Dengan senyum kemenangan saya serahkan kepada orang Diknas. Saya masih mencoba menjaga attitude saat itu tetapi beberapa hari kemudian saat saya longgar, kejadian tersebut saya tulis di Kompasiana dan saya kirimkan ke pengawas sekolah saya. Tentu, saya izin dulu ke Bapak KS dan beliau menyetujui agar kejadian ini tidak lagi terulang.
Sejak saat itu, selain membawa buku ekspedisi, saya juga memotret orang yang menerima surat atau dokumen yang saya bawa dan kegiatan serah terima barang tersebut.Â
Ada beberapa orang yang menolak tetapi saya minta mereka berjanji untuk tidak meminta kembali barang tersebut ke sekolah saya karena sudah saya kumpulkan.
Dengan kejadian yang saya alami, timbul pemikiran bahwa bisa saja buku ekspedisi tidaklah kuat sebagai bukti administrasi pengantaran dokumen atau surat.Â
Perlu hal baru agar bukti tersebut bisa lebih kuat. Bisa saja berupa aplikasi seperti yang dimiliki oleh para pengantar paket agar tracing dokumen bisa lebih jelas.
Tentu, hal tersebut tidaklah bisa terlaksana karena bisa saja sang pengantar dokumen bisa berubah-ubah.Â
Di sekolah saya dulu, kadang guru, penjaga sekolah, pak bon, atau pun Bapak Kepala Sekolah sendiri yang mengantar dokumen. Artinya, buku ekspedisi bisa dibawa siapa saja dan penggunaan semacam aplikasi bukanlah solusi.
Maka, sebagai solusi adalah saling mengerti dan percaya antara pihak yang mengirimkan dokumen dengan penerima. Keduanya sama-sama membutuhkan dan tidak bisa berdiri sendiri. Hubungan keduanya pun terekam baik dalam buku ekspedisi. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H