Adagium bahwa anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibu benar adanya.
Itu sudah saya buktikan sejak saya lahir sampai berusia hampir kepala 3. Walau tidak mengesampingkan peran ayah, tetapi bagi saya ibu memiliki peran yang besar. Ibu membentuk banyak sekali karakter dalam diri saya untuk menjadi pribadi yang mencintai dan menghargai diri sendiri. Ya, menjadi pribadi yang bermimpi seperti diri sendiri dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang saya miliki.
Menjadi pendidik adalah pekerjaan ibu yang diniatinya sejak kecil. Ibu saya gemar bercerita bahwa selepas SD, beliau sudah bercita-cita menjadi guru agama. Itulah sebabnya beliau bertekad untuk bisa masuk ke PGAN  - sebuah sekolah guru agama – agar bisa menjadi pendidik agama.
Penuturannya berlanjut ketika beliau berjuang menghadapi berbagai hambatan, baik secara materi maupun nonmateri. Hambatan materi berupa tiadanya biaya untuk membeli sepeda sebagai alat transportasi sekolah. Ibu pun harus berjalan kaki menuju sekolah yang jaraknya sekitar 3 km dari rumahnya.
Bukan saja hambatan materi, melainkan hambatan dari lingkungan sekitar yang kerap membuat saya banyak belajar darinya. Cemoohan lantaran mengenyam pendidikan di sekolah guru agama tidak digubrisnya. Saat itu memang tak banyak anak yang memilih bersekolah di PGAN. Ibu berpesan, ketika kita sudah memilih jalan yang kita yakini benar, maka kita harus tetap semangat sekuat tenaga tak peduli dengan penilaian sekitar. Prinsip itu juga yang kini saya pegang ketika menekuni bisnis bimbel sembari mengembangkan blog.Â
Perjuangan ibu setelah lulus sekolah belum usai. Beliau harus menjadi Guru Tidak Tetap (GTT) di sebuah Madarasah selama hampir 15 tahun dari 1987 sampai 2002. Kala itu, saya masih ingat dengan gaji hanya 50.000 rupiah saja per bulan, ibu juga menyambi kehidupan dengan menjual berbagai jajanan yang dijual kepada murid-muridnya. Sembari menggendong adik saya yang masih kecil, tiap malam beliau membungkusi kue kering yang akan beliau jual.
Ketika ibu melihat rekan-rekannya yang sudah banyak diangkat menjadi PNS, ibu tetap ikhlas berbakti bagi sekolah. Pada pertengahan tahun 1996 –  saat beliau mengandung adik saya – dalam benak saya masih teringat beliau menatap papan pengumuman di sebuah kantor dengan helaan napas cukup panjang. Saya tak mengerti mengapa beliau sedikit menampakkan rasa kecewa. Akhirnya saya baru sadar bahwa ibu gagal dalam tes PNS yang beliau ikuti. Namun, pada keesokan harinya, beliau kembali larut dalam aktivitasnya mengajar sembari berjualan kue kering.
Apa yang dilakukan oleh ibu ini memberikan saya pelajaran berarti untuk tetap bisa bangkit dari kegagalan. Walau pahit dan butuh waktu untuk merenungi dan mengambil hikmah dari kegagalan itu, tetapi tidak berlarut-larut adalah satu kunci. Ini juga yang coba saya terapkan dari pembelajaran yang ibu berikan. Ketika saya gagal menjalin rekan bisnis untuk membuka cabang bimbel baru, saya pun tak mau larut dalam nestapa yang terlalu lama. Pun kala saya gagal memenangkan lomba blog atau penghasilan Google Adsense menurun, saya belajar bahwa tak perlu sedih berkepanjangan.Â
Setiap orang memiliki jalan dan waktu keberhasilan sendiri-sendiri. Nasihat ini sering dikatakan ibu ketika saya mulai curhat apa yang sedang saya alami. Saya kerap bercerita kenapa di usia saya sekarang kok belum bisa seperti teman-teman saya. Kenapa teman-teman saya sudah menikah, memiliki rumah tetap, memiliki anak, dan bisa melakukan banyak hal untuk kedua orang tuanya. Sedangkan saya, yang untuk membelikan beras atau minyak goreng untuk ibu saja rasanya jarang.
