Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Harga Murah Ternyata Tak Menjamin Restoran Cepat Saji Kelas Menengah Ini Bisa Bertahan Lama

28 Juni 2021   15:55 Diperbarui: 29 Juni 2021   05:00 574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagaimana cara memakannya? - Dokumen pribadi


Usaha restoran cepat saji kelas menengah yang menjual menu ayam goreng, burger, dan sejenisnya menjamur beberapa tahun belakangan.

Restoran tersebut merupakan jawaban dari keinginan konsumen yang ingin makan menu restoran cepat saji dengan harga yang lebih murah. 

Meski ayam goreng menjadi menu utama, tidak jarang berbagai menu tambahan lain juga dijual demi menjaring minat konsumen yang lebih tinggi. 

Burger, spaghetti, float, kentang goreng, dan beberapa menu tambahan lain juga kerap dijual restoran-restoran tersebut.

Dengan adanya restoran cepat saji yang murah tersebut, kini gaya hidup masyarakat menjadi gemar untuk menyantap makanan yang mereka jual semakin tinggi. Walau demikian, tidak semua restoran cepat saji tersebut sukses dalam menjaring pelanggan.

Mereka tidak saja merugi bahkan akhirnya tutup karena sepinya pembeli. Ditambah lagi, dengan adanya wabah covid-19 yang semakin meluas membuat mereka banyak yang tiarap. 

Satu per satu restoran cepat saji itu pun jatuh dan tak menyisakan satu pelanggan lagi. Harga murah ternyata bukan jaminan mereka bisa bertahan.

Padahal, saat pembukaan restoran cepat saji tersebut, animo masyarakat cukup tinggi. Promosi besar-besaran, baik melalui pamflet maupun spanduk besar pun bermunculan. 

Tak jarang, mereka menawarkan paket ulang tahun bagi anak-anak yang juga sama dilakukan oleh restoran cepat saji besar.

Mereka juga mengiming-imingi paket diskon yang sangat murah, semisal membeli satu paket akan mendapat dua paket sekaligus.

Beberapa restoran cepat saji juga menyediakan area bermain anak yang bisa digunakan secara gratis. 

Sayangnya, meski berbagai promosi itu amat gencar, nyatanya tak banyak orang mau makan dan menghabiskan waktu di sana. Tidak saja saat pandemi, sebelum pandemi pun restoran tersebut tak begitu lagu.

Apa yang mendasarinya?

Tak lain adalah jurang perbedaan yang nyata antara ekspektasi konsumen dengan realita menu yang disajikan. 

Sebenarnya, dengan harga yang lebih murah, konsumen sudah sadar bahwa mereka akan mendapatkan kualitas produk di bawah restoran cepat saji besar. Katakanlah seperti McD dan KFC.

Sebuah restroan cepat saji yang terlihat sepi dan tak terlihat satu pun pembeli. - Dokumen Pribadi
Sebuah restroan cepat saji yang terlihat sepi dan tak terlihat satu pun pembeli. - Dokumen Pribadi
Namun, bukan berarti kualitas produk yang disajikan bukan sekadaranya. Lantaran, harga yang dibayar konsumen masih cukup mahal jika dibandingkan makanan di warung biasa. Rentang antara 10 ribu hingga 25 ribu rupiah adalah rentang harga satu paket makanan dan minuman di restoran cepat saji semacam ini.

Restoran yang kurang atau bahkan tidak laku, biasanya menjual menu ayam yang sudah dingin. Ya, dingin dan keras sehingga sulit untuk dimakan. Tidak hanya itu, kadang beberapa restoran tersebut menjual menu ayam dengan rasa yang masih hambar. 

Saya pernah meminta garam kepada pelayan restoran tersebut karena ayam yang saya makan benar-benar hambar.

Nah yang membuat konsumen cepat berpaling sebenarnya adalah ketersediaan menu yang tidak selalu ada. 

Ketika konsumen datang, mereka tidak ready dengan menu yang mereka sajikan. Kadang kosong kadang masih digoreng.

Saya sering kecewa ketika menu tersebut kosong padahal saya sudah ingin mencoba. Yang membuat kecewa adalah menu-menu tersebut tetap dipajang meski sedang kosong dan tidak diberi keterangan. 

Untuk menu yang masih digoreng, kadang konsumen harus menunggu cukup lama, sekitar lebih dari 20 menit. 

Sedikit membandingkan dengan restoran cepat saji yang sudah berjaringan besar, konsumen tak sampai 5 menit menunggu di kasir. 

Jika cukup lama dan saat pandemi semacam ini, konsumen biasanya dipersilakan menunggu di tempat makan atau tempat yang sudah disediakan untuk take away.

Tidak hanya itu, kadang restoran cepat saji yang sepi dan akhirnya bangkrut kurang memerhatikan kenyamanan konsumen ketika makan. 

Contohnya, saya pernah menyantap menu rice box di sebuah restoran cepat saji. Saya kira, menu ini mirip dengan menu sebuah restoran cepat saji berjaringan besar yang memuat daging ayam cincang atau potongan ayam fillet.

Menu yang saya dapat ternyata potongan ayam cukup besar yang dimasukkan begitu saja di dalam sebuah rice box. Meski harga yang dijual sangat murah yakni 12 ribu rupiah beserta minum, tetapi saya berpikir dan bertanya, "Bagaimana cara memakan menu ini dengan nyaman?"

Restoran tersebut hanya menyediakan sendok plastik sebagai alat makan. Tentu, sendok tersebut cukup sulit digunakan untuk memotong daging ayam berukuran cukup besar di dalam wadah rice box. 

Lantaran saya sudah mulai frustasi, maka akhirnya saya meminta piring ke petugas restoran dan makan seperti menu ayam pada umumnya. Kalau begini, apa fungsi dari rice box tersebut?

Bagaimana cara memakannya? - Dokumen pribadi
Bagaimana cara memakannya? - Dokumen pribadi
Entah benar atau tidak, selama menjajal beberapa restoran cepat saji yang cukup murah tersebut, saya selalu menduga bahwa umur mereka tidaklah panjang. Dan benar saja, beberapa saat kemudian, restoran tersebut tutup.

Apa yang dialami restoran tersebut berbanding terbalik dengan restoran lain yang mengutamakan rasa, harga, dan kenyamanan konsumen. 

Di Jogja, ada sebuah restoran cepat saji yang begitu dikagumi dan sudah menjadi brand kota tersebut karena harganya yang murah dan rasanya yang enak. 

Menu ayam gorengnya, yang sebenarnya sama dengan ayam goreng lain bahkan digadang-gadang setara dengan menu nasi gudeg. Rasanya belum ke Jogja jika belum makan di restoran cepat saji tersebut.

Keistimewaan restoran cepat saji tersebut sebenarnya bukan karena harga murah dan rasanya yang lumayan. Namun, ketersediaan dan kenyamanan konsumen saat membeli adalah alasan lain. Konsumen datang, ingin makan ini atau ingin membungkusnya, menu itu sudah ada. Mereka tak perlu menunggu lama.

Di Malang, ada beberapa restoran cepat saji semacam ini yang juga masih eksis. Restoran ini bahkan menjadi tempat favorit para mahasiswa untuk mengerjakan tugas karena menyediakan coworking space secara gratis dengan hanya membeli menunya.

Makan dan menggunakan coworking space. - Dokumen Pribadi
Makan dan menggunakan coworking space. - Dokumen Pribadi
Yang membuat pengunjung betah datang ke restoran ini adalah menu yang selalu tersedia hampir sepanjang waktu. Tidak ada acara lama menunggu menu selesai disajikan meski kondisi cukup ramai. 

Standar pelayanan pun hampir setara dengan restoran cepat saji. Ketika saya memesan menu yang cukup aneh, seperti burger double atau menu saus keju dan BBQ, menu ini pun selalu tersedia. 

Mereka juga menyediakan tempat makan yang nyaman untuk digunakan. Kunci inilah yang menjadi salah satu kesuksesan sebuah restoran cepat saji yang menjual harga di bawah restoran berjaringan besar.

Adanya pandemi semakin memukul usaha restoran cepat saji terutama yang menjual ayam goreng. 

Beberapa yang masih bertahan adalah mereka yang hanya melayani pemesanan take away dan tidak menyediakan tempat makan. 

Mereka berfokus pada rasa enak, harga murah, dan menu yang terus ada. Jika menu yang didapat konsumen tak sebanding dengan ekspektasi, maka konsumen akan memilih untuk memasak ayam goreng di rumah saja sambil menerapkan protokol kesehatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun