Bahkan, meski saat itu hujan turun dengan deras, tak menghalangi para penonton yang ingin melihat kepiawaian beliau dalam memainkan wayang. Beliau pun juga memiliki fans setia bernama Penggemar Wayang Ki Seno (PWKS). Biasanya, meraka akan datang ke mana pun Ki Seno tampil.
Untungnya, banyak sekali pertunjukan Ki Seno yang ditayangkan melalui YouTube. Saya masih bisa ikut ngakak ketika Ki Seno mengubah suaranya dari besar saat memerankan raksasa atau genderuwo menjadi kecil dan cempreng saat memainkan wanita atau anak kecil. Lengkap dengan suara ketika marah, kesakitan, ketakutan, dan berbagai ekspresi lain.
Apalagi, ketika tokoh Bagong ditampilkan, maka akan langsung membuat para penonton, terutama anak-anak muda tertawa.
Ki Seno memang sering menampilkan tokoh Bagong ini karena menurut beliau, Bagong adalah sosok yang nakal tetapi bisa membuktikan kemampuannya. Khas dengan apa yang dimiliki banyak anak muda sekarang. Tidak mau banyak diatur tetapi ingin membuktikan bahwa dirinya bisa.
Dari kisah Ki Seno ini, saya mengambil pelajaran penting bahwa wayang sebagai salah satu budaya lokal sebenarnya bisa bertransformasi menjadi tontonan yang segar. Menjadi tontonan yang juga diminati oleh banyak kalangan dan tentunya bisa beradaptasi dengan kemajuan zaman.Â
Ki Seno dengan kerja kerasnya sudah berupaya semaksimal mungkin agar tontonan wayang yang menjadi tuntunan juga bisa dipenuhi banyak orang tidak lagi para boomers saja.
Sungguh, saya dan penggemar wayang lain amat kehilangan sosok Ki Seno. Karya-karyanya masih terngiang. Saya juga ingat perkataan Bagong pada petruk yang dimainkan Ki Seno pada sebuah pertunjukan.
Wong urip neng ndunyo mung antri mati, Truk
Orang hidup sejatinya cuma antre mati, Truk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H