam pesan itu, ia meminta izin untuk melakukan vote terhadap saya. Saat itu saya memang sedang berada di jalan menuju ke kontrakan di Surabaya. Masih belum ngeh akibat selesai rutinitas kerja, maka saya kaget apa maksudnya.
Ternyata, untuk kesekian kalinya saya dinominasikan sebagai peraih Kompasiana Award dengan kategori yang masih sama dengan tahun sebelumnya yakni Best in Citizen Journalism. Saya baru ngeh juga setelah membaca pengumuman Kompasiana dan memang foto saya ada di sana.
Fiuhh..
Saya menarik napas. Ini siapa lagi yang mencalonkan saya. Perasaan sepanjang 2023 saya jarang sekali menulis. Saya hitung hanya sekitar 18-19 artikel yang saya tulis. Pokoknya tidak sampai 20 buah. Itu pun beberapa artikel merupakan artikel Narativ yang memang harus saya tulis sesuai kesepakatan saya dengan pihak Kompasiana. Saya juga jarang sekali berinteraksi dengan Kompasianer lain.
Makanya, saya heran dan bingung kenapa saya masuk kembali dalam nominasi. Tahun 2022 kemarin saya juga masuk nominasi dengan jumlah artikel dan interaksi yang minim. Inilah yang menjadi pertanyaan sekaligus ganjalan bagi saya.
Bukan saya mengecilkan apa yang sudah diberikan oleh pihak Kompasiana. Saya masih mengapresiasi pemberian tersebut. Namun, bagi saya ini kok rasanya kurang adil.
Saya yakin, ada banyak Kompasianer yang jauh lebih aktif, baik dalam menulis artikel dan berinteraksi. Ada juga yang tentu berharap bisa masuk nominasi yang cukup prestisius ini. Dengan capaian ini, maka akan ada kebanggaan yang didapatkan dan akhirnya memacu mereka untuk lebih aktif dan lebih baik lagi dalam menulis. Menurut saya, pemberian nominasi tersebut seharusnya lebih layak diberikan kepada mereka. Terlebih, mereka yang aktif di dalam komunitas Kompasiana.
Kembali ke masalah judul aritikel ini, sesungguhnya kini saya menghindari spotlight terhadap diri saya sendiri. Alasannya, saya tidak ingin terjangkiti star syndrome yang kini tengah melanda berbagai macam konten kreator.
Salah satu contohnya adalah kasus makanan viral yang beberapa waktu lalu terjadi. Mungkin pembaca sudah banyak yang tahu bahwa sang konten kreator merasa sudah 'sepuh' dan pro sehingga mengecilkan dan meremehkan orang lain. Bisa jadi, apa yang dilakukannya karena ia terus mendapat spotlight dari orang lain tanpa menyadari bahwa bisa jadi ia tengah terkena star syndrome.
Bisa jadi karena saya tidak tahu secara pasti dan tidak bisa memastikan. Saya juga bukan psikolog yang bisa memberi diagnosis. Namun, dari beberapa perlaku dan apa yang ia unggah, nyata sekali bahwa ia merasa derajatnya lebih tinggi dibandingkan dengan orang lain. Ia merasa pendapatnya selalu benar sehingga sulit menerima kebenaran.
Inilah alasan saya kini menghindari spotlight kepada diri sendiri. Dengan usia yang semakin bertambah, rasanya saya ingin hidup biasa-biasa saja. Dengan begitu, rasanya tidak ada beban yang harus saya bawa ketika membuat konten atau beraktivitas lainnya.
Saya hanya ingin membuat konten secara fun. Mau nulis ya nulis saja mau rehat nulis dulu ya rehat sambil mencari ide tulisan selanjutnya. Dengan begini, rasanya saya bisa menikmati setiap proses menulis yang saya kerjakan.
Dalam kaitannya dengan citizen journalism, memang harus saya akui kini saya lebih banyak aktif di media sosial You Tube dan TikTok. Berawal dari iseng naik angkutan umum di Surabaya setiap hari, saya malah keasyikan membuat konten di sana. Kalau pun konten-konten saya bisa meledak dan FYP, maka itu sudah saya anggap sudah jalannya saja. Sudah rezekinya di situ dan mungkin dengan begitu saya bisa lebih konsisten membuat konten.
Dalam dua media sosial tersebut, saya lebih bisa mengeksplorasi apa yang ada di benak saya, terutama mengenai masalah transportasi. Diskusi dengan masyarakat luas bisa lebih saya lakukan. Masukan dan saran kepada pihak terkait terutama pemerintah daerah juga bisa lebih saya sampaikan.
Saya juga bisa sedikit membantu masyarakat yang masih belum mengerti mengenai jalur dan rute transportasi umum. Apalagi, mereka yang berasal dari luar kota dan membutuhkan bantuan untuk kepentingan mendesak seperti untuk kontrol berobat ke rumah sakit. Saya tidak bisa membayangkan dengan dana terbatas, mereka harus merogoh kocek yang besar untuk kesembuhan mereka atau keluarga mereka. Makanya, dengan sedikit keluangan waktu, saya membuat konten untuk angkutan umum ke berbagai tempat terutama ke rumah sakit. Itu saja sebenarnya alasannya.
Makanya, saya sekarang jarang menulis di Kompasiana. Bukannya saya mengecilkan Kompasiana. Saya masih menganggap Kompasiana rumah saya. Bagaimanapun, saya bisa seperti sekarang berkat Kompasiana. Kalau tidak bergabung dengan Kompasiana sejak 2013, tentu saya tidak akan berani menyuarakan apa yang seharusnya saya suarakan.
Berkat Kompasiana, kebusukan seorang oknum Kepala Sekolah di tempat saya mengajar dulu juga bisa terbongkar. Saya tidak akan lupa hal tersebut dan masih merasa Kompasiana adalah platform yang tepat untuk menyuarakan banyak hal.
Untuk itu, dengan tulisan ini, saya memohon untuk tidak lagi dicalonkan sebagai nominee Kompasiana Award. Semoga nantinya pihak Kompasiana bisa lebih arif lagi dalam menyeleksi siapa yang masuk nominasi. Semoga pendapat saya diterima ya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H