Mohon tunggu...
Ikrom Zain
Ikrom Zain Mohon Tunggu... Tutor - Content writer - Teacher

Hanya seorang pribadi yang suka menulis | Tulisan lain bisa dibaca di www.ikromzain.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menghadapi Pujian dengan Tepat

19 Agustus 2020   06:43 Diperbarui: 19 Agustus 2020   06:40 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. - indonesiaone.org

Siapa sih yang tidak ingin dipuji?

Pasti hampir semua orang suka dipiji. Pujian adalah bentuk apresiasi sederhana atas apa yang kita miliki, kita peroleh, dan kita lakukan. Pujian adalah sebuah ungkapan yang begitu membahagiakan bagi siapa saja yang mendengarnya. Terlebih, jika pujian itu datang dari orang terdekat, orang yang memiliki jabatan di atas kita, dan lain sebagainya.

Sejak kecil kita memang biasa dipuji. Pujian kerap hadir bersamaan dengan saran, kritik, kemarahan, dan beberapa hal lain. Pujian sedari kecil membuat kita bersemangat melakukan hal apa pun walau itu tidak kita sukai.

Makan dengan sayur misalnya. Saya masih ingat ketika kecil begitu membenci sayur lantaran baunya yang tak enak dan rasanya yang hambar. Saya pun tak mau makan jika ada sayur terutama wortel dan brokoli. Dengan pujian orang terdekat yang mengatakan saya tampan, pintar, atau hal positif lain, maka dengan lahap makanan pun bisa saya habiskan.

Sadar atau tidak, pujian semacam ini sudah kita dapatkan sedari kecil. Tak salah memang apalagi jika pujian itu memberi semangat bagi kita. Tak salah juga jika pujian dalam porsi yang tepat membuat kita mengerti bahwa apa yang kita miliki patut mendapat apresiasi. Tak salah pula jika dengan pujian, maka kita bisa menjadi diri sendiri, menghargai apa yang kita miliki, dan tentunya bisa mengembangkan diri ke arah yang positif.

Namun, jika pujian datang bertubi-tubi, rasanya akan membawa malapetakan bagi diri. Terlebih, jika pujian itu tidak kita sikapi dengan bijak dan cenderung membuat kita lupa diri untuk memperbaiki apa yang kita lakukan. Pujian pun bisa jadi bumerang yang begitu menakutkan hingga membuat kita semakin hari tidak semakin baik tetapi semakin buruk.

Pujian yang tidak disikapi dengan benar akan membuat kita tuli. Akan membuat kita tak bisa mendengar lagi upaya dari lingkungan sekitar untuk memperbaiki diri. Tidak bisa lagi merasakan sesuatu dari hati nurani mengenai sesuatu yang harusnya kita lakukan dan tidak kita lakukan.

Pujian yang berlebihan akan membuat kita lupa bahwa di atas langit masih ada langit. Membuat kita lupa bahwa sebagai manusia biasa kita tak luput dari alpa. Implikasinya, kita akan merasa selalu benar dengan apa yang kita perbuat dan kita kataka. Padahal, kehidupan di dunia ini, pasti ada berbagai sisi yang tidak pasti ada salah dan benarnya.

Pujian yang kita telan mentah-mentah akan membuat kita lupa untuk bekerja keras. Rasa malas pun akan mulai hinggap. Kita akan semakin malas untuk berusaha mengembangkan potensi yang kita miliki.

Jika dianalogikan sebagai minuman manis, maka pujian akan sangat berguna dalam takaran yang tepat. Nikmat manisnya benar-benar bisa masuk ke sanubari. Namun, jika terlalu banyak, ia akan menggerogoti kesehatan kita. Penyakit akibat manis pun akan menghampiri kita.

Pujian berlebihan yang tidak kita sikapi dengan bijak akan membuat kita akan kecanduan dengan pengakuan orang sekitar. Tanpa pengakuan, kita akan merasa tidak berharga. Akibatnya, segala hal yang awalnya membuat semangat walau tanpa pujian akan terasa biasa-biasa saja.

Pujian pun juga bisa merupakan tipuan di dunia yang fana ini. Ia akan mengikis rasa ikhlas kita untuk membantu orang di sekitar kita. Padahal, tanpa pujian pun, hal itu adalah energi yang seakan tiada habisnya. Energi yang menjadi spirit terutama pada masa sulit sekarang ini.

Dengan bertambahnya usia kita, sudah saatnya kita sadar bahwa bukan pujian yang membuat kita bahagia. Saran, kritik, dan beberapa bentuk apresiasi membangun lainlah yang kita butuhkan. Kita bukan anak kecil lagi yang melakukan segala sesuatu karena pujian. Jika kita lebih lagi, berada di balik layar sambil melakukan kegiatan yang kita suka dan bermanfaat, itu adalah sebuah kenikmatan.

Layaknya angin, ia tidak perlu terlihat untuk melakukan yang terbaik. Tapi ia sadar bahwa ia bisa menjadi yang terbaik tanpa atau dengan pujian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun