Bahkan, kegiatan karnaval yang dulunya hanya berlangsung paling lama dari pagi sampai sore kini sering menjadi 24 jam nonstop. Alasannya, banyak kegiatan ini menampilkan battle sound beberapa pemilik sound dengan rentang waktu tertentu. Alhasil, ada beberapa karnaval yang berlangsung sampai malam, bahkan dini hari dan subuh, waktunya orang untuk beristirahat dengan tenang dan nyaman.
Nah, ketika ada warga yang protes, tak jarang mereka yang menggemari check sound menyerang balik. Mereka mengatakan itu adalah kegiatan yang disukai warga, kegiatan yang menjadi hiburan warga, kegiatan yang hanya dilakukan setahun sekali di lingkungan tersebut. Jika merasa keberatan, lebih baik mereka yang protes pindah saja atau mengungsi dulu ke tempat lain. Pokoknya loss doll.
Tak jarang, adu argumen terjadi di FP lokal atau komunitas lokal dan sejenisnya jika ada yang protes semacam ini, apalagi jika kegiatan check sound dilakukan hingga malam hari. Rasanya adu argumen tiada habisnya. Namun, cukup unik, mereka yang protes karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh penggemar check sound malah mendapat cacian. Padahal, jika ditelisik lebih dalam, siapa yang salah dan seenaknya sendiri?
Rusaknya rumah dan fasilitas umum lain seakan menjadi sesuatu yang lumrah dan bisa ditoleransi akibat kegiatan check sound dan battle sound horeg ini. Jika ada yang komplain kembali, bala-bala checks sound (saya sering menyebut mereka yang memuja check sound) juga akan menyerang balik dengan alasan akan diganti oleh pemilik check sound.
Saat viral, sebuah jembatan di wilayah Malang harus dirusak karena sound system yang lewat tidak cukup, justru Kades di sana mengizinkan pembongkaran tersebut. Fenomena ini semakin mengukuhkan bahwa kepentingan umum berada di bawah kepentingan pribadi atau golongan. Nah, jika sudah begini, di manakah esensi kemerdekaan yang dirayakan dengan cara check sound atau battle sound?
Entah bagaimana ceritanya, ketenangan warga masyarakat bisa diusik dan seakan dinormalisasi dengan adanya check sound ini. Yang jelas, setelah pelarangan kegiatan ini, cukup menarik untuk disimak apakah nantinya polisi benar-benar menindak siapa saja yang masih melakukan kegiatan ini. Apakah pelarangan ini hanya gertak sambal untuk meredam kemarahan masyarakat yang terganggu oleh kegiatan tersebut.
Sebenarnya, sound system untuk berbagai kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat tidak masalah untuk dilakukan. Namun, pembatasan mengenai ambang batas suara yang dikeluarkan juga perlu dilakukan. Waktu kegiatan juga perlu diatur agar tidak sampai 24 jam nonstop. Sesungguhnya jika aturan ini dilakukan sejak awal, kegiatan tersebut akan menjadi sesuatu yang menyenangkan.
Terbukti, beberapa karnaval di kampung saya juga menggunakan sound system dengan ambang suara yang wajar. Lagu yang diputar juga masih enak seperti lagu daerah dan lagu perjuangan walau tetap saja masih ada lagu DJ ajep ajep. Yang penting, suara dari sound masih enak untuk didengar dan nyaman.
Semoga saja tahun ini menjadi tahun terkahir kegiatan yang mengerikan ini. Kita tak mau ada korban berjatuhan seperti mereka yang memiliki riwayat jantung lemah harus mau tak mau mendengar suara menggelegar yang ditimbulkan. Mohon untuk Polri dan pemerintah mengeluarkan aturan tegas terkait kegiatan ini agar bisa ditertibkan di seluruh wilayah Indonesia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI