Saya kemudian menuju ke sebuah pintu masuk yang dekat dengan penjual mebel. Memori saya langsung teringat akan cerita tentang rekaman penjual dawet di sana.Â
Dalam rekaman tersebut, ia mengatakan bahwa kematian Aremania yang banyak tersebut akibat konsumsi minuman beralkohol. Sesuatu hal yang hingga kini menjadi perdebatan karena memang tak ada penjual dawet di sana. Atau memang, sang penjual dawet hanya muncul pada malam tertentu yang membuat bulu kuduk merinding.
Saya tak ambil pusing. Langkah kaki saya kemudian menuju ke pintu kematian. Apalagi kalau bukan pintu 13 yang kisahnya kini mendunia. Saya kira pintu itu sepi ternyata tidak.Â
Hampir seratusan orang berkumpul di sana dengan tujuan masing-masing. Ada yang sekadar berkumpul, membuat konten, dan berdoa seraya sedikit mengenang apa yang terjadi di sana.
Berbagai benda untuk mengenag para korban pun ditempatkan di depan pintu. Mulai kaos Arema, syal, topi, sepatu, bola, hingga beberapa barang lain yang menyiratkan bahwa pernah ada banyak Aremania yang berjuang demi bertahan hidup.
Lubang yang cukup besar masih terlihat menganga yang menandakan bahwa kengerian itu nyata adanya. Saya kembali membayangkan bagaimana tubuh saya yang makin tambun ini mencoba melewati lubang tersebut. Apakah akan muat dan berhasil? Bagaimana pula dengan anak-anak yang tentu tak akan seberani orang dewasa dalam melewati pintu tersebut?
Saya menghela napas sejenak. Tak lama, muncul suara lirih dari seorang wanita yang memimpin doa bersama rekan-rekannya. Ia berkata dengan suara yang sedikit terisak dan mencoba untuk ikhlas.Â
Merelakan apa yang sudah terjadi dan mengubur dendam atas peristiwa ini. Dendam yang bisa jadi timbul akibat hebatnya informasi yang menyudutkan korban Tragedi Kanjuruhan terutama oleh para buzzer.