Ibu kembali hanya tersenyum manis. Baginya, niat saya untuk bisa berbakti sudahlah cukup. Yang terpenting sekarang saya harus bisa memaafkan diri sendiri dan mencintai diri sendiri seapaadanya. Menurut ibu, ini penting karena menjadi modal untuk bisa mengarungi kehidupan yang selanjutnya. Dan saat kita bisa mencintai diri sendiri seapaadanya, maka kita akan bisa menghadapi rintangan kehidupan ini. Mencintai, menghargai diri sendiri dan memasrahkan kehidupan pada Tuhan.
Meski demikian, ibu bercerita ketika ia begitu bahagia saat saya bisa lancar membaca saat usia 4 tahun. Saat anak-anak lain belum bisa melakukannya. Tiap manusia memiliki kemampuan sendiri-sendiri dalam menggapai kehidupannya. Begitu kata ibu yang kerap beliau sampaikan. Jujur, poin ini sampai kini terus saya pelajari.
Bagi ibu, ini juga merupakan proses untuk menghargai diri sendiri lantaran tidak serta merta keadaan keluarga kami bisa sama dengan keluarga lain yang bisa berkumpul setiap hari. Ibu hanya pulang setiap sebulan sekali. Dalam lubuk hati yang paling dalam saat itu, rasanya berat sekali saat melepas ibu bekerja.
Saya kembali belajar untuk bisa ikhlas melepas ibu ketika beliau bercerita betapa sulitnya keadaan sekolah di sana. Terlebih, saat itu ibu mengajar di dua sekolah lantaran benar-benar kekurangan guru. Melihat ibu yang ceria ketika bercerita, saya pun akhirnya bisa ikhlas melepas kepergian beliau untuk bertugas. Dari pengalaman melepas ibu bekerja, saya belajar ikhlas untuk memandang posisi saat ini sebagai anugerah dari Tuhan. Kadang, saya masih sempat bertanya kepada diri sendiri kenapa saya harus salah jurusan dan mengajar anak-anak lewat bimbel. Kenapa saya harus menekuni dunia blog dan tulis-menulis yang tak semua lingkungan terdekat saya bisa memahaminya.
Kala saya bercerita seperti ini, selain mengembalikan dengan pertanyaan pilihan yang saya ambil, ibu pun bercerita tentang jalan hidup yang digariskan Tuhan. Bisa jadi, posisi yang saya dapat saat ini adalah yang terbaik menurut Tuhan. Sama dengan posisi ibu yang harus mengajar di tempat terpencil  terlebih dahulu. Toh dengan ikhlas menerima apa yang kita dapatkan saat ini sembari tetap berusaha dan berdoa, maka suatu saat hal yang indah akan kita dapatkan.
Pun saat ibu akhirnya bisa mutasi ke sekolah yang dekat dengan rumah dengan cara jujur dan mudah, itu adalah buah dari hasil dari kerja kerasnya selama bertahun-tahun. Buah yang dapat dinikmati saat ini dengan bisa berkumpul bersama keluarga. Apa yang telah dijalani dan didapatkan ibu ini membuat saya yakin pada suatu saat nanti, saya akan memetik dari kerja keras dan menerima apa yang saya dapat selama ini.Â
Ketika mulai bisa mencintai dan menghargai diri sendiri, maka kita akan bisa berhubungan dengan orang lain. Dan tentunya, kita bisa belajar banyak dengan berjalan-jalan di tempat yang baru. Ini juga yang membuat saya belajar dari ibu untuk berani traveling ke tempat baru sekaligus berkomunitas. Pergi ke Jakarta sendirian dan ikut Kompasianival misalnya.
Dengan menghargai diri sendiri, maka kita bisa fokus berusaha semaksimal mungkin sembari berdoa dan berpasrah pada Tuhan terlepas dari kegagalan yang pernah kita dapatkan. Segala kesulitan memang akan kita lalui tetapi akan ada titik ketika kita bisa menaklukkan kesulitan itu. Dan, itu semua bisa saya pelajari dari ibu saya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H