Kolam renang. - Dokumen Pribadi
Sempat terjadi perdebatan di manakah kami -- para orang tua bisa - Â menunggu anak-anak yang akan berenang. Lantaran, semua tempat duduk di dekat kolam renang sudah penuh.Â
Walau ada beberapa spot yang kosong, tetapi bagi saya cukup mengkhawatirkan karena sudah disesaki oleh pengunjung lain. Untungnya, beberapa sepupu berinisiatif mencari tempat duduk di sekitar embung yang berada di bagian belakang.Â
Di sana, tak banyak pengunjung yang menduduki tempat tersebut karena cukup jauh dari kolam renang. Akhirnya, saya pun bisa lega karena tak harus berdesakan dengan pengunjung lain yang memungkinkan saya bisa tertular covid-19.
Embung berisi ikan koki yang cukup banyak. - Dokumen pribadi
Tempat duduk tersebut berupa rumah bambu yang didesain unik. Sembari menunggu, kami bisa menyewa perahu sepeda dengan harga 20.000 untuk tiap 30 menit. Sebenarnya, lintasan sepeda air ini tidak terlalu luas dan panjang. Akan tetapi, pemandangan yang mengelilingi lintasannya cukup cantik. Saya merasa seperti sedang di pasar apung di Thailand.
Embung yang jadi spot foto. - dokumen pribadi
Ada juga jembatan yang melintasi dua sisi embung yang digunakan sebagai tempat berfoto. Kalau sedang ingin mencari spot foto yang lebih keren lagi, kita bisa naik ke sebuah rumah panggung yang berada di sisi timur dari embung ini.Â
Di sana, kita bisa melihat suasana embung yang dipagari perkebunan dan peternakan milik warga desa. Dari informasi yang saya dapat, embung dan kompleks kolam renang ini dibangun di atas tanah kas desa. Pembangunannya juga mendapat bantuan dari Pemkab Malang.
Sayang, saya tidak membawa kamera mirrorless hadiah dari Kompasiana. Berbekal kamera ponsel yang apa adanya, beberapa jepretan pun bisa sedikit mewakili apa yang saya rekam di tempat wisata ini. Kalau boleh jujur, tidak ada salahnya pengelola bisa mematok tarif tiket proporsional demi kelanjutan pembangunan wisata yang belum jadi seutuhnya ini.
Embung dikelilingi perkebunan penduduk. - Dokumen pribadi
Sebelum pulang, perut saya pun keroncongan. Saya bergegas ke satu-satunya  warung yang buka di wisata ini. Tentu, menu mie dalam cup menjadi solusi penunda lapar. Dan lagi-lagi saya tercengang ketika satu cup mie matang dihargai hanya 6.000 rupiah saja. itu belum termasuk es kemasan dalam cup yang hanya 2.000 rupiah saja. Entah apakah pengelola warung ini mendapatkan untung atau tidak, yang jelas ia amat kewalahan lantaran pengunjung yang amat banyak.
Wahana mainan anak yang belum jadi. - Dokumen pribadi
Kami mengakhiri wisata singkat menjelang matahari terbenam. Meski masih ada kekurangan, saya cukup mengapresiasi pembangunan tempat wisata berbasis desa ini. Paling tidak, dengan adanya tempat wisata baru ini, selain meningkatkan perekonomian warga juga bisa memecah konsentrasi wisatawan.Â
Semakin banyak wisata yang dibangun, maka banyak pilihan bagi warga untuk bisa berwisata sehingga tidak menumpuk di satu titik. Tidak hanya itu, dengan adanya wisata berbasis pedesaan ini, bisa juga sebagai cara berwisata bagi masyarakat sekitar agar tidak berwisata ke tempat jauh yang rentan terhadap penularan covid. Jika ada yang dekat dan bagus kenapa harus mencari yang jauh?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Travel Story Selengkapnya