Sejak Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) awal Juli lalu, berbagai titik di derah yang terkena PPKM mulai dilakukan pembatasan.
Salah satu tumpuan dari pembatasan tersebut adalah penyekatan jalan. Hampir semua jalan masuk atau keluar dati suatu kota ditutup. Warga yang boleh melintas hanyalah mereka yang bekerja di sektor esensial dan kritikal. Itu pun harus menunjukkan bukti beberapa surat dan keterangan bebas covid-19.
Tujuan penyekatan jalan ini tentu saja untuk mengurangi mobilitas masyarakat. Dengan penyekatan jalan, diharapkan warga malas keluar sehingga mengurangi mobilitas mereka. Meski tujuan ini digunakan untuk menekan angka penyebaran covid-19 akibat pergerakan warga yang masih sangat tinggi, tetap saja di berbagai daerah banyak pro dan kontra terjadi.
Memang, harus diakui penyekatan jalan membuat banyak warga malas keluar. Namun tetap saja, bagi mereka yang harus terpaksa keluar rumah meski tidak bekerja di dua sektor tersebut. Contohnya di Malang sendiri. Menurut Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan, pergerakan warga di kota ini masih sangat tinggi. Bahkan, menurut Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, jika ditinjau dari zona pergerakan, Malang termasuk zona hitam. Padahal, banyak wilayah lain di Jawa Timur yang sudah masuk zona oranye dan kuning untuk tingkatan mobilitas warga.
Pergerakan warga selama PPKM ini memang hanya pengalami pergeseran. Meski pergerakan keluar kota cukup sulit, tetapi pergerakan di dalam kota masih sangat tinggi. Warga masih hilir mudik keluar rumah untuk berbagai keperluan.
Penyekatan jalan, terutama di wilayah perbatasan kota tidak membuat warga mengurungkan niatnya ke tempat tujuan. Mereka akan mencari jalan tikus dan jalan alternatif lain yang sudah mereka ketahui karena sering mereka lewati.
Tentu, dengan kondisi kerumunan di jalan yang lebih sempit membuat penularan covid-19 akan mudah terjadi. Tidak ada jarak yang longgar antar warga ketika berkerumun mencari jalan tikus adalah salah satu alasannya. Belum lagi, masih banyak yang tak patuh menggunakan masker semakin memperburuk keadaan. Niat untuk mencegah penularan covid-19 malah bisa jadi bumerang dengan munculnya klaster-klaster baru dari mencari jalan tikus.
Kebanyakan, jalan-jalan tikus tidak ditutup oleh pemerintah daerah. Kebijakan menutup jalan ini biasanya dilakukan oleh warga sekitar. Kadang, penutupan juga hanya dilakukan saat pemberlakuan jam malam, yakni antara pukul 8 malam hingga pukul 4 pagi. Selebihnya, warga dari berbagai wilayah dengan bebas akan menggunakan jalan tersebut.
Uniknya, ada juga jalan utama yang tak sepenuhnya ditutup. Seperti di Malang kembali, ada salah satu penyekatan jalan di pintu selatan kota ini yang hanya menutup akses jalan masuk kota. Sementara, arus lalu lintas keluar kota hanya dialihkan di putaran balik yang berada tak jauh dari penjagaan petugas keamanan. Kalau begini, lantas apa fungsinya penyekatan jalan? Toh warga masih bisa keluar masuk meski harus memutar jalan beberapa meter dari para penjaga keamanan.
Spot putar jalan tersebut juga menjadi ladang rezeki baru bagi mereka yang membantu pengendara jalan. Mereka akan mengatur lalu lintas menggantikan beberapa polisi yang berjaga di portal penyekatan. Jadi, konsep mengalihkan jalan pun kembali berubah tak hanya mengalihkan kerumunan tetapi juga mengalihkan fungsi pengatur lalu lintas dari polisi ke Pak Ogah yang mengais rezeki.
Mereka bahu-membahu mencari dan memberikan informasi seputar penyekatan jalan. Tentu, tidak jarang pula mereka mengeluh terutama yang harus pulang di atas jam 8 malam. Interaksi semacam ini mau tidak mau akan terjadi di era digital yang akan dilakukan warga demi bisa mencari jalan dan mencapai tujuan yang mereka inginkan.
Tentu, fenomena semacam ini cukup miris terjadi karena penyekatan PPKM pun akhirnya tidak mencapai sasaran yang diinginkan. Mobilitas warga antar kota memang akan bisa ditekan tapi bagaimana dengan mobilitas di dalam kota?
Apalagi, dengan berbagai larangan makan di tempat otomatis banyak restoran yang hanya melayani layanan bungkus makanan. Order ojek daring pun kebanyakan baru terjadi di atas jam 7 malam. Mendekati jam 8 malam, order makanan akan mencapai puncaknya dan akhirnya jalan pun banyak disekat. Ojek daring kelimpungan mencari jalan demi bisa mengantarkan makanan ke konsumen. Padahal, merekalah salah satu tombak dalam upaya mengurangi mobilitas dan kerumunan warga agar tetap di rumah saja.
Inilah yang harus dipikirkan pemerintah jika PPKM (jangan sampai) diperpanjang hingga beberapa minggu ke depan. Adagium PSBB atau PPKM diperpanjang hingga kapan-kapan tak akan banyak berpengaruh dalam menekan mobilitas warga jika model penyekatan semacam ini tak dievaluasi. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI