Harga yang harus saya bayar untuk sampai di tempat tujuan juga cukup mahal. Biasanya, saya harus merogoh kocek 20.000 rupiah dari terminal ini untuk menuju daerah Ketintang.Â
Jika saya menuju daerah Tunjungan Plaza, maka saya bisa merogoh kocek hingga 35.000 rupiah. Harga yang jauh lebih mahal dibandingkan tarif bus AC Biasa Malang-Surabaya.
Meskipun mahal dan harus berjalan jauh, ojek daring masih menjadi pilihan saya. Ini tak lepas dari tidak beroperasinya lagi Bus Damri yang melewati rute dalam kota dari dalam terminal.Â
Biasanya, saya menggunakan jasa bus ini yang saat sebelum Covid-19 dengan harga tiket 7.000 rupiah saja. Sejak menghilangnya bus ini dari peredaran, maka pilihan pun sebenarnya bisa menggunakan bus kota lain yang tidak ber-AC.
Jika saya sedang diburu waktu, otomatis naik bus ini bukanlah pilihan. Belum lagi jika ada anak kecil yang meminta, para pengamen, atau pedagang yang silih berganti. Makanya, penumpang dari Malang kebanyakan tidak menggunakan bus tersebut dan lebih memilih naik ojek daring.
Sebenarnya, Pemkot Surabaya sudah menyediakan angkutan Suroboyo Bus yang nyaman dengan armada bus berwarna merah. Bus ini juga tampak sering hilir mudik melewati halte-halte khusus di Surabaya.Â
Sayangnya, untuk bisa menggunakan bus ini, saya harus menyediakan paling tidak 5 sampah botol plastik medium untuk ditukar dengan kupon dan 1 tiket bus.
Kalau pun ada, paling-paling hanya satu atau dua buah yang diminum salama perjalanan. Barangkali, pihak Pemkota Surabaya bisa mempertimbangkan untuk mengurangi jumlah botol sampah yang dipersyaratkan sebagai tiket Suroboyo Bus ini, terutama bagi penumpang dari luar kota. Misalkan hanya perlu satu atau dua botol medium saja.
Selain keefektivan, mereka juga tidak setiap hari menggunakan bus tersebut. Bisa dibayangkan berapa efisiensi penglaju dari luar kota yang berpindah dari ojek daring ke Suroboyo Bus ini. Tentu, akan mengurangi kemacetan di Kota Surabaya juga kan?Â