Sejak dualisme kepengurusan Arema dan PSSI, saya tidak lagi mengikuti Arema dan segala hal yang mengiringinya. Terlebih, sejak sering terjadi kerusuhan di beberapa kota karena sepak bola, saya makin malas melihat sepak bola Indonesia. Jangankan di stadion, di televisi pun tidak. Kaos Arema yang saya punya hanya saya simpan jika ada keperluan khusus seperti acara di kampung atau jika sedang berolahraga di Malang.
Entah, bagi saya menggemari sepak bola di Indonesia tak lagi seperti dulu. Saya bukan orang yang paham bola tetapi ada yang salah dalam sistemnya sehingga tak ada kebahagiaan ketika saya melihat sepak bola Indonesia. Sebuah alasan yang akhirnya membuat saya mengalihkah kegilaaan saya pada kontes kecantikan. Puteri Indonesia dan Miss Universe misalnya.
Meski begitu, saya masih ingat ketika ayah saya kerap mengajak saya pertama kali menonton laga sepak bola di Malang. Kala itu, bukan Arema yang kami tonton melainkan Persema.Â
Klub yang hingga sekarang tidak saya ketahui keberadaan rimbanya. Menonton bola di Stadion Gajayana, sekitar akhir 1990an menjadi kenangan manis bersama ayah. Seorang ayah yang kerap menanamkan jiwa kelaki-lakian dengan mengajak putranya nonton sepak bola.
Saat itu, saya memang cukup tertarik dengan atmosfer menonton sepak bola di Malang. Penonton yang atraktif, permainan yang asyik, pedagang yang berlalu-lalang, hingga suara terompet yang begitu nyaring. Bisa jadi, suasana semacam ini yang menjadi daya tarik menonton sepak bola di Malang atau bahkan di Indonesia.
Satu-satunya pertandingan Arema yang saya tonton bersama ayah adalah pertandingan antara Arema dengan Pelita Jaya sekitar tahun 1999. Saya masih ingat dan bertanya kenapa ayah tidak biasanya mengajak saya menonton Arema. Padahal biasanya kan beliau mengajak saya nonton Persema karena harga tiketnya lebih murah.
Biasanya, jika ingin melihat Arema, ayah hanya mengajak saya ketika tim tersebut berlatih atau sedang ada pertandingan ujicoba. Tidak saat ada pertandingan Divisi Utama atau Liga Utama.
Kata ayah, saat itu beliau sedang ada sedikit rezeki lantaran sudah lama tidak mendapatkan orderan jahitan topi. Maklum, saat itu baru saja krisis ekonomi 1998 sehingga usaha ayah saya benar-benar terpukul. Makanya, melihat Arema di Stadion Gajayana adalah salah satu atau mungkin satu-satunya saya nonton Arema secara penuh di stadion. Sejak saat itu, sayah saya tidak pernah mengajak saya lagi menonton sepak bola.
Hingga kini, beliau tidak pernah lagi berkeinginan untuk nribun. Namun, hingga kini, jika ada pertandingan Arema, baik ujicoba maupun pertandingan resmi, beliau sudah bingung untuk mengamankan televisi.Â
Sudah bingung menyiapkan segala hal agar kegiatan menonton bola bisa terlaksana dengan baik. Jika saya sedang di Malang, maka beliau kerap nggupuhi alias bingung sendiri kalau siaran TV belum juga menayangkan Arema. Terlebih, jika pertandingan hanya disiarkan pada channel You Tube tertentu. Bukan di stasiun TV.