Berita menyesakkan Timnas Indonesia yang dibantai Vietnam 4-0 hingga kini masih terus saja dibahas.
Sejarah kelam kembali tertoreh lagi dengan ketidakberdayaan Timnas Indonesia menghadapi negara ASEAN yang dulunya berada Indonesia. Sebagai orang awam yang jarang mengikuti perkembangan sepakbola tanah air, saya tidak terlalu terkejut. Lantaran, beberapa hari sebelum pembantaian ini, saya melihat ranking Indonesia yang tercecer di urutan 173 pada peringkat FIFA.
Posisi Indonesia jauh di bawah Vietnam yang berada di urutan 92 dan Thailand pada peringkat 106. Yang membuat mengelus dada, Indonesia kalah jauh dari Filipina yang dulu menjadi bulan-bulanan Indonesia pada setiap pertemuan. Posisi negara "atas Sulawesi" itu jauh lebih baik dibandingkan Indonesia yakni betengger pada posisi 125.
Melihat peringkat sepakbola Indonesia dan tragedi pembantaian tersebut, saya semakin yakin bahwa Indonesia sudah berada pada level gurem. Tidak ada lagi yang bisa dibanggakan dari Timnas sepakbola Indonesia. Dulu, ketika Timnas Indonesia akan melangsungkan pertandingan, beberapa lingkungan sekitar saya sangat antusias. Sekarang, mereka seakan apatis. Paling-paling ya kalah.
Banyak pihak yang mengatakan bahwa kemunduran sepakbola Indonesia disebabkan oleh kompetisi yang tidak berjalan. Sudah menjadi rahasia umum, sejak pandemi menyerang, kompetisi sepakbola Indonesia memang tidak berjalan. Namun, jika kita akui secara jujur, sebelum pandemi pun, kompetisi sepakbola Indonesia sudah acak-acakan. Entah adanya dua liga yang saling mengklaim sebagai yang sah, pengaturan skor, hingga sederet hal buruk lain. Dimulai sejak dualism kepengurusan PSSI yang entah sejak tahun berapa, sepakbola Indonesia sudah perlahan menuju level gurem.
Prestasi Indonesia pada ajang sepakbola berbanding terbalik dengan capaian merah putih pada kontes kecantikan internasional. Indonesia yang mulanya dianggap sebagai negara penggembira, kini perlahan menjadi negara powerhouse yang cukup disegani. Wakil-wakil Indonesia cukup bertaji dengan menggondol mahkota, menyabet runner-up, masuk 5 besar/10 besar/20 besar, dan yang paling membuat Indonesia selalu disegani adalah penampilan wakil kita pada babak national costume.
Kini, peserta Indonesia dalam kontes kecantikan hampir selalu mega favorit. Suporter kontes kecantikan pun mulai bergelora di tanah air. Bahkan, saat perhelatan Miss Grand International 2020 dan Miss Universe 2020, banyak acara nonton bersama yang diadakan secara terbatas di beberapa daerah. Berbagai selebgram dan Youtuber pun juga berlomba-lomba menghasilkan konten nobar kontes kecantikan. Berbanding terbalik dengan ketidakinginan untuk melihat Timnas Indonesia.
Dua hal yang saling bertentangan ini membuat ada sedikit gurauan dari seorang rekan alangkah lebih baik kita berfokus saja pada kontes kecantikan. Sudahlah, biar sepakbola tetap gurem lantaran sejak zaman entah para petinggi yang mengurusi sepakbola tidak kompak. Jauh sekali jika dibandingkan para petinggi yayasan yang mengurusi pageant. Mereka begitu kompak dalam menyusun tim dan saling mendukung.
Program Training Center yang Menjadi Nyawa
Keberhasilan sebuah negara dalam perlombaan apa pun, tak lepas dari usaha pembibitan bakat baru yang berkelanjutan. Sayangnya, sepakbola Indonesia cukup payah dalam masalah ini terlebih sejak konflik dan berbagai pertikaian yang mendera. Padahal, saya masih ingat ketika Indra Sjafri berhasil mengantarkan Indonesia meraih juara Piala AFF U-19 pada 2013. Saat itu, dengan usaha keras yang dilakukan dengan turun di banyak daerah, Indonesia berhasil menutup puasa gelar setelah sekian lama.
Sayangnya, dengan berbagai konflik yang mendera dan kompetisi yang kacau, proses pembibitan itu pun tidak bisa dipetik pada masa sekarang. Padahal, jika dipikir secara logika, proses berjenjang ini akan menghasilkan pesepakbola yang berkualitas karena pada usia 19 tahun mereka sudah jadi juara.