Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Buzzer dan Lambannya Pengungkapan Fakta oleh Polisi, Batu Sandungan Keikhlasan Tragedi Kanjuruhan

10 Oktober 2022   07:00 Diperbarui: 10 Oktober 2022   07:13 883
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Air mata ibu, sebuah frasa yang kini jadi ikon Tragedi Kanjuruhan.

Karangan bunga masih segar menghiasi Kawasan Stadion Kanjuruhan Malang.

Bau dupa masih cukup menyengat di depan pintu 13 dan beberapa pintu lainnya. Doa-doa dan puja-puja kepada Tuhan Yang Maha Esa masih dirapalkan oleh mereka yang datang di stadion kebanggaan warga Malang itu. Semua seakan masih berselimut duka walau telah 6 hari berlalu sejak tragedi mengerikan tersebut terjadi.

Saya mendatangi Stadion Kanjuruhan untuk kali pertama sejak 4 tahun terakhir. Selepas bertakziah kepada salah seorang rekan yang menjadi korban, saya menyempatkan hadir di sana. 

Jujur, mulanya saya ragu untuk mendatangi tempat mengerikan tersebut karena saya mudah sekali mengalami trauma akan sebuah kejadian buruk. Rasanya, otak ini akan terus memutar berbagai kejadian tersebut hingga saya tak memiliki gairah untuk menjalani aktivitas.

Hampir seminggu berlalu, stadion ini kemudian beralih fungsi. Bukan lagi sebuah bangunan megah dengan kebanggan prestasi olahraga melainkan sebuah museum besar yang menyimpan cerita kelam akan sebuah tragedi layaknya perang.

Seorang remaja SMA yang datang bersama beberapa rekannya mengenakan kaos hitam Arema yang saya temui di dekat pintu 4 bahkan mengatakan mereka bak seperti sedang berada di Jerman. Bertandang ke monumen pembantaian para korban perang oleh Tentara Nazi.

Tulisan kemarahan di tembok Stadion Kanjuruhan. - Dokpri
Tulisan kemarahan di tembok Stadion Kanjuruhan. - Dokpri

Walau tampak berlebihan, tetapi dari celoteh mereka yang saya tangkap adalah sedikit kesamaaan mengenai jatuhnya korban di ruangan tertutup oleh adanya gas berbahaya. Sebuah kisa pilu yang bisa jadi baru terulang kembali sejak Perang Dunia Kedua.

Holocaust di Kanjuruhan, begitu mereka menamainya dari kisah sejarah yang baru mereka pelajari di kelas. Entah bagaimana kita akan menyikapinya, yang jelas kejadian penembakan gas air mata disusul berdesak-desakannya ratusan orang, bahkan bisa jadi ribuan untuk menyelamatkan nyawa masing-masing adalah benar-benar terjadi. Benar terlukis nyata di stadion yang saya datangi kali ini.

Air mata ibu, sebuah frasa yang kini jadi ikon Tragedi Kanjuruhan.
Air mata ibu, sebuah frasa yang kini jadi ikon Tragedi Kanjuruhan.

Saya kemudian menuju ke sebuah pintu masuk yang dekat dengan penjual mebel. Memori saya langsung teringat akan cerita tentang rekaman penjual dawet di sana. 

Dalam rekaman tersebut, ia mengatakan bahwa kematian Aremania yang banyak tersebut akibat konsumsi minuman beralkohol. Sesuatu hal yang hingga kini menjadi perdebatan karena memang tak ada penjual dawet di sana. Atau memang, sang penjual dawet hanya muncul pada malam tertentu yang membuat bulu kuduk merinding.

Pedagang mebel dan jam yang masih buka dan berjualan. - Dokpri
Pedagang mebel dan jam yang masih buka dan berjualan. - Dokpri

Saya tak ambil pusing. Langkah kaki saya kemudian menuju ke pintu kematian. Apalagi kalau bukan pintu 13 yang kisahnya kini mendunia. Saya kira pintu itu sepi ternyata tidak. 

Hampir seratusan orang berkumpul di sana dengan tujuan masing-masing. Ada yang sekadar berkumpul, membuat konten, dan berdoa seraya sedikit mengenang apa yang terjadi di sana.

Berbagai benda untuk mengenag para korban pun ditempatkan di depan pintu. Mulai kaos Arema, syal, topi, sepatu, bola, hingga beberapa barang lain yang menyiratkan bahwa pernah ada banyak Aremania yang berjuang demi bertahan hidup.

Pintu 13 yang menjadi pintu maut dengan korban paling banyak. - Dokpri
Pintu 13 yang menjadi pintu maut dengan korban paling banyak. - Dokpri

Lubang yang cukup besar masih terlihat menganga yang menandakan bahwa kengerian itu nyata adanya. Saya kembali membayangkan bagaimana tubuh saya yang makin tambun ini mencoba melewati lubang tersebut. Apakah akan muat dan berhasil? Bagaimana pula dengan anak-anak yang tentu tak akan seberani orang dewasa dalam melewati pintu tersebut?

Saya menghela napas sejenak. Tak lama, muncul suara lirih dari seorang wanita yang memimpin doa bersama rekan-rekannya. Ia berkata dengan suara yang sedikit terisak dan mencoba untuk ikhlas. 

Merelakan apa yang sudah terjadi dan mengubur dendam atas peristiwa ini. Dendam yang bisa jadi timbul akibat hebatnya informasi yang menyudutkan korban Tragedi Kanjuruhan terutama oleh para buzzer.

Suasana dalam Stadion Kanjuruhan. - Dokpri
Suasana dalam Stadion Kanjuruhan. - Dokpri

Seorang rekan yang turut bertakziah mengatakan bahwa sebenarnya para keluarga korban sudah ikhlas dengan kejadian ini meski tagar usut tuntas terus disuarakan. 

Banyak yang sudah melepas kepergian sanak saudaranya agar bisa menghadap Sang Kuasa dengan tenang. Namun, ada satu ganjalan yang bisa jadi akan membuat luka para keluarga korban kembali menganga.

Beberapa orang berkumpul untuk memulai berdoa. - Dokpri
Beberapa orang berkumpul untuk memulai berdoa. - Dokpri

Tak lain, dengungan para buzzer yang hingga kini sering terdengar seolah menyudutkan korban. Mulai dari gara-gara ulah Aremania yang rusuh, mengapa membawa anak kecil ke stadion, dan berbagai alasan lain yang tak memberikan satu pun empati pada keluarga korban.

Sehari setelah kejadian, status FB saya dipenuhi oleh mereka yang bermain dengan analisisnya masing-masing dengan tujuan satu: menyudutkan korban Tragedi Kanjuruhan. Jujur, saya sempat sedikit marah dengan mengumpat dalam Bahasa Malangan mengenai nirempati yang mereka lakukan. Bagaimana bisa, dengan kondisi semacam ini mereka tega berbuat seperti itu?

Karangan bunga dan berbagai benda yang dikumpulkan. - Dokpri
Karangan bunga dan berbagai benda yang dikumpulkan. - Dokpri

Saya tidak tahu, bagaimana rasanya menjadi keluarga korban langsung jika mendengar analisis ngawur mereka. Bagaimana bila seorang ibu yang kehilangan anaknya mengetahui malah ia disalahkan atas apa yang sudah terjadi. Kadang, saya pun berpikir kok susah sekali sebentar saja tidak melakukan kegiatan buzzering demi kemanusiaaan.

Orang-orang yang memadati pintu 13. - Dokpri
Orang-orang yang memadati pintu 13. - Dokpri

Untung saja, berbagai fakta terbuka, terlebih setelah Washington Post mengemukakan analisis mendalam bahwa lebih dari 40 amunisi ditembakkan, gas air mata, flash bang, dan flare oleh polisi. 

Tembakan tersebut diarahkan tepat ke penonton yang berada di tribun bagian selatan stadion (tribun 11, 12, 13). Analisis apik dari media terkemuka internasional ini kemudian membungkam para buzzer yang sebelumnya bersuara seolah tragedi ini murni berasal dari Aremania.

Analisis dari Washington Post mengenai tembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan.  - Dok Washington Post.
Analisis dari Washington Post mengenai tembakan gas air mata di Stadion Kanjuruhan.  - Dok Washington Post.

Entah bagaimana mereka kemudian mungkin akan menyerang Washington Post yang jelas sejak kejadian tersebut hampir jarang terdengar ocehan dari buzzer yang menyakiti hati para korban Tragedi Kanjuruhan. Ocehan yang bisa saja membuat luka tak kunjung sembuh dan bisa meledak kapan saja.

