Apa yang Anda pikirkan ketika baru saja tiba di sebuah stasiun terutama di luar kota?
Tentu, membuka aplikasi ojek online adalah kegiatan utama. Opsi ini seakan menjadi opsi wajib yang selalu ada dalam otak kita sebagai penumpang kereta api jika tidak ada orang yang menjemput kita. Bahkan, ketika kereta api belum berhenti sempurna di stasiun, kita sudah melakukan pemesanan perjalanan ke sebuah tujuan.
Alasannya, untuk menghemat waktu sehingga ketika kita sudah turun, maka kita tidak perlu menunggu lama lagi. Kita tinggal jalan kaki sebentar lalu driver yang telah kita pesan sudah siap dengan kendaraannya, baik mobil atau pun motor.
Aplikasi ojek online seakan menjadi candu bagi kita yang gemar melakukan perjalanan kereta api. Tak peduli ke mana pun tujuan kita, ojek online akan menjadi opsi yang seakan tidak bisa lepas dari kehidupan penglaju kereta. Saya sendiri pun mengakui sangat bergantung pada aplikasi ini terutama ketika baru turun dari kereta api dan ingin segera check-in di penginapan. Menyelonjorkan kaki, mandi, atau sekedar leyeh-leyeh.
Meski ojek online begitu memanjakan, tetapi ada kalanya saya berpikir jika pengeluaran saya untuk kegiatan ini amatlah besar. Paling tidak, saya harus mengeluarkan ongkos 15 ribu rupiah sekali perjalanan. Jika saya sebulan lebih dari 3 kali PP dari ke stasiun, maka ongkos yang saya bayar sudah hampir 100 ribu rupiah. Jika penginapan saya jauh dari stasiun, tentu ongkosnya lebih mahal lagi bisa mencapai 30 ribu rupiah sekali jalan. Padahal, saya menggunakan ojek motor.
Harga ojek online memang naik cukup drastis beberapa waktu belakangan. Selain pihak aplikator sudah tak membakar uang lagi alias tidak memberikan promo lagi, permintaan terhadap jasa layanan ini semakin meningkat. Terlebih jika perjalanan dilakukan saat jam sibuk semisal saat jam kerja, hujan deras, atau waktu tertentu.
Maka dari itu, opsi angkutan umum menjadi opsi yang bisa diambil. Dengan naik angkutan umum, biaya transportasi bisa ditekan seminimal mungkin. Kita bisa menuju tempat yang jauh bahkan hanya sekali bayar tak sampai 5 ribu rupiah.
Sayangnya, tidak semua kota di Indonesia memiliki akses transportasi umum yang memadai. Semarang dan Solo adalah dua kota yang menurut saya cukup mudah aksesnya terhadap transportasi umum.
Penumpang akan mudah menemukan Halte Trans Semarang dan Trans Jateng di Stasiun Semarang Tawang dan Semarang Poncol. Penumpang juga mudah menemukan halte BST di Stasiun Purwosari, Solo Balapan, dan Solo Jebres. Bahkan, di Stasiun Solo Balapan, Halte BST terletak tepat persis di depan dari bangunan stasiun.
Untuk di Kota Yogyakarta, tiga stasiun di kota tersebut juga cukup dekat dengan Halte Trans Jogja. Halte Trans Jogja di Stasiun Lempuyangan berada tepat di depan pintu keluar stasiun. Untuk Stasiun Tugu, penumpang bisa jalan sebentar ke Halte Malioboro 1 atau Halte Jlagran. Untuk di Stasiun Maguwo, penumpang bisa jalan sebentar keluar staisun menuju Halte Bandara Adi Sucipto.
Di Stasiun Purwokerto, semenjak pintu barat dibuka, kini penumpang bisa naik Trans Jateng dan Trans Banyumas dari Halte Pasar Pon. Jarak jalan kakinya pun tidak jauh hanya 200 meteran. Di pintu barat ini juga sangat sepi sehingga jarang sekali ada ojek pangkalan yang menjajakan jasanya.
Masalah muncul ketika saya berada di Surabaya. Jarak Halte Suroboyo Bus dan Trans Semanggi cukup berjauhan. Saya harus berjalan kaki sampai 500 meter lebih untuk menuju halte bus. Dari Stasiun Surabaya Gubeng Lama, halte terdekat adalah Halte Grand City menuju ke arah ITS. Jika ma uke arah barat, maka bisa menuju Halte Monkasel untuk naik feeder wira-wiri.
Jarak paling jauh harus saya tempuh ketika ingin naik Suroboyo Bus dari Stasiun Pasar Turi. Saya harus berjalan kaki sekitar 1 km agar bisa mencapai stasiun. Saking jauhnya, kadang saya berhenti sebentar untuk minum atau makan roti sembari menyelonjorkan kaki. Tak hanya untuk naik Suroboyo Bus, untuk naik ojek online dari Stasiun Surabaya Pasar Turi juga cuku jauh. Penumpang harus berjalan menuju SPBU Jalan Semarang yang menjadi titik aman penjemputan ojek online.
Alhasil, saya biasanya harus berkeringat lebih untuk bisa keluar dari Stasiun Surabaya Pasar Turi. Kaki rasanya mau copot saking jauhnya jarak antara stasiun dan halte. Beberapa kali saya harus mengalah dengan pengguna jalan lain seperti pemilik mobil ketika berjalan kaki. Tidak ada trotoar yang bisa digunakan untuk berjalan.
Halte paling dekat adalah Halte Feeder Wira-wiri di Stasiun Wonokromo. Haltenya berada tepat di titik aman penjemputan ojek online. Berada di seberang DTC, halte ini hanya berupa palang bus stop, tidak ada tempat duduk atau bangunan  halte yang layak. Penumpang harus berdiri di separator jalan tepat di bawah JPO. Walau hanya ala kadarnya, tetapi ini lebih baik karena jaraknya relatif dekat. Penumpang hanya perlu memantau posisi armada feeder terdekat dan bersiap untuk naik.
Memang harus diakui, halet dekat stasiun adalah sebuah kemewahan. Kalau pun ada, tak banyak penumpang mau menggunakannya. Alasannya mungkin karena mereka terburu waktu atau membawa barang dengan jumlah banyak.
Pihak PT KAI juga terbukti lebih mendukung penggunaan ojek online di stasiun dibandingkan kendaraan umum. Terbukti, aneka macam baliho mengenai ojek online sangat masif terpasang di pintu masuk dan keluar stasiun. Kontras dengan papan petunjuk transportasi umum yang sangat kecil, tidak jelas dan kurang update.
Bahkan, kini banyak sales ojek online yang berada tepat di pintu keluar stasiun. Mereka akan memberikan layanan prima agar penumpang bisa segera naik ojek online. Khusus untuk ojek mobil, titik penjemputan kini bahkan sudah tepat di pintu keluar stasiun.
Berbagai kemudahan tersebut memang sangat menarik tetapi perlu diingat, tidak semua penumpang mampu untuk membayar biaya ojek online. Masih banyak penumpang yang berharap bisa naik kendaraan umum menuju tempat yang mereka inginkan.
Pihak PT KAI juga belum memberikan informasi yang jelas mengenai angkutan umum lanjutan. Ketika ada layanan malam Pelabuhan di Stasiun Semarang Tawang, tak banyak penumpang yang tahu. Kala saya mencobanya, saya menjadi penumpang satu-satunya. Banyak penumpang yang memilih untuk naik ojek online padahal jalan kakinya juga cukup jauh menuju titik penjemputan.
Jika ditelisik lebih dalam, angkutan umum yang memadai adalah hak dasar bagi seluruh warga, terutama bagi penumpang kereta api. Jika hak ini tidak dilaksanakan dengan baik, apakah memang warga harus merogoh kocek yang dalam untuk bisa menggunakan layanan milik swasta? Belum lagi potensi kemacetan yang menghadang, tentu masalah integrasi transportasi ini memang seharusnya menjadi sebuah masalah serius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H