Innalillahi wa innailaihi rojiun
Pagi ini saya dikejutkan dengan berita duka yang menimpa salah seorang seniman favorit saya. Beliau adalah Ki Seno Nugroho atau lebih sering dikenal sebagai Ki Seno.Â
Ia ssendiri adalah salah satu sosok dalang yang cukup fenomenal. Tidak hanya di kalangan boomers atau generasi tua tetapi juga pada angkatan milenial seperti saya, bahkan generasi Z.
Menurut informasi yang beredar, Ki Seno meninggal pada malam (3/11/2020) kemarin. Belum diketahui pasti penyebab dalang yang masih berusia sekitar 48 tahun tersebut. Yang jelas, kepergian Ki Seno ini cukup mengejutkan dan menambah daftar para seniman kondang yang pergi di tahun wabah ini.
Sosok Ki Seno memang melekat di hati para pecinta wayang. Tidak hanya piawai memainkan wayang seperti para dalang umumnya, tetapi Ki Seno memiliki ciri khas tersendiri. Terutama, jika sedang memainkan tokoh punakawan -- Petruk, Bagong, Semar, dan Gareng -- yang memang memiliki karakter lucu.
Karakter budhalan perang yang menjadi selingan pergelaran wayang menjadi salah satu ciri khas yang dimilik Ki Seno. Bagian ini malah yang sering ditunggu oleh para penikmat wayang karena menampilkan berbagai atraksi makhluk gaib seperti pocong, wewe gombel, dan lain sebegainya.Â
Ki Seno selalu apik dalam menyulihsuarakan berbagai karakter tersebut. Di antara semua karakter yang dimainkan oleh Ki Seno, saya paling suka karakter seorang anak yang digendong ayahnya dan disundut rokok oleh seorang memedi. Ini adalah bagian paling kocak dan yang selalu saya nanti ketika Ki Seno melakukan pagelaran wayang.
Keahlian Ki Seno dalam memainkan berbagai karakter wayang karena beliau sudah menggemari aktivitas ini sejak kecil. Ayah beliau pun juga seorang dalang yang bernama Ki Suparman Cermowiyoto, salah satu dalang kondang di Yogyakarta.Â
Pada sebuah kolom di Majalah Jayabaya yang saya baca beberapa waktu lalu, kecintaan Ki Seno terhadap wayang sudah mencapai ubun-ubun sejak kecil. Bahkan, beliau sudah masuk sekolah dalang di Jogja ketika masa remaja.
Keunikan Ki Seno sendiri adalah berani memadukan gaya dalang khas Jogja dengan gaya dalang khas Solo. Ini sebabnya para penggemarnya berasal dari dua daerah tersebut dan tentunya daerah lain yang kepincut dengan guyonan segar yang dibawakannya. Beliau pun juga kerap diundan tampil di berbagai daerah hingga ke mancanegara.
Saya terakhir kali melihat beliau tampil sebelum wabah covid-19 menyerang di daerah Condong Catur. Ada sebuah selamatan desa yang menghadirkan beliau sebagai bintang tamunya. Saya gagal melihat dari dekat karena antusias warga yang amat besar.Â
Bahkan, meski saat itu hujan turun dengan deras, tak menghalangi para penonton yang ingin melihat kepiawaian beliau dalam memainkan wayang. Beliau pun juga memiliki fans setia bernama Penggemar Wayang Ki Seno (PWKS). Biasanya, meraka akan datang ke mana pun Ki Seno tampil.
Untungnya, banyak sekali pertunjukan Ki Seno yang ditayangkan melalui YouTube. Saya masih bisa ikut ngakak ketika Ki Seno mengubah suaranya dari besar saat memerankan raksasa atau genderuwo menjadi kecil dan cempreng saat memainkan wanita atau anak kecil. Lengkap dengan suara ketika marah, kesakitan, ketakutan, dan berbagai ekspresi lain.
Apalagi, ketika tokoh Bagong ditampilkan, maka akan langsung membuat para penonton, terutama anak-anak muda tertawa.
Ki Seno memang sering menampilkan tokoh Bagong ini karena menurut beliau, Bagong adalah sosok yang nakal tetapi bisa membuktikan kemampuannya. Khas dengan apa yang dimiliki banyak anak muda sekarang. Tidak mau banyak diatur tetapi ingin membuktikan bahwa dirinya bisa.
Dari kisah Ki Seno ini, saya mengambil pelajaran penting bahwa wayang sebagai salah satu budaya lokal sebenarnya bisa bertransformasi menjadi tontonan yang segar. Menjadi tontonan yang juga diminati oleh banyak kalangan dan tentunya bisa beradaptasi dengan kemajuan zaman.Â
Ki Seno dengan kerja kerasnya sudah berupaya semaksimal mungkin agar tontonan wayang yang menjadi tuntunan juga bisa dipenuhi banyak orang tidak lagi para boomers saja.
Sungguh, saya dan penggemar wayang lain amat kehilangan sosok Ki Seno. Karya-karyanya masih terngiang. Saya juga ingat perkataan Bagong pada petruk yang dimainkan Ki Seno pada sebuah pertunjukan.
Wong urip neng ndunyo mung antri mati, Truk
Orang hidup sejatinya cuma antre mati, Truk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H