Saya pun kemudian sejenak beralih ke patung singa yang berada di sebelah barat stadion. Patung yang tampak menangis tersebut didatangi pula oleh banyak orang yang berdoa dan memanjatkan harapan atas tragedi ini. Saat kembali ke parkiran, saya berpapasan dengan seorang pria yang memakai jaket tebal. 

Ia memandang orang-orang di sana dengan pandangan getir. Kami saling berpandangan cukup lama dan baru sadar ia adalah polisi dari kaos coklat dan sabuk kebesaran yang ia kenakan. Saya tak tahu apa yang ia lakukan yang pasti tentu bagi polisi Indonesia saat ini adalah kondisi sulit.

Patung singa yang juga didatangi orang-orang Dokpri
Patung singa yang juga didatangi orang-orang Dokpri

Selepas pertemuan dengan polisi itu, saya pun mencoba untuk mengontak rekan polisi yang kerap saya ajak diskusi jika ada kejadian yang menyangkut institusi tersebut. Saya banyak menumpahkan kekesalan saya padanya terkait Tragedi Kanjuruhan. Untung, saya mengenalnya baik dan sering menjawab apa yang saya tanyakan sesuai kapasitasnya.

Saya masih heran bagaimana pola komunikasi ketika polisi berhadapan dengan massa banyak dalam situasi yang cukup genting. Kebetulan, ia pernah lama bertugas di bagian Samapta, satuan yang mengamankan berbagai kegiatan dengan massa banyak meski kini menjadi polisi lalu lintas. Ia memberi batasan dulu bahwa ia tak begitu paham secara detail mengenai SOP pertandingan Liga 1 Indonesia karena bertugas di tempat yang tak ada klub sebak bola Liga 1.

Ia angkat topi karena komandan pasukan, dalam hal ini tiga komandan di lapangan yakni Kabag Ops. Polres Malang, Danki III Brimbob Jatim, dan Kasat Samapta Polres Malang menjadi tersangka. Merekalah yang dianggap bertanggung jawab dalam tragedi ini.

Menurutnya, sejatinya pasukan digerakkan oleh satu komando atau perintah. Jadi, tanggung jawab terpusat ada di komandan yang memberi perintah. Artinya, jika komandan memerintahkan untuk melakukan A, maka bawahan akan langsung bergerak dan sebaliknya. Tidak semua kasus diperbolehkan menggunakan gas air mata dan itu tak boleh sembarangan.

Dokpri
Dokpri

Dalam kaitannya dengan pengamanan massa, ia sempat beradu argumen dengan sang pimpinan karena ketika ada insiden dengan masaa, sang pimpinan malah lempar tanggung jawab. 

Padahal, saat itu kondisi sangat gawat dan beberapa pasukan bawahannya kepalanya bocor akibat lemparan batu dari massa. Sang komandan tak memberi perintah taktis malah bengong saja padahal kondisi makin gawat.

Dokpri
Dokpri

Dalam kasus seperti Tragedi Kanjuruhan, menurutnya akan timbul kebingungan saat ada perintah yang tidak sesuai SOP. Padahal, sebagai bawahan, ia juga bingung karena jika tidak dilaksanakan, maka ia dan rekan-rekannya akan disalahkan. 

Jika komandan salah langkah dan akhirnya timbul banyak korban, maka semuanya juga akan kena. Dari keterangan ini, saya sedikit berkesimpulan jika komandan di lapangan adalah salah satu kunci agar tak terjadi korban yang berjatuhan.

Dokpri
Dokpri

Saya sudahi diskusi itu sembari berkata saat ini saya masih begitu marah dan takut dengan polisi. Apalagi, lalu Lalang mobil polisi di Kota Malang yang tiap hari berseliweran tiada henti serta kejadian penangkapan para penyebar video di Kanjuruhan.  Makanya, saya sementara masih bisa berhubungan baik dengannya dengan alasan pertemanan pribadi bukan karena ia sebagai seorang polisi. Untungnya, ia mengerti dengan apa yang saya rasakan dan tagar ACAB yang saya dengungkan.

Merawat amarah dan dendam memang tak baik tetapi itu tak akan terjadi jika tak ada kompor yang dinyalakan. Agar amarah dan dendam tak bergitu tersulut semakin parah, pengusutan tuntan atas tragedi ini harus dilakukan seadil-adilnya. Pun, tak ada lagi buzzer yang berdengung dan membuat situasi semakin tidak karuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun