Lantaran menghemat biaya perjalanan pulang dari Jogja ke Malang, saya naik kereta api Matarmaja pada suatu hari.
Kereta ini tidak melewati Jogja sehingga saya harus menuju Solo terlebih dahulu. Apesnya, Matarmaja berhenti di Stasiun Solo Jebres. Kereta ini tidak berhenti di Stasiun Solo Balapan ataupun Purwosari.Â
Saya jarang sekali menemui kereta api yang berhenti di Solo Jebres. Terakhir kali, saat naik KA Majapahit dulu dari Malang, kereta ini singgah di stasiun yang berada di timur Surakarta itu.
Naasnya lagi, tidak ada tes screening Covid-19, baik GeNose maupun swab antigen di Stasiun Solo Jebres. Pihak KAI menyarankan saya lewat pesan pribadi agar saya melakukan tes tersebut di Stasiun Solo Balapan.Â
Untunglah, saya masih sempat melakukan tes GeNose di Stasiun Yogyakarta sebelum naik KRL ke Solo. Kereta Matarmaja yang sedianya akan saya naiki baru tiba jam 8 malam.
Setelah tiba di Solo sore hari dan makan Selat Solo sebentar, saya pun langsung menuju Stasiun Solo Jebres tepat setelah maghrib. Sesampainya di sana, saya kaget bukan kepalang. Stasiun ini bukan saja tak ada tanda-tanda kehidupan, tetapi saya seakan berada di cerita film yang mengisahkan tokohnya di sebuah tempat asing.
Saat saya berada di ruang tunggu, tak ada orang sama sekali. Loket tiket terlihat tutup. Hanya mesin cetak mandiri yang masih menyala. Suara gema anak-anak mengaji dari masjid sekitaran stasiun terdengar jelas.Â
Tak ada petugas, tak ada tukang becak, tak ada tukang ojek, tiada porter, bahkan satu pun pedagang makanan atau minuman tak terlihat sama sekali.
Saya bisa selonjoran sebentar sembari menyantap menu makan. Selepas itu, saya pun menonton video Miss Universe dari tahun baheula hingga akhirnya bosan sendiri.
Bangunan Stasiun Solo Jebres yang berdiri sejak 1884 ini merupakan salah satu bangunan yang dilindungi oleh Pemerintah Surakarta. Bangunan utama stasiun ini tidak dirombak dan terlihat masih seperti aslinya.
Stasiun ini juga memiliki atap yang tinggi sehingga kesan lega sangat terasa ketika kita memasukinya. Meski sebenarnya, jika ditinjau dari ukuran luas, stasiun ini tidak terlalu luas dibandingkan stasiun kelas besar lain semisal Cirebon Kejaksan atau Malang.
Keunikan yang paling saya suka adalah adanya detail jalusi pada pintu yang bernuansa Art Nouveau serta penempatan garis-garis list pada dinding. Detail pada pintu ini mengingatkan saya pada SMA saya dulu yang begitu khas dengan uliran sulur di atas pintu.Â
Sungguh, memotret stasiun ini kala menunggu kereta datang dalam suasana sepi seperti ini adalah keasyikan tersendiri. Makanya, bagi para Railfans terutama yang berada di Daerah Operasi 6 Yogyakarta, Stasiun Solo Jebres adalah salah satu spot andalan untuk mendapatkan hasil jepretan yang ciamik.
Dulu ada adagium bahwa kereta eksekutif dan bisnis singgah di Solo Balapan sedangkan kereta ekonomi singgah di Solo Jebres. Balapan untuk eksekutif dan Jebres untuk ekonomi. Kini, mahkota kelas ekonomi itu harus diserahkan ke Purwosari sejak 2014.
Hanya 4 kereta yang dijadwalkan singgah di sini, yakni Brawijaya, Brantas, Matarmaja, dan Majapahit. Tiga dari empat kereta tersebut merupakan kereta relasi Malang-Jakarta yang tidak singgah di Yogyakarta dan melewati jalur Semarang-Solo yang terkenal sepi.
Bisa jadi, inilah alasan tidak adanya tukang ojek, tukang becak, atau pun pedagang makanan yang mengasi rezeki di stasiun ini. Bahkan porter pun tak terlihat sama sekali. Entah jika dini hari, barangkali mereka hadir di stasiun ini.
Aktivitas di Stasiun Solo Jebres pun baru terlihat menggeliat sekitar jam 7 malam. Seorang petugas loket membuka satu-satunya loket di stasiun itu. Ia mulai melayani satu-satunya calon penumpang yang menunggu untuk mengubah jadwal perjalannya. Calon penumpang tersebut datang menyelamatkan saya dari kesepian dan kengerian suasana malam.
Satu keluarga bercerita mereka hampir saja lupa bahwa di stasiun ini tidak tersedia tes covid-19. Untunglah, kepadatan tes Covid-19 di Solo Balapan tidak parah.
Setengah jam sebelum kereta tiba, beberapa petugas mulai melakukan tugasnya seperti mengecek tiket dan lain sebagainya.Â
Jika diibaratkan, aktivitas stasiun ini layaknya kelelawar yang mulai nampak saat malam hari. Meski tentu, selama 24 jam stasiun ini juga penting dalam lalu lintas perkretaapian Jawa bagian selatan karena merupakan percabangan antara jalur selatan dan jalur utara. Â
Sambil menunggu kereta datang, saya penasaran apakah stasiun ini memang sengaja dibiarkan seperti ini. Menyandang status stasiun percabangan dan menyerahkan mahkota keramaian ke Stasiun Purwosari. Terlebih, stasiun ini juga tidak dilewati KRL Solo-Jogja.
Meski demikian, saya belum menemukan tanda-tanda dari rencana ini. Wisata cagar budaya yang dicanangkan oleh Pemkot Solo pun masih sebatas berfoto sambil menunggu kereta datang seperti yang saya lakukan.
Padahal, stasiun ini bisa jadi sumber belajar mengenai posisi strategis kota Solo yang mempertemukan 4 jalur kereta api Pulau Jawa. Posisinya yang seakan sebagai perempatan jalan raya membuat Solo memiliki 4 stasiun aktif. Jumlah yang cukup banyak dan semuanya masih sama-sama penting.Â
Keunikan pun semakin bertambah lantaran Stasiun Solo Jebres sebenarnya berdiri di atas lahan milik Kasunanan Surakarta. Entah benar atau tidak, suasana Kasunanan sangat terasa jika mengamati berbagai ornamen dalam stasiun ini.
Sumber:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H