Di tengah kesibukan saya menyambut tamu agung -- rekan dari Filipina yang datang ke rumah saya -- dan mempersiapkan soal ujian bagi siswa bimbel saya yang akan menghadapi Penilaian Akhir Semester (PAS), sebuah pesan WA berisikan selamat masuk di ponsel saya.
Saya kaget tiba-tiba seseorang mengucapkan selamat. Dalam rangka apa? Saya dapat hadiah apa? Apa saya ulang tahun? Apa saya keterima jadi PNS?
Masih dalam setengah sadar karena baru bangun tidur siang, dengan sekilas ada kata-kata Kompasiana Award. Otak saya masih belum bekerja maksimal dan mengira sang pengirim salah mengirimkan pesan. Ia memberi selamat saya bahwa saya masuk nominasi Kompasiana Award untuk kategori Best in Citizen Journalism.
Sebentar. Itu kan tahun 2019? Saat Frederika Alexis Cull mengikuti ajang Miss Universe di Atlanta?
Saya pun membalas bahwa nominasi tersebut sudah usang. Sekarang sudah 2022 dan saya sudah jarang sekali menulis di Kompasiana. Paling-paling ya sebulan sekali.
Sang pengirim pesan pun meminta saya mengecek laman Kompasiana dan benar saja, foto saya terpampang nyata tanpa fatamorgana pada laman pertama layaknya peserta Miss Universe. Lha kok bisa??
Saya pun membaca sekilas nama-nama siapa saja nomine-nya. Ada yang saya kenal dan ada yang maaf tidak begitu saya kenal. Hingga detik ini, saya masih belum paham mengapa nama saya kembali lagi masuk jajaran nominasi.
Meski demikian, saya mengucapkan terima kasih kepada pihak Kompasiana atau siapa pun yang menominasikan saya lagi untuk kedua kali. Walau jujur, sebenarnya saya kurang pas dengan masuknya saya sebagai nominasi karena memang saya jarang sekali menulis di Kompasiana maupun berinteraksi dengan kompasianer lain.
Ada atau tidaknya penghargaan yang saya raih. Masuk atau tidaknya saya dalam nominasi tidak membuat saya berhenti mewartakan apa yang saya ketahui dari pengalaman perjalanan saya, terutama di bidang transportasi. Jikalau saya jarang menulis akhir-akhir ini, lebih banyak terkait masalah kesibukan dan faktor teknis.
Melalui tulisan ini, saya mengaku pernah malas menulis di Kompasiana karena terkendala teknis berupa susahnya memberi caption gambar dalam tulisan yang membuat waktu menulis saya menjadi lebih banyak dan jujur menurunkan semangat saya menulis. Untungnya, admin Kompasiana mau mendengar masukan saya dan kini saya bisa menulis caption gambar kembali dengan mudah sehingga semangat menulis saya pun bangkit.
Kembali ke masalah Kompasiana Award, memang harus diakui bahwa penghargaan ini cukup bagus untuk memacu semangat para Kompasianer yang memiliki ketertarikan menulis di bidang tertentu. Penghargaan ini harus diakui menjadi salah satu penghargaan bagi para blogger yang cukup prestisius saat ini di tengah gempuran media lain seperti You Tube, Tik Tok, dan lain sebagainya. Jika seperti kontes kecantikan, maka Kompasiana Award bisa dikatakan masuk dalam grand slam pageant. Kompasiana cukup apik tetap merawat ajang ini hingga bertahun-tahun lamanya. Meski, dalam perjalanannya juga kerap diwarnai kontroversi.
Barangkali, masuknya saya dalam nominasi akan memunculkan kontroversi karena alasan saya jarang menulis dan jarang berinteraksi tadi. Untuk itulah, pada tulisan kali ini, izinkan saya memberi sekadar usul untuk kegiatan Kompasiana Award tahun selanjutnya.
Setiap tahun, ada 5 nomine tiap kategori diantara sekian ribu Kompasianer yang menulis. Saya mengapresiasi pada Kompasiana yang pada tahun ini menambah dua kategori baru, yakni Best Student dan Best Tecaher. Artinya, ada keinginan dari Kompasiana untuk memberi ruang lebih pada Kompasianer untuk unjuk gigi.
Namun, jika boleh usul, perhelatan ini bisa mengadopsi format kontes kecantikan semacam Miss Universe dalam penentuan pemenangnya. Bukan karena saya memang penggemar kontes kecantikan, tetapi siapa tahun usulan ini bisa dipertimbangkan.
Dalam Miss Universe, biasanya akan dipilih semifinalis sejumlah 20/16/15 peserta. Semifinalis ini akan bertanding pada babak kontes baju renang atau swimsuit competition. Tentu, Kompasianer tidak akan melakukan kompetisi baju renang yang akan menimbulkan demo di depan Kantor Kompasiana.
Pihak Kompasiana bisa memilih 20/16/15 nomine tiap kategori untuk disaring ke babak selanjutnya. Penyaringan ini bisa dilakukan dengan meminta nomine menulis artikel terkait kategori mereka. Semisal, untuk fiksi maka mereka harus membuat cerpen/puisi dan seterusnya. Nantinya, dari babak 10 besar, biasanya akan disaring ke babak 10 besar. Satu tempat dari babak 10 besar akan diisi oleh nomine dengan voting tertinggi. Jadi, voting tetap dilakukan untuk menentukan satu spot nomine yang masuk babak 10 besar.
Pada Miss Universe, babak 10 besar biasanya mempertandingkan kompetisi gaun malam. Dibandingkan kompetisi baju renang, tentu kompetisi gaun malam jauh lebih sulit karena sang peserta harus memakai baju dengan desain sekreatif mungkin. Nah, pada babak 10 besar, Kompasianer yang terpilih bisa diminat untuk membuat video terkait kategori mereka. Semisal, untuk opini maka mereka bisa memberi opini terhadap isu tertentu. Untuk fiksi bisa membuat video musikalisasi puisi. Untuk citizen journalism bisa membuat video reportase tertentu. Kalau tidak video, maka mereka bisa diminta menulis lagi terkait topik tertentu sesuai kategori mereka. Tentu, dengan tantangan yang lebih sulit.
Dari babak 10 besar, maka peserta bisa disaring ke babak 5 besar seperti saat ini. Sama dengan fromat sebelumnya, 1 Kompasianer yang masuk babak 5 besar bisa dipilih dari voting sedangkan 4 sisanya dari pilihan juri.
Pada Miss Universe, biasanya peserta akan diberi pertanyaan oleh dewan juri sesuai kategori mereka. Sesi ini biasa disebut Q and A. Kompasianer yang masuk 5 besar bisa diminta untuk bercerita mengenai tulisan mereka di Kompasiana dalam waktu yang dibatasi. Format ini bebas sesuai kehendak admin yang jelas ada tatap muka, baik daring maupun luring dengan peserta yang masuk babak 5 besar. Kegiatan ini juga sekaligus membantu Kompasiana jika ada acara atau momen tertentu. Para nomine tentu akan bisa diajak untuk menjadi pembicara pada momen selanjutnya yang diadakan oleh Kompasiana. Sekaligus untuk Latihan berbicara di depan publik. Barulah, di akhir acara, ada pengumuman pemenang bak acara crowning moment Miss Universe seperti tahun sebelumnya.
Agar tidak terjadi omongan bahwa pemenang Kompasiana Award akan hilang setelah menang, maka Kompasiana bisa memberikan semacam kontrak agar mereka tetap berkontribusi bagi Kompasiana. Bisa meminta mereka menulis paling tidak seminggu sekali atau memberi ruang pada mereka untuk acara yang diadakan oleh Kompasiana. Yah seperti pemenang Miss Universe pada umumnya yang setelah mendapat mahkota melakukan tugas sesuai advokasinya.
Perubahan format seperti ini bertujuan agar tidak terjadi kebosanan dalam acara Kompasiana Award. Tidak hanya itu, omongan di belakang yang kerap saja muncul terkait layak atau tidak layaknya seorang Kompasianer masuk dalam nominasi bisa diminimalisasi. Dengan format kompetisi yang berjenjang tersebut, publik akan tahu siapa yang benar-benar layak. Tidak sekadar melakukan voting dan penjurian tertutup.
Alasan lain yang barangkali bisa diterima adalah dengan semakin banyaknya Kompasianer yang menjadi nomine, maka semangat mereka akan bertambah. Meski hanya masuk 20/16/15 besar, barangkali bisa menjadi penyemangat bagi mereka yang benar-benar ingin menjadi nomine. Saya yakin masih banyak Kompasianer yang ingin karyanya diapresiasi. Maka, format baru tersebut bisa menjadi salah satu cara yang tepat untuk mewadahi apresiasi bagi Kompasianer yang sangat banyak.
Memang, format baru ini akan terasa panjang dan melelahkan. Namun, apa salahnya jika tidak dicoba? Kalau memang jumlah 20/16/15 orang terlalu banyak, bisa dipangkas jadi 10 orang dulu dengan format yang lebih sederhana. Yang jelas, semakin banyak Kompasianer yang menjadi nomine akan memberikan stimulasi lebih kepada mereka. Apapun itu, ini hanya usul dari saya pribadi yang ingin acara Kompasiana Award ini lebih meriah dan seru syukur-syukur menarik minat masyarakat luas yang belum bergabung dengan Kompasiana menjadi tertarik bergabung dan menulis.
Berbicara mengenai tulisan saya di Kompasiana memang akhir-akhir ini saya terus menulis mengenai keadaan transporasi umum di luar Jakarta, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Saya ingin integrasi transportasi di luar Jakarta juga bisa sebaik Jakarta. Saya ingin keadilan transportasi umum benar-benar merata dan bisa diakses oleh siapa saja. Saya berterima kasih bagi Kompasiana yang masih terus memberi artikel saya menjadi Artikel Utama sehingga bisa dibaca lebih banyak orang. Salah satu artikel saya mengenai Trans Jatim kemarin puji syukur diapresiasi oleh pihak Trans Jatim dengan melakukan banyak perbaikan.
Sementara ini, saya masih mencoba untuk memperjuangkan integrasi transportasi di Surabaya antara Suroboyo Bus dan Trans Semanggi Surabaya. Bagi saya sebuah ironi kota sebesar Surabaya belum memiliki transportasi umum yang layak. Namun, goal saya yang utama tetap mencoba untuk memperjuangkan transportasi umum di Malang Raya, kota kelahiran saya yang jauh tertinggal dengan kota lain. Bersama teman-teman dari Forum Diskusi Transportasi Malang (FDTML), kami ingin Malang bangkit menata transportasinya jauh lebih baik lagi.
Itulah beberapa saran dan uneg-uneg saya terkait Kompasiana Award ini. Sebagai penutup, saya meminta maaf tidak bisa menghadiri acara Kompasianival di Jakarta. Semoga acaranya sukses dan dar der dor bak pergelaran Miss Universe. Oh ya, satu lagi saran saya semoga tahun ini Kompasiana mengundang Puteri Indonesia 2022, Laksmi De Neefe Suardana dalam acara Kompasianival.
Kebetulan, Laksmi memiliki advokasi mengenai literasi dalam persiapannya ke Miss Universe. Saya yakin dengan platform Kompasiana, maka gerakan literasi akan semakin menggema di seluruh dunia. Kompasiana tidak hanya dikenal di Indonesia saja, tetapi juga sejagat raya. Semoga saran saya ini ditampung lagi ya.
Sekian, mohon maaf jika artikel saya ini panjang. Jika Anda mau memilih saya, tentu saya bahagia, jika tidak juga tak masalah. Jika saya belum menang, saya tetap menulis di Kompasiana asal tak kesulitan memasukkan caption gambar lagi. Jika menang, insya allah hadiahnya akan saya gunakan untuk tambahan uang saku pergi ke Filipina menelusuri dunia kontes kecantikan di sana serta melihat bagaimana kereta api buatan Indonesia berjasa bagi para penduduknya. Nanti, reportasenya akan saya tulis eksklusif untuk Kompasiana.
Maraming salamat po. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H